AKU TIDAK MENGKHIANATIMU

1248 Kata
Menggodanya? “Apa maksudmu? Aku tidak….” Namun sebelum Nada sempat meneruskan ucapannya, Radit sudah memotong terlebih dahulu, “Bukan. Bukan apa-apa. Lupakan!” serunya tampak salah tingkah, tapi sesaat kemudian kembali berekspresi datar. “Cepatlah berpakaian! Aku tidak mau istriku berpikiran yang tidak-tidak pada kita!” Setelah itu, Radit pun keluar dari kamar secepat mungkin seakan ada penagih hutang yang mengejarnya. Nada tampak menghela napas lega setelah Radit menutup pintu kamar. Nada masih mengingat ucapan Radit sebelum dia keluar dari kamar. Aneh. Kenapa pria itu marah dan berpikir jika dirinya sengaja menggodanya? Padahal, Nada hanya takut kalau dia bergerak, benih di dalam akan tumpah dan menetes keluar. Sekarang saja, inti Nada masih terasa becek. Jadi, dia pun masih dalam posisi berbaring. Lagian tadi kamar mandi sedang dipakai Radit dan tubuhnya juga masih terasa sakit. Siapa yang mau menggoda? Pria aneh! Nada malas memikirkan Radit. Nada masih diam beberapa saat hingga dipikirnya cukup aman untuk duduk. Tapi hatinya malah sakit saat melihat bercak darah di ranjang. Nada meneteskan kembali air matanya. “Ibu, cepat sembuhlah ... jangan sia-siakan pengorbananku," gumamnya sedih. Masih teringat dalam ingatan Nada, tiga hari lalu ketika ayahnya datang menemuinya di luar kamar ICU tempat ibunya berbaring. "Kita tak ada pilihan lain, Nada. Hanya ini cara tercepat mendapatkan uang untuk pengobatan ibumu. Ratusan juta biaya pengobatan, walaupun Ayah bekerja siang malam tanpa berhenti, Ayah tak mungkin bisa mengumpulkan uang sebanyak itu." Padri, ayah Nada yang hanya lulusan SD dan bekerja sebagai tukang kebun di rumah Prawiryo Prayoga, merasa kecil hati mendengar biaya pengobatan istri yang sangat dicintainya. Inilah alasan Nada setuju dengan rencana kakek Radit, Prawiryo Prayoga untuk menjadi surrogate mom bagi cucunya. Istri Raditya Abimanyu Prayoga, tidak bisa mengandung setelah keguguran beberapa tahun lalu. Rahimnya harus diangkat. Meski Radit tak masalah tak lagi bisa punya anak, tapi Prawiryo tak terima kalau tidak ada penerus keluarganya. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhan biaya pengobatan istri Padri asalkan Nada mau menikah dengan cucunya. "Tenang, ini hanya sampai bayi itu lahir, kamu bisa bercerai. Itu kan janji tuan besar Prawiryo." Nada menghela napas setelah tersadar dari lamunannya. Sudah terlambat untuk menyesali apa yang telah terjadi. Lagipula, inilah jalan yang dipilihnya demi kesembuhan ibunya. Nada mengambil test pack di nakas. Dia tersenyum getir mengingat perlakuan Radit padanya. "Tenang saja, setelah bayi itu lahir, kamu bisa pergi selamanya. Tak perlu lagi melihatnya, keluarganya, dan kamu akan bahagia!" Nada pun menghapus tetesan air matanya dan berusaha untuk tetap tegar. *** Di sisi lain. Setelah meninggalkan kamar Nada, Radit segera menuju kamar lain di rumah keluarga Prawiryo. Kamar yang berada di lantai tiga, salah satu kamar terbesar di rumah ini, yang sejak kecil menjadi kamar pribadinya. "Sayang, kenapa belum tidur?" Radit membuka pintu, dan menghampiri seorang wanita yang sedang berdiri memandangi kolam renang di taman belakang. "Maafkan aku. Apa kamu menungguku terlalu lama, Viola Sayang?" wanita itu tak menjawab. Radit memeluk tubuh istrinya dan menyandarkan dagunya di pundak wanita yang sangat dicintainya itu. "Apa kamu bersenang-senang? Kamu menikmatinya? Apa dia cantik? Tubuhnya menggodamu?" tanya Viola dengan Air mata yang meleleh di kedua sudut matanya. Tapi tatapannya lurus ke arah jendela, enggan untuk membalikkan badan melihat suami yang makin mengeratkan dekapannya itu. "Viola. Please don't start it again. It is not like what you think of. I love you, Viola. Only you." "Liar!" "Aku hanya memastikan jika dia bisa hamil secepatnya. Aku tak melakukan yang lainnya. Aku mohon, percayalah padaku." "Lepaskan aku!" "Apa yang harus kulakukan agar kamu percaya?" Radit sudah serba salah. Dari pagi Viola, istrinya sudah uring-uringan dan marah padanya. Saat ini yang ada di pikiran Radit hanya bagaimana memperbaiki mood wanita tercintanya. "Bagaimana kalau kita berpisah saja, Radit?" "No! Please, Viola. No chance for divorce." Radit membalikkan paksa tubuh Viola, kembali mendekap tubuh langsing Viola. "Aku sangat mencintaimu, Viola. Kita sudah lebih dari empat belas tahun bersama, sejak pacaran hingga sekarang. Aku mohon, jangan tinggalkan aku.” "Tapi aku tak bisa hidup tertekan terus seperti ini, Radit. Apalagi sampai bayi itu lahir, aku harus melihat wanita itu!" Viola tetap bersikeras. "Aku mohon bersabarlah selama satu tahun ini. Aku akan berusaha menyingkirkannya kurang dari setahun." Radit menatap manik mata hazel Viola penuh harap. "Lalu apa yang harus kulakukan selama menunggu? Melihatnya setiap hari merasa hebat dengan benihmu di perutnya sedang aku hanya wanita cacat yang tak bisa memberimu anak!" "Viola-" "Ceraikan aku!" mata Viola tampak sayu dan berkaca-kaca. “Apa yang harus kulakukan untuk mempertahankanmu? Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu nyaman dalam satu tahun ini? Aku akan lakukan apa pun asal kamu mau bertahan, asal kita tak berpisah, aku mohon." Radit panik. Mana bisa dia berpisah dengan istri yang sangat dicintainya ini. "Ayo, katakanlah," bujuk Radit karena Viola masih diam. "Berikan aku izin." "Apa maksudmu?" "Aku ingin menyibukkan diri supaya pikiranku tetap positif. Aku mau mengejar karirku. Aku ingin menjadi designer nomor satu tingkat internasional, Radit. Biarkan itu menjadi obat sakit hatiku." kali ini Viola memberanikan diri menatap Radit, bertekad memenangkan tawar menawar kali ini. Jauh di dalam hati, Viola memang sudah mengatur siasat untuk memanfaatkan momen ini. Saat Prawiryo memaksa Radit menikahi Nada, Viola merasa marah dan terhina. Dia akhirnya membuat ancang-ancang mau kembali melanjutkan karirnya. Impian Viola menjadi designer nomor satu di dunia. Tapi, karena dulu dia terburu-buru menerima pinangan Radit, dia terpaksa pindah ke Indonesia. Tak sangka, keluarga Radit membatasinya. Keluarga Prawiryo memegang teguh tradisi jawa, istri harus selalu mendampingi suami. Ini menyusahkan hidup Viola. Dia merasa terkekang dengan banyaknya aturan, termasuk wanita yang tak perlu berkarir jauh dari suami. Sedangkan Viola ingin kembali ke Paris. Dia wanita yang ambisius dan ingin mengejar karir. Sekarang Radit sedang lemah. Viola ingin memanfaatkan ini secara maksimal. "Baiklah, Viola. Aku mengizinkannya. Aku akan meminta eyang Prawiryo memberikan izin padamu. Tapi, kamu hanya boleh pergi menjelang fashion week. Kamu tetap akan bekerja dan menemaniku di Indonesia. Bagaimana?" Radit menunggu jawaban dari Viola penuh harap. "Tentu saja, Radit. Aku hanya akan pergi selama fashion week dan persiapan fashion week." Viola memeluk Radit. Diam-diam, Viola tersenyum licik dalam dekapan suaminya. "Terima kasih sayang. Kamu sudah berkorban banyak untuk menerima keputusan keluargaku. Aku berjanji tak akan pernah mengecewakanmu, Viola!" berbeda dengan Radit yang berucap tulus padanya. "Sudahlah, kita sama-sama terluka." Viola yang melunak, mulai bermanja-manja dengan suaminya lagi. "Viola, kamu mau tidur sekarang?" "Kamu yakin kita hanya akan tidur, suamiku tercinta?" Viola mengelus d**a suaminya yang masih terbalut kemeja. "Apa kamu sedang menggodaku, hm?" Radit sudah mendaratkan bibirnya di bibir Viola setelah bicara. Dan keduanya mulai merasakan sensasi panas tubuh masing-masing yang meminta lebih dari sekadar pagutan bibir. Tidak seperti saat bersama Nada, kali ini Radit begitu mudah melakukan penyatuan dengan istrinya. Ya, sejak mereka pertama kali melakukannya, Radit tahu jika dia bukanlah yang pertama untuk Viola. Namun, karena besarnya rasa cinta pada Viola, Radit tidak terlalu memedulikan hal itu. Setelah sekitar satu jam bermain di ranjang panas keduanya, Radit menghentikan permainan saat mereka melepaskan secara bersamaan. Kini, Viola mendekat ke Radit dan bersandar pada d**a bidang Radit dengan tangan Radit masih mendekapnya. "Apa aku bisa memercayaimu, Radit? Maksudku, kau tak akan bermain hati dengannya selama aku mengejar karir?" Viola meminta kepastian. “Percayalah, aku tak akan pernah mengkhianatimu. Aku mencintaimu, Viola!” Radit memberikan kecupan di dahi Viola sebelum istrinya jatuh terlelap karena kelelahan. Melayani kedua istri dalam waktu yang berdekatan sudah menghisap energi Radit dan harusnya dia kelelahan lalu ikut terlelap juga bersama Viola. Tapi matanya sulit terpejam, karena benaknya masih penuh dengan tanya memikirkan peristiwa sebelumnya di kamar sebelah. 'Apa rasanya main sama perawan seenak itu? Sempit dan menggigit?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN