Awal Kegelapan Yasmin

2408 Kata
Setelah begitu banyak penolakan yang sempat Yasmin keluhkan pada Faiz, pagi itu Yasmin seolah tidak punya kata untuk menolak menandatangani surat pengalihan hak asuh atas putranya juga beberapa berkas perceraian dan pengalihan hak milik atas tanah, rumah dan akun bank atas nama Yasmin Ishaq, Yasmin akhirnya benar-benar mempermudah keinginan Faiz untuk bercerai juga mengambil hak asuh putranya meskipun itu artinya Yasmin harus menanggung sejuta lara karena keegoisannya juga keterdiamannya. Pagi itu Yasmin akhirnya lepas dari hubungan tidak sehat yang dia jalani bersama Faiz, tapi entah kenapa Yasmin justru merasa ini adalah babak baru dalam lembaran kelam hidupnya. Bukan karena perpisahan dengan Faiz yang membuat Yasmin terluka, bukan juga karena cintanya yang terus saja bertepuk sebelah tangan, bukan. Rasa sakit karena putusnya tali pernikahan dia dan Faiz memang menyisakan luka di hati Yasmin, tapi ternyata rasa sakit saat kau kehilangan seorang putra jauh lebih pedih dari pada tersayat belati beracun sekalipun. Ingin rasanya Yasmin untuk tidak menangis tapi entah kenapa air asin itu seolah ingin bicara jika hatinya tengah terluka. "Assalamualaikum!" Ucap Ambu Fatimah saat membuka pintu rawat inap yang Yasmin tempati dan langsung mendapati Yasmin yang sedang duduk dengan bayi di pangkuannya dan sedang menyusuinya. "Walikum salam!" Jawabnya lembut sembari menghapus benih air mata dari kedua pipinya. "Pagi ini Ambu bawa bubur lagi untukmu, ada sayur kelor dan abon daging juga. Kau harus makan lebih banyak agar ASI mu berlimpah dan putramu bisa lebih puas menyu su!" Ucap nya saat meletakan tas anyaman yang dia gunakan membawa makanan untuk Yasmin tapi Yasmin tidak begitu menanggapi karena dia sedang fokus pada wajah merah bayinya, seolah ingin merekam elok-elok bayi laki-laki itu dalam ingatannya karena hari ini adalah hari terakhir dia akan bersama putranya. "Ayo makan dulu." Ambu sudah menawarkan semangkuk bubur untuk Yasmin dan bersiap mengambil alih bayi itu dari gendongan Yasmin agar Yasmin bisa lebih leluasa menikmati sarapannya namun di luar prediksi Ambu, Yasmin malah menolak memberikan bayinya pada Ambu meski maksud Ambu hanya agar Yasmin bisa menikmati sarapannya dengan baik. "Tidak Ambu. Biarkan saja seperti ini!" Ucap Yasmin semakin memeluk erat putranya. "Kau harus makan Yasmin , kau tidak bisa makan seperti ini!" Balas Ambu masih menyodorkan kedua tangannya agar Yasmin memberikan bayinya tapi Yasmin buru-buru menggeleng. "Yasmin bisa Ambu. Yasmin bisa!" Ucapnya penuh keyakinan dan Ambu Fatimah langsung terlihat menghela nafas sembari menggangguk. "Baiklah. Terserah kau saja Yasmin!" Ucap Ambu setelahnya lalu menarik meja khusus untuk meletakkan nampan bubur itu agar Yasmin bisa segera memakan. Benar saja Yasmin tetap memakan buburnya dengan bayi laki-laki itu yang terus berada di pangkuannya. Sesekali Yasmin menoleh ke arah bayi yang terlihat tenang lalu kembali menyendok bubur itu untuk dia telan, lebih tepatnya Yasmin memaksakan diri untuk menelan bubur itu sebagai bentuk rasa hormat dia pada Ambu yang sudah susah payah membuat makanan untuknya. Air mata Yasmin kembali meleleh di antara pipi dan tulang hidungnya namun bersamaan dengan itu Yasmin tetap memaksakan diri untuk menelan makanannya meskipun semakin Yasmin paksakan rasanya semakin sakit, tapi Yasmin seolah tidak punya pilihan karena hanya ini cara untuk melampiaskan rasa sesak di dadanya. "Selamat pagi!" Suara lembut itu menggema di ruangan dan Yasmin seketika menoleh ke arah sumber suara. Lia Dharma, ibu mertuanya yang datang. Lia meletakkan parsel bawaannya dan langsung menghampiri Yasmin dari duduknya. "Oh Yasmin. Kenapa kau makan sambil memangku putramu? Kemana Faiz dan Ambu Fatimah? Kenapa mereka membiarkan mu sendiri seperti ini?" Ucap Lia saat mengambil alih bayi laki-laki itu dari pangkuan ibunya, menggendongnya sembari menimangnya. "Mas Faiz sedang mengurus berkas Yasmin, kerena sepertinya hari ini kami akan pulang, sementara Ambu sedang berada di kamar mandi!" Jawab Yasmin dan detik yang sama Ambu juga keluar dari kamar mandi. "Aku sudah memintanya untuk mengambil alih bayinya, Nyonya, tapi Yasmin menolak dan mengatakan ingin tetap seperti itu!" Timpal Ambu saat keluar dari kamar mandi dan langsung ikut menghampiri Yasmin karena sepertinya Yasmin sudah selesai dengan makanannya, meskipun belum benar-benar habis. "Yasmin jangan begitu sayang. Maksud Mama jangan di biasakan Yasmin. Nanti kau juga yang akan repot. Bagaimana kalo Dede bayi malah keterusan ingin seperti itu, kau akan kesulitan melakukan aktivitas mu nanti jika dia hanya mau sama kamu. Pamali sayang!" Ucap Lia Dharma menegur menantunya karena tidak mau Yasmin justru akan kesulitan beraktivitas jika sang bayi hanya mau bersamanya, tanpa pernah Lia Dharma tau jika Yasmin melakukan itu bukan tanpa alasan. Lia tidak tau jika hari ini adalah hari terakhir Yasmin bisa melihat dan mendekap putranya. "Iya." Jawab Yasmin singkat dan Ambu langsung menarik meja makan di depan Yasmin. "Mama,,,!" Seru bocah yang belum genap tiga tahun itu begitu masuk di pintu ruang rawat inap ibunya , memaksa turun dari gendongan kakeknya agar bisa menghampiri ibunya tapi pak Aga menahannya, kemudian menurunkan bocah perempuan itu tepat di atas brankas yang Yasmin duduki "Mama,,,!" Naima langsung mendekap ibunya seolah mereka sudah tidak bertemu cukup lama padahal dia baru menginap di rumah neneknya lima malam. Mencium dan memeluk leher sang ibu. "Semalam Naima sangat rewel Yasmin , dia terus mengatakan ingin pulang. Ini untuk kali pertama dia serewel itu dan pagi tadi dia sudah terus berceloteh mencari mu!" Ucap Lia Dharma sembari bergetar ke kiri dan kanan dengan tubuh sedikit bergoyang saat bayi laki-laki itu di gendongannya. Yasmin hanya tersenyum menanggapi laporan ibu mertuanya, lalu membalas ciuman putrinya. Naima memang kadang seperti itu jika sudah lama menginap di rumah neneknya, tapi meski begitu mereka tidak kapok meminjam cucunya untuk menginap di rumah mereka. Maklum , Lia Dharma dan pak Al-Ghazali hanya memiliki satu orang putra dan itu adalah Faiz dan hal yang sangat wajar jika Naima, sebagai cucu pertamanya akan mendapatkan kasih sayang lebih dari kakek dan neneknya. Dia menjadi primadona di hari kedua paruh baya itu, meksi kadang mereka cukup di repot kan, nyatanya kekek dan nenek akan lebih cenderung menganggap semua sebagai kesenangan tersendiri untuk mereka. Tidak ada kata repot atau lelah jika itu menyangkut seorang cucu, bila perlu mereka akan memaksa cucunya untuk tinggal dan menetap bersamanya. Karena rasa sayang dan cinta seorang nenek atau kakek cenderung lebih besar dari pada rasa cintanya pada anak mereka sendiri dan hal itu juga Yasmin lihat langsung dari kedua orang tua Faiz, bagaimana mereka yang begitu menyayangi Naima. "Oh apa itu benar?" Yasmin pura-pura syok sambil menatap manik mata putrinya. "Enggak." Jawabnya sambil mengeleng. "Naima gak boleh gitu dong! Kasian lho Omma, bagaimana kalo Omma enggak sayang lagi sama Naima? Apa Naima mau Omma Lia di ambil dedek?" Tanya Yasmin dan bocah perempuan itu langsung mengeleng. "Enggak. Omma Ia cuma boleh adi Omanya Naima!" Serunya benar-benar sangat ceriwis dan takut kehilangan neneknya. "Tapi kata Omma, Naima semalam,,,!" "Selamat pagi!" Sapa seseorang yang baru membuka pintu ruangan itu dengan senyum yang sangat manis. "Pagi Dok!" Sapa Ambu dan baby sitter Naima sementara ibu Lia dan pak Aga hanya menjawab dengan tersenyum. "Yasmin. Bagaimana kabarmu pagi ini? Sungguh aku berharap kau sudah lebih baik dari hari kemarin!" Sapa Patan ramah dan Naima juga langsung bangkit dari duduknya, meminta berpindah ke gendongan sang dokter. "Alhamdulillah!" Jawab Yasmin lembut. "Tan, kata Yasmin Faiz sedang mengurus surat izin pulang, apa Yasmin benar-benar sudah pulih dan boleh pulang?" Tanya Lia Dharma pada Patan dan Patan langsung menatap ke arah Yasmin. "Faiz belum menemui Patan Tante. Tapi terserah sih, jika Yasmin merasa sudah lebih baik ya Yasmin sudah boleh pulang." Jawab Patan sambil menatap Yasmin dari duduknya seolah ingin bertanya kondisi Yasmin saat ini namun Yasmin hanya diam tidak bereaksi dengan ucapan Patan yang sejatinya sedang ingin bertanya padanya lewat tatapan mata mereka. "Bagaimana dengan mu Yasmin, apa kau merasa sudah fit?" Sambung Patan saat Yasmin hanya diam tidak merespon ucapannya. "Apa ini tidak terlalu cepat. Tante pikir kita harus menunggu jahitan di perut Yasmin sedikit mengering untuk menghindari infeksi. Ya setidaknya sampai dua atau tiga hari lagi!" Balas Lia dan Patan langsung mengagguk setuju karena begitu lah prosedur yang seharusnya. "Ya." Jawab Patan. Yasmin baru tiga hari lalu melahirkan lewat operasi Cesar, jahitannya masih belum kering, tenaga nya juga belum cukup pulih , tapi Faiz sudah akan membawa Yasmin pulang dengan alasan mereka akan melakukan perawatan di rumah, tentu itu bukan masalah besar untuk Faiz , mengingat dia bukan orang yang tergolong ekonominya menengah ke bawah. Faiz bahkan bisa menyewa lebih dari dua perawat untuk merawat Yasmin di rumah mereka, hanya saja bukan itu tujuan Faiz ingin membawa Yasmin keluar dari rumah sakit itu, bukan. "Yasmin sudah cukup sehat kok Ma. Lagian Faiz juga akan menyewa dua orang perawat khusus untuk merawat Yasmin di rumah. Mama tau Faiz tidak nyaman berada di rumah sakit, jadi lebih baik Yasmin di rawat di rumah , dan biarkan perawat yang menjaganya di rumah! Lily juga akan kembali Sabtu besok dan Mama tau Lily pasti akan merawat Yasmin dengan sangat baik." Timpal Faiz yang juga baru masuk di ruangan itu lalu menyerahkan map putih pada Patan yang isinya surat ijin rawat jalan yang harus Patan tandatangani. "Oh, begitu ya. Terserah kau saja, selama Yasmin tidak mempermasalahkan itu dan kau bisa memberikan perawatan ekstra pada Yasmin, Mama mah oke-oke saja. Intinya Mama gak mau Yasmin dan cucu Mama kenapa-kenapa!" Balas Lia Dharma setelahnya dan Patan langsung mengangguk meskipun sebenarnya dia tetap berat untuk membiarkan Yasmin pulang saat dia belum benar-benar sembuh, namun keputusan tetap menjadi milik Faiz, karena Faiz memang lebih berhak atas Yasmin saat ini. "Cantik. Mau ikut sama Om tidak. Kita keruangan Om. Ada balon warna warni lho di ruangan Om!" Tawar Patan pada Naima, putri Yasmin dan Faiz, dan bocah perempuan itu langsung mengagguk ceria. "Mau!" Jawab Naima lembut dan Patan langsung menggendong bocah itu untuk ikut bersamanya karena dia dan Naima memang sudah cukup dekat. Saat Patan dan Naima keluar dari ruangan itu, Ambu juga langsung membereskan sisa makanan juga perataan yang dia bawa dari rumah, memasukan ke dalam tas khusus untuk di bersihkan di rumah, selimut juga pakaian ganti untuk Yasmin karena Yasmin positif akan pulang hari ini. Yasmin kembali meminta putranya pada Lia Dharma, ibu mertua, karena dia tidak ingin melewati kesempatan untuk bersama putranya di hari terakhir dia bisa menyentuhnya karena setelah ini Yasmin tidak tau kapan dia akan bisa melihat putranya, terlebih saat tadi Faiz mengatakan agar Yasmin menjauh dari hidup Faiz dan Lily, dan Faiz dengan tegas mengatakan jika putranya tidak akan mengenal dia sebagai Mamanya, karena bayi laki-laki itu akan menjadi putra Faiz dan Lily, sementara dirinya hanya akan memiliki Naima saja. Pagi beranjak siang. Siang itu Lia dan pak Aga mengatakan akan mampir di toko khusus bayi untuk membeli beberapa pakaian bayi untuk cucunya, dan kemungkinan besok dia akan mengunjungi rumah Faiz untuk kembali melihat cucu-cucunya, dan Faiz tentu saja mengangguk setuju karena dengan begitu rencana dia akan berjalan lebih mudah dan Lia Dharma juga pak Arga langsung pamit lebih dulu pada Yasmin, sementara Ambu dan baby sitter Naima pilih menetap karena harus membantu Yasmin beres-beres untuk persiapan pulang. Ambu sudah membantu Yasmin berganti pakaian, sementara Naima sudah terlelap setelah kembali dari ruangan dokter Patan. "Ayo. Sopir sudah menunggu!" Ucap Faiz saat kembali ke ruangan Yasmin, meminta Yasmin juga dua asisten rumah tangga itu untuk pulang. Yasmin masih menggendong putranya, air matanya mengalir tanpa bisa dia tahan. Tangannya terus mencengkram kuat tubuh bayi laki-laki itu, masih enggan untuk melepaskannya. "Ambu, tolong bawa Naima!" Ucap Faiz datar dan Ambu langsung mengagguk dengan sangat cepat kemudian mengangkat tubuh kecil Naima ke gendongannya. Faiz meminta bayi laki-laki dari Yasmin namun Yasmin masih terlihat enggan untuk menyerahkannya dan baby sitter tadi menawarkan kursi roda untuk Yasmin berpindah tempat duduk. "Berikan putraku!" Pinta Faiz menawarkan kedua tangannya di hadapan Yasmin saat Ambu sudah keluar dari pintu ruangan itu dengan Naima yang terlelap di gendongan, berjalan ke arah pintu utama rumah sakit untuk segera sampai di mana mobil mereka terparkir. "Mas,,,!" Yasmin menghapus benih air matanya, ingin menolak tapi Faiz tetap kekeuh menginginkan bayi itu. Bibik, baby sitter Naima melihat interaksi antara Faiz dan Yasmin, melihat bagaimana Yasmin yang terlihat begitu rapuh dan berduka seolah Faiz sedang meminta nyawanya. "Berikan putraku. Dia akan baik-baik saja!" Ucap Faiz lagi dengan nada datar dan baby sitter itu masih terus menatap keduanya dan menit berikutnya Yasmin menyerahkan bayi laki-laki dengan bedong biru itu pada Faiz, kemudian Faiz menyerahkan bayi itu lagi pada baby sitter Naima untuk di bawa ke dalam mobil sementara Faiz sendiri yang mendorong kursi roda Yasmin, membawanya keluar dari rumah sakit itu "Yasmin. Tunggu!" Patan memanggil saat melihat Yasmin dan Faiz berjalan keluar dari koridor rumah sakit, ruang rawat inap Yasmin sebelumnya. Faiz langsung berbalik dan menarik senyum terbaiknya sebagai topeng untuk menutup sisi lain dari dirinya. "Sepatu Naima ketinggalan di ruanganku!" Patan memberikan separuh kecil berwarna merah muda itu pada Yasmin dengan tersenyum. "Berikan juga balon ini padanya. Dia menyukainya!" Sambung Patan menyerahkan empat balon berwarna warni, merah, kuning , merah muda dan biru, karena warna hijaunya sudah Naima pecahkan saat dia menyanyikan meletus balon hijau bersama Patan tadi. "Oh terima kasih!" Jawab Yasmin dengan senyum tulusnya tapi air matanya juga tetap terlihat berembun di kedua kelopak matanya. Patan masih belum menyadari itu, menyadari ekspresi wajah sembab Yasmin. "It's oke. Dia anak yang cerdas. Hari ini dia membuatku tertawa dan hadiahnya akan menyusul!" Balas Patan ikut tersenyum pula, dan menit berikutnya Yasmin benar-benar pamit pada Patan. Benar saja, saat Faiz sampai di pintu utama rumah sakit itu, dua mobil langsung menghampiri mereka, baby sitter dan bayi laki-laki itu masuk di mobil pertama, sementara Faiz meminta Yasmin masuk di mobil kedua bersama Ambu Fatimah dan Naima yang masih terlelap di gendongan Ambu. Kemudian meminta sopir itu untuk berangkat lebih dulu, barulah Faiz masuk di mobil pertama, di mana putranya berada. Mobil Faiz mengikuti laju mobil Yasmin, membelah kota Mataram yang cukup padat. Yasmin sesekali menoleh ke belakang, melihat mobil yang Faiz dan putranya tumpangi dan entah di mana mobil mereka berpisah, karena saat Yasmin menoleh untuk yang kesekian kalinya, mobil Faiz sudah tidak ada di belakangnya. Runtuh sudah dunia Yasmin saat menyadari jika dia benar-benar sudah terpisah dari putranya. Air matanya semakin menderas mengalir di kedua netra indahnya, lengan bajunya sudah tidak lagi mampu menahan derasnya air asin itu saat jalan yang mereka lalui saat ini tidak lagi sama dengan jalan menuju rumah Faiz dan Lily. Percayalah. Titik paling menyakitkan bagi seorang wanita adalah saat dirinya berhasil melahirkan anak-anaknya namun gagal menjadi seorang ibu, dan level tertinggi dari kesabaran seorang wanita adalah ketika dirinya bisa diam padahal di dalam hatinya ada luka yang terus meronta karena perih , sedangkan puncak kekuatan seorang wanita adalah ketika dirinya bisa tersenyum padahal di pelupuk matanya ada seribu tetes air mata yang siap untuk tumpah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN