Di perjalanan pulang, Ambu sempat terlelap di dalam mobil sambil memeluk tubuh kecil Naima yang tertidur. Tubuh tuanya tentu saja sudah tidak lagi sekokoh dulu, ada rasa kantuk yang tiba-tiba mendera syaraf nya dan ya, saat mobil yang membawanya pergi melaju pelan angin sepoi-sepoi ikut mendukung rasa kantuknya. Entah berapa menit Ambu terlelap di dalam mobil saat lelapnya justru terusik karena suara sesenggukan di sebelahnya.
"Yasmin, ada apa, Nak?" Tanya Ambu saat mendapatkan kesadarannya kemudian membenarkan posisi duduknya dengan semakin memeluk erat tubuh kecil Naima. Yasmin hanya menggeleng kemudian menghapus air di kedua pipinya, sang sopir hanya melirik dua wanita di kursi penumpangnya lewat spion yang menggantung di atas dashboard mobilnya, tanpa ingin ikut campur urusan kedua majikannya.
"Tidak apa-apa Ambu. Yasmin hanya merasa lelah!" Jawab Yasmin yang justru terdengar ambigu di telinga Ambu namun dengan cepat Ambu berpikir jika fase hamil sembilan bulan Yasmin memang benar-benar membuat Yasmin lelah ditambah tiga hari lalu dia juga harus melahirkan lewat operasi Cesar.
"Jika lelah. Istirahat lah. Nanti Ambu bangunkan saat kita sudah sampai rumah!" Balas Ambu yang berpikir jika Yasmin hanya lelah karena hal itu, karena hampir semua wanita hamil akan cenderung merasakan letih itu ketika mereka sudah melahirkan janin yang ada di kandungannya dan hal yang sama juga Ambu artikan untuk kata lelah yang baru saja Yasmin ucapkan.
Yasmin langsung mengangguk meskipun air matanya juga tidak bisa berhenti untuk luruh di pipinya, namun Yasmin juga menuruti apa yang Ambu ucapkan tadi, menarik tubuhnya untuk bersandar di punggung kursi penumpang di depannya, dengan posisi sedikit menunduk untuk menghindari tatapan langsung ambil Fatimah padanya.
Air mata itu benar-benar tidak bisa berhenti untuk keluar dari netra indah itu, rasa sesak di dadanya semakin panas saat lagi-lagi Yasmin harus mengingat bagaimana dia yang berjuang cukup hebat untuk meluluhkan hati seorang Faiz Al-Ghazali. Bukan untuk dirinya seorang tapi lebih condong untuk anak Faiz sendiri meskipun sampai detik ini tak sekalipun Faiz ingin mengakui gadis kecil ini sebagai anaknya.
"Tuhan bila bahagia bukan menjadi milikku maka bahagiakan lah anak-anakku. Jangan sampai kau uji mereka seperti mana engkau telah mengujiku. Aku ikhlas menerima semua rasa sakit ini bila hadiahnya adalah kebahagiaan anak-anakku. Tapi yang aku rasakan saat ini kau seolah ingin menghukum kedua anakku dengan cara seperti ini. Di satu sisi kau membiarkan putraku hidup tanpa ibunya dan di sisi lain kau membuat putriku hidup tanpa seorang ayah, lalu dimana letak kebahagiaan yang takdir gariskan untuk mereka? Haruskah aku kembali merayu dan mengiba untuk sebuah senyuman? Ini rasanya sangat sakit ya Robby. Sakit sekali." Lirih Yasmin dalam hati dan isak itu akhirnya lolos dari bibirnya.
"Yasmin. Kenapa Ambu merasa kita melewati jalan yang berbeda dari jalan yang biasa kita lewati? Kenapa Ambu merasa kita terlalu lama di jalan menuju pulang?" Tanya Ambu saat merasa mereka memang terlalu lama di jalan. Diam , Yasmin hanya diam tidak menjawab pertanyaan Ambu Fatimah karena jujur Yasmin sendiri memang tidak tau kemana Faiz akan menempatkan dia dan Naima. Yasmin hanya pasrah tanpa bertanya lebih dulu hanya karena dia sudah setuju untuk menjauh dari Faiz dan Lily.
"Yasmin. Apa kau mendengarkan Ambu?" Tanya Ambu lagi dan Yasmin hanya mengangguk dari menunduknya, lalu menarik nafas sebanyak yang bisa di tampung paru-parunya , kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan. Kembali melakukan hal yang sama berharap rasa sesak di d**a dan kepalanya bisa sedikit berkurang meski Yasmin juga yakin itu tidak akan berguna, karena rasa sakit itu justru semakin mencengkram jantung hatinya dengan sangat bringas.
"Tenanglah Ambu. Tenang. Kita akan segera sampai , dan saat kita sampai nanti, Yasmin akan menjelaskan hal ini pada Ambu!" Ucap Yasmin yang justru meminta Ambu Fatimah untuk tenang saat dirinya sendiri masih belum bisa mendapatkan ketenangan.
"Yasmin!" Lirih Ambu tapi Yasmin hanya mengangguk, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.
Percayalah. Orang yang bisanya selalu bisa menjadi bahu untuk orang lain, selalu ada untuk orang lain, selalu mengedepankan orang lain, dan selalu menjaga perasaan orang lain, dia selalu di pertemuan dengan orang yang tidak pandai bersyukur dan acuh. Dia selalu ingin menjadi rumah untuk orang itu padahal sejatinya pondasi dia sendiri runtuh.
Di lain tempat.
Mobil Faiz baru sampai di halaman rumah besarnya. Bayi laki-laki itu masih di gendongan baby sitter Naima, Sri. Faiz meminta sang baby sitter untuk membawa bayi laki-laki itu masuk lebih dulu ke kamarnya, sementara Faiz sendiri yang membawa dua paper bag berisi alat dan perlengkapan bayi mulai dari botol DOT , s**u formula, sampai pampers untuk putranya. Ya, Faiz sudah benar-benar menyiapkan semua itu sendiri karena sesuai rencananya dia dan Lily yang akan mengasuh putra mereka.
"Tuan. Kenapa Nyonya Yasmin belum datang. Bukankah tadi mobil Nyonya ada di depan mobil kita?" Tanya baby sitter bernama Sri itu dan Faiz hanya terlihat menoleh ke belakang seolah ingin memastikan jika Yasmin tidak akan kembali ke rumah dia lagi.
"Mungkin dia masih di belakang. Lupakan. Kau bawa ini masuk!" Jawab Faiz dan meminta baby sitter Sri untuk membawa masuk dua paper bag yang sebelumnya Faiz bawa. Baby sitter itu tidak lagi banyak bertanya, dia membawa serta dua Paper bag itu untuk masuk ke kamar yang memang sudah di sediakan khususkan untuk putra majikannya, meletakkan kedua paper bag itu di atas ranjang ukuran sedang di bantu oleh seorang asisten rumah tangga lainnya, menidurkan bayi laki-laki itu di box khusus yang juga sudah tersedia di kamar bernuansa biru tersebut.
"Di mana Nyonya Yasmin?" Tanya seorang asisten rumah tangga saat melihat hanya baby sitter Sri dan Tuan Faiz juga bayinya yang pulang sementara Yasmin dan Ambu Fatimah tidak terlihat di belakang punggung mereka.
"Mereka masih belum sampai. Padahal tadi jelas mobil Nyonya Yasmin ada di depan kami tapi entahlah mungkin Nyonya mampir di satu tempat untuk memberi kebutuhan pribadinya seperti pembalut misalnya!" Jawab baby sitter itu tidak jauh beda dengan jawaban yang sebelumnya Faiz berikan.
"Oh," hanya kata Oh yang berhasil lolos dari bibir asisten rumah tangga itu kemudian meraih dua paper bag yang sebelumnya baby sitter itu letakkan di atas ranjang kamar bayi laki-laki itu.
Ada Pampers juga pakaian bayi. Namun di paper bag satunya lagi asisten rumah tangga itu justru menemukan ada satu kotak s**u formula lengkap dengan beberapa unit botol DOT. ' Ini sangat aneh mengingat saat putri pertama Yasmin lahir, Yasmin bahkan tidak menyiapkan s**u formula atau botol dot, karena Yasmin memang memberi ASI eksklusif untuk anak pertamanya, lalu apa sekarang ? Apa Yasmin mendapat kesulitan dengan reproduksi ASI-nya hingga dia memilih beralih ke s**u formula?' Batin asisten rumah tangga itu.
Asisten rumah tangga bernama Tini itu juga kembali mengabaikan s**u dan botol DOT tersebut, lalu merapikan popok juga pakaian bayi di lemari khusus bayi laki-laki itu. Bayi itu terlihat nyenyak dari tidurnya karena biasanya bayi usia satu hari sampai satu minggu memang akan cenderung lebih banyak tidur dan hal itu juga yang saat ini mereka rasakan pada bayi laki-laki yang kini sudah terpisah dari ibu kandungnya itu.
Benar saja, sampai hari beranjak sore, Yasmin, Ambu Fatimah dan Naima juga tidak kunjung terlihat pulang dan entah untuk apa baby sitter itu justru merasa khawatir saat Nyonya rumah itu tidak kunjung kembali. Bayi laki-laki itu memang masih terlihat anteng tapi tentu saja tidak untuk baby sitter itu, yang juga seorang ibu.
"Tuan. Nyonya Yasmin masih belum kembali juga? Apa tidak sebaiknya Tuan menghubungi Nyonya Yasmin, saya takut jika terjadi sesuatu dengan mobil Nyonya Yasmin!" Ucap baby sitter itu saat Faiz masuk ke kamar bayinya, untuk melihat putranya.
Faiz tidak menjawab, dia hanya terus menatap wajah merah putranya, ada senyum yang ikut terbit dari kedua sudut bibirnya saat melihat bayi itu, karena selain melihat putranya, ternyata Faiz juga turut membayangkan wajah ceria Lily.
Tanpa rasa takut Faiz mengangkat tubuh kecil itu untuk berada di gendongannya kemudian menimang bayi itu yang terlihat menggeliat dari tidurnya karena pantatnya basah.
Tidak ada rasa jijik yang Faiz rasakan saat mengangkat putranya seperti itu, hanya rasa bangga yang turut dia rasakan karena tidak lama lagi dia akan bisa menahan Lily, wanita yang sangat dia cintai, ibu dari putranya untuk tinggal dan menetap di sisi mereka dan saat bayangan-bayangan itu mengisi imajinasi Faiz, kebahagiaan itu turut mewarnai hati dan senyum Faiz.
"Tuan. Nyonya Yasmin masih belum kembali juga? Apa tidak sebaiknya Tuan menghubungi Nyonya Yasmin, saya takut jika terjadi sesuatu dengan mobil Nyonya Yasmin!" Baby sitter Sri kembali mengulang pertanyaan dia sebelumnya karena dari tadi majikannya tidak kunjung menjawab pertanyaan dia dan pikir Sri, Faiz tidak mendengar pertanyaan dia sebelumnya.
Lagi-lagi Faiz tidak menjawab, namun justru berlalu dari kamar itu dengan membawa putranya, meskipun bayi itu belum berganti popok.
Kembali ke Yasmin
Setelah menempuh perjalanan dengan mobil kurang lebih empat jam akhirnya mobil yang mengangkut Yasmin sampai pada satu rumah besar yang terdiri dari dua lantai dengan halaman rumah yang cukup luas. Ada mobil yang juga Faiz siapkan sebagai pasilitas Yasmin tapi tentu itu bukan hal yang Yasmin inginkan.
Tanpa mengatakan apapun, Yasmin turun dari dalam mobil di ikuti Ambu Fatimah dan Naima yang sudah kembali terlelap setelah sebelumnya bocah perempuan itu sempat terjaga dan bercanda ria selama perjalanan mereka tadi dan itu cukup mampu mengalihkan pikiran Yasmin dari apa yang saat ini menimpa dirinya namun duka itu juga tidak lekang hilang dari hatinya, luka karena berpisah dengan putranya.
Yasmin melihat setiap sudut rumah besar itu , melihat undakan tangga rumah itu juga ornamen mewah di dalamnya. Rumah itu nyaris sama besarnya dengan rumah yang sebelumnya Yasmin tempati. Rumah Lily dan Faiz, hanya saja dia tidak melihat akan ada cahaya atau cinta di dalam rumah itu. Bahagia kah Yasmin dengan semua ini? Tidak. Hati , pikiran, jiwa dan raganya tetap berduka.
Sopir membantu mengangkat tubuh kecil Naima, kemudian membaringkan tubuh kecil itu di sofa ruang tengah rumah itu.
Ambu Fatimah hanya menatap wajah Yasmin yang terlihat sembab. Matanya masih terlihat basah, rongga dadanya sesekali terlihat menggigil seolah dia kesulitan untuk menelan nafasnya.
Mereka masih sama-sama lelah setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, pinggangnya benar-benar terasa kaku dan Ambu Fatimah juga yakin jika Yasmin juga merasakan lebih dari yang dia rasakan saat ini karena Yasmin belum sepenuhnya pulih dari rasa sakit pasca operasi Cesar yang dia lewati tiga hari lalu tapi meski begitu, Ambu Fatimah juga tetap mempertanyakan apa yang terjadi pada Yasmin, kenapa mereka pulang ke rumah lain yang lokasinya sangat jauh dan tidak mereka kenal.
"Katakanlah. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kita ada di sini?" Tanya Ambu Fatimah saat berpindah tempat duduk di sebelah Yasmin dan meminta Yasmin untuk menaikan kakinya untuk berselonjor di sofa panjang itu. Jujur Ambu Fatimah benci dengan pikirannya saat ini, dan rasanya sebagai satu-satunya keluarga yang Yasmin miliki saat ini, Ambu Fatimah memang harus menanyakan prihal ini.
Yasmin hanya terlihat menghela nafas dalam diam, kemudian menghembuskan dengan sangat pelan di ikuti air mata yang juga ikut tumpah di kedua netra indahnya. Kembali melakukan hal yang sama untuk meredam gemuruh di dadanya dan Ambu Fatimah bisa melihat dengan sangat jelas jika saat ini Yasmin sedang tidak baik-baik saja.
"Mulai sekarang , ini adalah rumah kita Ambu. Kita akan tinggal di sini!" Ucap Yasmin sembari menghapus benih air mata di kedua pipi dan tulang hidungnya.
"Apa maksudmu, Nak?" Bingung Ambu Fatimah saat Yasmin mengatakan jika mulai hari ini mereka akan tinggal di sini.
"Iya. Kita akan tinggal di sini sekarang. Bertiga. Yasmin, Naima dan Ambu. Hanya kita bertiga!" Jawab Yasmin lagi dan kali ini Yasmin berucap sambil menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya.
"Ambu tidak mengerti Yasmin. Kau baru saja melahirkan dan kau seharusnya tidak berada di sini sekarang. Dan apa ini? Di mana bayimu. Kalian sudah terpisah lebih dari empat jam dan Ambu yakin sekarang bayi itu pasti sangat kehausan dan butuh ASI darimu untuk menenangkannya." Ucap Ambu Fatimah lagi tapi air mata Yasmin justru semakin deras mengalir saat Ambu dengan sengaja membahas putranya yang mungkin saja saat ini butuh ASI darinya.
"Yasmin, putri Ambu. Ambu tau bagaimana hubungan mu dengan Faiz yang tidak begitu sehat, hanya saja kau juga tidak bisa melakukan ini pada putramu. Kau harus berada di samping putramu untuk,,,,!"
"Mas Faiz menceraikan Yasmin, Ambu!" Potong Yasmin agar Ambu Fatimah tidak lagi berpikir macam-macam.
"Apa?" Syok Ambu Fatimah dan Yasmin langsung mengagguk dengan sangat lemah.
"Ya. Mas Faiz menceraikan Yasmin tepat di hari Yasmin melahirkan putranya. Dan ini adalah alasan kenapa kita sekarang ada di sini!" Jelas Yasmin dengan sangat sederhana.
"Faiz menceraikan mu?" Kutip Ambu Fatimah yang terdengar sedikit tidak percaya. "Lalu bagaimana dengan bayimu?" Sambung Ambu Fatimah lagi karena merasa ini benar-benar tidak masuk akal.
"Mas Faiz mengatakan akan mengambil alih putra kami sebagai putra dia dan Lily." Jawab Yasmin yang kembali terisak dari tangisnya.
"Tidak. Ini tidak benar. Kau adalah ibu yang sudah melahirkan bayi itu dan sampai kapanpun statusmu tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapapun meskipun itu adalah Lily. Kau adalah ibu kandung bayi itu dan kau,,," suara Ambu terputus karena sama seperti Yasmin, Ambu Fatimah juga merasakan sakit dengan apa yang menimpa Yasmin saat ini.
"Ambu. Yasmin sakit Ambu. Yasmin sakit. Rasa sakit ini bahkan lebih sakit dari sayatan belati. Yasmin ingin menolaknya, tapi Yasmin tidak bisa. Kebencian Mas Faiz pada Yasmin begitu besar , hingga untuk mengakui Naima sebagai putrinya saja dia tidak pernah sudi." Yasmin terisak. "Yasmin ikhlas Ambu, Yasmin ikhlas dengan jalan takdir dan ujian ini, tapi kenapa rasanya tetap saja sakit untuk Yasmin tanggung sendiri!" Desisnya lagi dengan nafas tersendat di tenggorokannya juga tangis yang tidak juga bisa dia tenangkan.
"Yasmin , anak Ambu!" Ambu Fatimah memeluk punggung bergetar Yasmin. Membawa tubuh itu untuk duduk tegap, bersandar di punggung sofa karena takut jahitan di perut Yasmin justru bermasalah jika Yasmin duduk menekuk seperti itu.
"Hanya karena perasaan ini lantas Mas Faiz ingin menyalahkan Yasmin dan menghukum Yasmin juga kedua anak kami, Naima dan,,, ?" Suara Yasmin mengantung karena dia baru sadar jika dia bahkan belum memberikan nama untuk putranya itu.
"Sabar sayang. Kamu yang sabar." Ambu menenangkan. "Faiz seolah sengaja menancapkan belati di punggung mu, tapi dia juga ingin menuntut mu agar meminta maaf padanya hanya kerena darahmu mengotori ujung sepatutnya. " Sambung Ambu ikut teriris perih dengan ketidak beruntungan putrinya, Yasmin Ishaq.