PERSETERUAN DUA ISTRI

1566 Kata
Keesokan harinya. Nada terbangun saat alarm berbunyi. Spontan tangannya sibuk mencari dan mematikan alarm di handphone-nya yang mengganggu kenyamanan. Dia bangkit dan duduk di ranjang. Rasa kantuk masih menguasainya karena semalam Nada tak bisa tidur pulas. Pikirannya terlalu disibukkan dengan kejadian semalam. "Hufffh ... tapi sudah pagi, sudah jam lima! Baiklah. Selamat pagi, Nada! Semangatlah! Hari ini pasti lebih baik dari hari kemarin! Keep your smile as bright as the sunshine!" gumamnya sambil tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Meski selangkangannya sakit, tak menyurutkan keinginan Nada segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu beribadah dan mengganti pakaiannya. "Bosan!" keluh Nada. Tak ada yang dapat dilakukannya di kamar itu. Nada pun kepikiran hal lain. "Ayah,. sini aku bantu!" Ayah Nada bekerja sebagai tukang kebun dan pagi itu dia sudah beraktifitas di kebun belakang. Tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, Nada mengambil gunting untuk memotong daun-daun bunga yang sudah layu. Nada ingin melakukan banyak kegiatan agar pikirannya tak lagi terganggu oleh kisah semalam. "Kamu, baik-baik saja, Nada?" Padri, ayah Nada tak pandai mengutarakan rasa. Dia jadi kikuk kalau menghadapi masalah perasaan. Padri frustasi. "Iya ayah," ucap Nada yang mengerti sekali kesulitan ayahnya, "Aku cuma bosan di kamar, aku ingin membantu Ayah. Lagian, udara pagi dan matahari pagi kan sehat untuk tubuh, hehe!" kilah Nada sembari tersenyum ceria, seperti tak ada beban yang terjadi padanya. Begitulah Nada, dia tak pernah ingin menunjukkan kesedihannya pada orang yang dicintainya. "Nada -" Suara ayahnya pun terdengar. "Eh, ada apa, Ayah?" ucapnya dengan tangannya masih sibuk menaruh pupuk di pot-pot bunga dan tanaman hias yang natinya akan diletakkan di dalam rumah. "Apa tuan muda memperlakukanmu dengan baik?" Padri bertanya dengan suara yang terbata-bata. Pertanyaan ayahnya seketika menghentikan aktivitas Nada. Rasanya, dia belum siap untuk menjawab. Tapi Nada tak mau membuatnya khawatir. "Dia baik. Ayah tenang saja dan foku jaga Ibu dan Didi. Aku akan berusaha semaksimal mungkin memberikannya keturunan, lalu kita bisa berkumpul seperti dulu," tapi jawaban putrinya hanya membuat hati Padri makin perih. "Maafkan ayahmu yang tak berguna ini, Nada." "Ish, Ayah jangan bilang begitu. Sudah banyak yang Ayah berikan padaku. Aku baik-baik saja Ayah.” Padri pun mengangguk sambil mengelus dengan sayang pucuk kepala putrinya dan tersenyum. Meski hatinya tak sepenuhnya percaya kalau putrinya baik-baik saja. “Oh iya, pot-pot ini harus ditaruh kembali ke tempatnya, kan?" tanya Nada pada ayahnya mengalihkan topik pembicaraan. Padri pun mengangguk. "Nada, kamu bisa menaruh dua pot kecil ini di meja taman itu, lalu ambillah beberapa kuntum bunga untuk di meja makan." Padri menjelaskan apa yang harus dilakukan Nada. "Iya Ayah," satu demi satu bunga mawar pun dipetik Nada. Hingga menjadi satu rangkaian bunga mawar yang memenuhi genggaman tangannya. Nada suka bunga. Dia tersenyum karena mood-nya kembali baik berada di taman bunga itu. Sayangnya, kebahagiaannya tak bisa bertahan lama. "Mbak Nada, Anda ditunggu di meja makan untuk sarapan pagi bersama!” ucap bi Siti yang memaksa Nada menuruti perintah ayahnya untuk kembalii ke dalam, menemui keluarga Prayoga. Padahal Nada sudah mengelak ingin sarapan dengan ayahnya saja di belakang atau nanti makan di dapur pelayan. Tapi tak diizinkan. "Baiklah. Ayo Bi Siti.” "Bawa bunga mawarnya, Nada. Taruh di vas nanti dan letakkan di meja makan." "Iya Ayah." Nada menggenggam mawar itu. Dia mengikuti bi Siti ke ruang makan. Hati Nada semakin berdetak kencang saat jarak selangkah demi selangkah menjadi semakin dekat ke ruangan yang dipenuhi oleh anggota keluarga Prayoga. Takut sekali kalau dia nanti di bully oleh keluarga Radit. "Nduk, dari mana kamu? Apa gak ada yang memberitahumu waktunya sarapan?" Prawiryo yang pertama menyapa Nada, sesaat setelah Nada tiba di ruang makan. Memang kakeknya Radit ini yang paling baik dari dulu padanya. "Nuwun sewu, Nada tadi membantu Ayah mengurus kebun, Tuan besar." jawab Nada penuh hormat. "Kok panggilnya masih Tuan? Kamu sudah menikah dengan cucu Eyang, Nduk." Hanya Prawiryo yang bicara di ruangan itu. Bambang dan Riyanti, orangtua Radit, yang Nada tahu selalu sibuk dan jarang dilihatnya, hanya diam menatap piring mereka. Begitu pun Radit dan Viola. Mereka juga diam tapi Radit tak menunduk, melainkan memperhatikan Nada dengan tangan kanannya menggenggam lembut tangan kiri Viola. "Ehmm ... maaf, Eyang!" jawab Nada masih menunduk kikuk. "Ya sudah, duduk sini, Nduk!" Prawiryo menyuruh Nada mengisi kursi kosong satu-satunya di meja melingkar itu. Di samping Prawiryo dan Radit. Kursi yang sebelumnya selalu kosong setelah nenek Radit meninggal dunia. "Iya, Eyang." "Tunggu dulu!” Namun, saat Nada baru saja ingin duduk, terdengar seruan khas suara bariton pria. Semua orang pun menoleh ke si pemilik suara. “Bersihkan tanganmu yang berdarah dulu!" Radit memperhatikan Nada sedari tadi mendapati Nada yang sepertinya gerogi hingga tak sadar menggenggam tangkai bunga mawar berduri terlalu kencang hingga melukai telapak tanganya sendiri. "Siti, bantu Nada membersihkan lukanya," pinta Prawiryo, yang juga cemas. Dan seketika itu Nada pun merasa bodoh. Dia tak sama sekali merasakan luka di tangannya. 'Tapi bagaimana dia tahu kalau tanganku terluka? Dia perhatiankah padaku?' tanya itu menggangu Nada. Padahal tak ada seorang pun di sana yang menyadari kalau tangannya berdarah. Nada bertanya-tanya saat mencuci tangannya di wastafel, sementara bi Siti pergi sebentar mengambilkan perban. Tapi sedetik saat matanya mencuri pandang melihat seberapa perhatiannya Radit pada istrinya, Nada yakin, pria itu tak sengaja saja melihat, bukan perhatian. Nada jadi heran, kenapa dia jadi ke-GR-an sih? Tidak mungkin kan seorang Radit yang sombong dan kejam peduli padanya? "Terima kasih, Bi." Selesai mengobati lukanya, Nada segera kembali ke ruang makan karena mereka masih menunggu Nada untuk sarapan "Gimana tanganmu?" ucap Radit sebelum Nada menarik kursi yang tadi ditunjuk Prawiryo. Nada sedikit tercengang. Namun, dia membalas ucapan Radit se-biasa mungkin. “Gak apa-apa. Sudah biasa kena duri seperti itu kalau membantu ayah bekerja.” “Lain kali berhati-hatilah. Luka kecil seperti itu bisa infeksi kalau tak segera diobati,” ucap Radit menambahkan. Perhatian yang terkesan manis. Tapi Nada dalam hatinya berdecih mengingat perlakuan Radit semalam. Nada yakin, Radit cuma akting saja, sok peduli padanya. “Terima kasih sarannya.” "Ya sudah, ayo kita mulai sarapannya, bawa ke sini makanannya, Siti!" senang melihat perhatian Radit pada Nada, Prawiryo tersenyum, mood-nya jadi lebih baik pagi itu. Menu sarapan selalu ada dua macam jika Radit menginap di rumah besar keluarga Prayoga. Menu pertama, masakan Indonesia. Untuk hari ini, nasi liwet dengan gudeg dan krecek khas Jogja. Menu kedua, western food, Quiche, yang bentuknya mirip dengan telur dadar di rumah makan nasi padang. Bedanya bahan dasarnya ditambahi keju, ubi, bayam, dan jamur. Radit dan Viola menikmati western food. Sedangkan Prawiryo, Bambang dan Riyanti memilih nasi liwet. Nada juga meminta pelayan memberikannya nasi liwet. Nada belum memakan sama sekali makannya dan masih berdiam diri di posisi yang sama. "Nduk, kenapa ndak dimakan?" Prawiryo bertanya karena Nada terlihat gamang. "Ehmm ... Eyang sini, biar aku suapin," pinta Nada yang melihat Prawiryo makan dengan tangan gemetar karena gangguan tremor parkinson yang dideritanya. Nada tak tega. "Nduk, kamu ndak makan karena mengkhawatirkan Eyang? Ndak apa-apa, wes! Eyang sudah biasa seperti ini!" ucap Prawiryo. "Kalau Eyang gak mau aku suapin, aku akan panggil Eyang jadi Tuan lagi," jawab Nada sambil cemberut ke Prawiryo. "Jadi, sudah berani mengancam Eyang, sekarang?" "Sini aku suapin aja, Eyang!" Nada mengambil sendok di tangan Prawiryo dan menyuapinya selayaknya cucu menyuapi kakeknya. Nada sangat telaten dan sabar meladeni cerita Prawiryo sembari menyuapi. Wajahnya juga tak berhenti menunjukkan senyuman manis, tulus bukan berpura-pura. Kedua orangtua Radit, Bambang dan Riyanti melihat kedekatan keduanya hampir tak percaya. Bambang yang diam-diam memperhatikan Nada sedari tadi, merasa bahagia saat melihat ayahnya, Prawiryo, kembali ceria saat bersama Nada. Begitupun dengan Riyanti, dia bisa melihat ketulusan hati Nada saat merawat Prawiryo. Bahkan ibu Radit itu mulai membandingkan Nada dengan menantunya, Viola. Pasalnya, menantunya tidak pernah perhatiannya pada keluarga. Viola cuek dan jijik-an. Malah dia pernah diam-diam menyuruh Radit menaruh Prawiryo di panti jompo saat disuruh menemani Prawiryo yang kala itu sedang di opname karena penyakit jantungnya. Jelas orang tua Radit marah. Ini konflik pertama mereka dengan Viola. Menurut Viola, orang tua di panti jompo justru lebih bahagia karena banyak temannya. Dia membandingkan dengan kehidupan di eropa. Pemikiran itu jadi alasan pertama Radit akhirnya membawa Viola tinggal di rumah berbeda dengan keluarganya. Riyanti marah besar pada Viola. Berbeda dengan Nada yang dengan kemauannya sendiri memperhatikan Eyang Prawiryo. Riyanti merasakan hangat hatinya. "Nduk, makan dulu makananmu. Eyang sudah kenyang. Kamu belum makan sama sekali!" Prawiryo kali ini menolak suapan Nada. "Gak apa, Eyang. aku bisa makan nanti setelah Eyang menghabiskan makanannya. Kalau gak habis, aku gak mau makan. Eyang kan harus sehat dan panjang umur," bujuk Nada, sama seperti dirinya tengah membujuk bocah kecil. "Hmm ... kamu betul, Nduk. Eyang harus tetap sehat, supaya bisa melihat anakmu nanti yang akan menjadi cicit Eyang." Nada tidak tahu harus membalas apa, dan hanya tersenyum kikuk menanggapi candaan Eyang Prawiryo. Namun berbeda dengan Viola. Sedari tadi saat Radit tampak khawatir pada luka Nada, dia sudah memasang wajah cemberut dan tatapan tajam ke Nada. Terlihat sekali dia tak suka dengan Nada. Meskipun tidak ada satu pun yang menyadari perubahan raut wajahnya. "AKU SUDAH KENYANG RADIT!" Viola yang mengira Nada berpura-pura baik itu pun melemparkan garpu di piringnya dengan kasar, menimbulkan suara gaduh. Semua orang menatapnya. Tak terkecuali dengan Nada yang melirik piring Viola. Jauh dalam lubuk hatinya, Nada yang juga seorang wanita, merasakan sesuatu tak nyaman dengan sikap Viola Apa dia baru saja memercikkan api permusuhan dengan Viola? Oh tidak, Nada tak berniat menarik perhatian Radit apalagi merebut pria itu. Nada bahkan tak ingin ada rasa dengan Radit. Lalu bagaimana cara Nada menjelaskan dan mengembalikan kedamaian?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN