Luka pasti menemui sembuh. Salah bisa menemui maaf. Tapi cinta ...? Akan tetap ada meski harus menyisakan luka. Cinta tetap ada saat membenci. Bahkan alasan dibalik benci itu sendiri tak lain adalah cinta. Karena memang untuk sebagian orang, lebih untuk memendam dari pada mengungkapkan perasaan. Lebih mudah bagi lidahnya untuk memaki, dari pada mengatakan sebenarnya isi hati.
Arga menatap Tata yang terlelap letih karena sudah menjaganya semalaman. Tata tertidur dengan lengan menopang kepalanya di sisi ranjang. Tatapan Arga beralih pada tangannya yang masih menggenggam tangan Tata dengan erat. Arga melepaskan genggamannya itu pelan-pelan. Namun seketika itu juga Tata terbangun dari tidurnya.
“Kamu udah bangun?” tanya Tata dengan mata yang belum terbuka dengan sempurna.
“Oh ... udah,” jawab Arga.
“Aku bikinin kamu bubur dulu ya, untuk sarapan,” ucap Tata.
Tata memperbaiki ikatan rambutnya lalu segera bangkit dari sana. Namun baru saja dia hendak keluar dari pintu kamar, Arga memanggilnya kembali.
“Ta...!” panggil Arga.
“Iya, ada apa?” Tata kembali berbalik.
“Aku belum lapar,” ucap Arga.
“Jadi kamu belum mau sarapan?” tanya Tata.
“Aku masih ngantuk dan mau tidur sebentar lagi,” jawab Arga.
“Baiklah kalo gitu,” balas Tata.
“Kamu juga,” ucap Arga sambil membalikkan badannya membelakangi Tata.
“Aku ...? Juga apa?” kening Tata berkerut.
“Kamu juga bisa tidur sebentar lagi.”
Tata terdiam mendengar perkataan Arga. Seulas senyum tipis terbentuk di wajahnya. Tata segera merapikan tempat tidurnya di samping ranjang. Masih dengan senyum yang mengembang, Tata merebahkan kepalanya ke bantal dengan perasaan nyaman. Tak butuh lama baginya untuk terlelap. Bahkan dalam hitungan satu ... dua ... tiga ... Tata sudah tertidur pulas.
***
Tata terbangun dengan perasaan dan kondisi tubuh yang sudah membaik. Dia tersenyum senang lalu segera bangun untuk melihat Arga. Namun ranjang itu kini sudah kosong. Tata segera bangkit dan mencari Arga keluar kamar. Dia menuruni anak tangga sambil melayangkan pandangannya ke lantai bawah.
Namun setiba di pertengahan anak tangga, Tata menghentikan langkahnya. Di bawah sana terlihat Arga sedang berdiri di depan lemari berisi trofi penghargaan miliknya. Dia membuka lemari itu perlahan, mengambil sebuah piala, lalu menjangkau sesuatu yang tersimpan di dalamnya. Arga kini menatap selembar foto ditangannya itu dengan wajah murung. Tata mendesah pendek lalu mengangguk pelan menandakan dia mengerti dengan situasi yang sedang terjadi.
“Hani ...” bisik Tata pelan.
Tata teringat sebuah nama yang terus disebut Arga berulang-ulang dalam mimpinya semalam. Tata akhirnya mengetahui sisi lain dari seorang Arga. Dia yang selalu terlihat kuat. Dia yang selalu terlihat acuh. Dia yang terlihat seperti seseorang tidak punya hati. Ternyata juga menyimpan sebuah luka.
***
Tata segera menghidangkan bubur buatannya yang masih mengepulkan asap. Sementara Arga hanya mengikuti gerak-gerik Tata dengan sudut matanya. Tata sibuk bolak balik mempersiapkan semuanya. Setelah itu barulah dia ikut duduk di meja makan.
“Ayo makan buburnya! Selagi masih hangat,” ucap Tata.
Arga langsung menyendok bubur itu perlahan.
Namun begitu lidahnya menyentuh bubur itu, wajah Arga langsung mengernyit. Tata pun menangkap ekspresi Arga itu sambil menggigit bibirnya. Tiba-tiba saja Tata merasa malu.
“Buburnya nggak enak, ya?” Tanya Tata.
Arga menatapnya sebentar. Sementara Tata masih menunggu dengan wajah cemas. Arga tidak menjawab pertanyaan itu dan kembali menyendok bubur itu dengan wajah datar. Keduanya pun makan dalam hening. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar. Sesekali Tata melirik pada Arga. Dia ingin menanyakan tentang foto dan juga sosok bernama Hani itu. Namun Tata mengurungkan niatnya. Dia sadar bahwa dirinya tidak memiliki kapasitas untuk tahu tentang masalah pribadi Arga.
***
Malam ini Tata dan Arga kembali harus berdua saja di rumah. Urusan orang tua Arga di luar kota masih belum selesai. Tata menghela napas panjang. Rumah itu terasa sepi tanpa orang tua Arga. Biasanya setiap malam Tata akan menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama papanya Arga. Atau Tata akan sibuk membantu mama Arga di dapur untuk bereksperimen membuat aneka jenis makanan yang lezat.
Malam ini terasa begitu sunyi. Suasana rumah pun kini terlihat sedikit menyeramkan. Tata berkali-kali menengok ke belakang karena merasa ada sesuatu yang memerhatikannya. Konsentrasi Tata kini mulai terganggu. Dia tidak lagi fokus pada tugas kuliah yang sedang dikerjakannya. Tak lama kemudian dia segera mengemas bukunya dan bermaksud untuk pergi ke kamar saja.
Hujan yang turun malam ini juga membuat suasana kian mencekam. Sesekali suara petir dan cahaya kilat menyambar di luar sana. Tata bergidik ngeri lalu segera mematikan lampu ruang tamu tempat dia belajar. Namun baru beberapa saat dia melangkah, tiba-tiba saja Tata mendengar suara seseorang mengetuk pintu.
“Siapa itu?” bisik Tata.
Tata merasa bimbang sekarang. Dia ragu harus mengabaikannya atau harus memeriksanya ke depan sana. Tata menatap ke arah pintu sambil menelan ludah. Apa dia harus mambangunkan Arga dan menyuruh dia saja untuk memeriksa?
“Nggak, tenang aja Ta! Ayo kita lihat ... kalo itu hantu dia nggak perlu ngetuk pintu segala,” ucap Tata pada dirinya sendiri.
Tata segera menjinjit langkah pelan mendekati pintu itu. Meski sudah meyakinkan dirinya sendiri, tetap saja lututnya mulai bergetar. Tata lalu menyibak tirai kaca jendela di samping pintu itu pelan-pelan. Kedua alisnya mengernyit, tidak ada siapa siapa di luar sana.
Tata kembali menengok keluar sekali lagi untuk memastikan. Namun tiba-tiba saja petir langsung menyambar. Bersamaan dengan itu Tata melihat sosok menakutkan di kaca jendela.
“AAA ...!!!” Tata berteriak keras sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Dia ingin segera lari dari tempat itu. Namun begitu berbalik, Tata langsung menabrak Arga yang kini berdiri di belakangnya. Tata merasa terkejut sekaligus lega. Dia terkejut karena tiba-tiba menabrak sesuatu dan lega karena yang di tabraknya itu adalah Arga.
“Kamu ngapain?” tanya Arga.
“T-tadi ... tadi ... ada yang ngetuk pintu.” Tata menjawab dengan napas tersengal-sengal.
“Terus ngapain kamu teriak-teriak?” tanya Arga lagi.
“Aku ngeliat bayangan seseorang di kaca, tapi ...”
“Tapi apa?”
“Tapi sekarang aku tau kalo itu ternyata bayangan kamu,” Jawab Tata dengan suara lemas.
Arga tertegun sejenak sebelum menyembunyikan senyumannya. Dia menatap Tata yang kini masih ketakutan. Entah kenapa Arga merasa tingkah Tata itu begitu lucu dan menggemaskan. Sebuah ide nakal pun kini terpikir di otaknya. Arga menyuruh Tata mendekatkan telinganya kemudian mulai berbisik pelan.
“Sebenarnya ... rumah ini sebelumnya adalah bekas kuburan tentara belanda,” bisik Arga dengan suara pelan.
Bola mata tata langsung terbelalak mendengar ucapan itu. Sekujur tubuhnya langsung meremang dan terasa dingin. Tata reflek memegang tangan Arga dengan erat. Untuk sesaat Arga juga terkejut. Dia terdiam menatap Tata yang kini bergelayut di lengannya.
“U-udah, ah. Aku cuma becanda,” ucap Arga sambil menarik tangannya.
***
Malam sudah semakin larut. Namun Tata masih gelisah dan tidak bisa memejamkan mata. Semua itu berkat cerita konyol Arga yang membuatnya mendadak parno. Guyuran hujan di luar sana semakin membuat hal-hal aneh terus melintas di pikiran Tata.
Menyadari Tata yang terus saja berisik di bawah sana, Arga melongokkan kepalanya untuk melihat Tata sebentar. Seketika dia kembali mengulum senyum. Arga melihat ekspresi Tata seperti bocah yang ketakutan. Tata memasang wajah cemas sambil terus menggigiti kuku jari tangannya.
“Kamu kenapa sih, Ta?” tanya Arga.
“Nggak ... aku nggak apa-apa.” Tata bersikap sok santai.
“Kamu takut, ya?” tanya Arga lagi?”
Tata tidak lagi menjawab. Namun raut wajahnya sudah menjawab jelas pertanyaan Arga.
“Ya udah tidur di atas ini aja!” ucap Arga.
Tata terdiam dan mencoba mencerna ajakan itu.
“Apaan sih ... ada-ada aja,” elak Tata.
“Jangan mikir yang aneh-aneh.” Arga seakan bisa membaca pikiran kotor Tata.
“Nggak usah, aku tidur di sini aja,” tolak Tata.
“Ya deh, kalo gitu ...” Arga memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, “tapi kamu tau kan, kalo hantu itu biasanya ada di kolong tempat tidur,” lanjut Arga.
Seketika itu juga terdengar suara gedebuk yang keras. Tata langsung menghambur naik ke ranjang dan menyembunyikan seluruh wajahnya di dalam selimut.
***