BAB 12 - Puisi

1222 Kata
Harimau buas itu sudah kembali. Arga sudah sembuh bersamaan dengan sikap mode kasarnya yang kembali menyala. Pagi ini dia sudah berhasil membuat Tata kesal. Arga menumpahkan saus cokelat di atas pakaian yang akan di kenakan Tata ke kampus. Tata mencoba menghapus noda itu dengan jarinya. Namun yang ada noda itu bertambah lebar dan terlihat semakin jelas. “Kamu seharusnya bisa lebih hati-hati.” Tata menatap Arga dengan wajah cemberut. “Apaan sih, emangnya kamu siapa sok-sok ngasih nasehat.” Arga bersikap acuh dan segera berangkat duluan meninggalkan Tata.  “Dasar kecubung rebus! lebih baik kamu sakit aja terus, biar mode jahannamnya terhenti,” dengus Tata. Di perkuliahan pagi ini ada dua hal yang menjadi pusat perhatian semua mahasiswa di kelas. Yang pertama adalah materi yang di jelaskan dosen dan yang kedua adalah sosok Hamdi yang tiba-tiba memilih duduk di sebelah Tata. Hamdi yang datang agak sedikit telat langsung menerobos ke tengah dan langsung memasang senyum menatap Tata. “Itu pangeran kamu ngapain lagi sih, Ta?” Windi berbisik ke telinga Tata.  Tata langsung menyikut Windi agar dia diam.  “Aku boleh duduk di sini, kan Ta?” tanya Hamdi. “Oh ... boleh kok,” jawab Tata. Belum reda ke-terkejut-an Tata karena Hamdi, tiba-tiba saja sosok Arga kini juga berdiri di hadapannya. Arga memasang wajah cuek lalu tersenyum ke arah Windi. “Bisa nggak kita tukeran duduk sebentar,” pinta Arga. “B-bisa bisa,” Seolah terhipnotis oleh senyuman maut Arga, Windi pun segera beranjak pergi.  Arga duduk dengan santai lalu mengeluarkan bukunya. Sementara Tata masih memasang wajah linglung sambil menatap Arga dan Hamdi secara bergantian. Tata menoleh ke belakang menatap Windi yang kini duduk di sebelah Helena. Keduanya tengah sibuk berbisik sambil sesekali menatap ke arah tempat duduk Tata. “Waktu itu kamu marah ya? gara-gara foto itu?” Hamdi memulai pembicaraan dengan nada hati-hati.  “Enggak kok, aku cuma ngerasa nggak nyaman aja,” jawab Tata. “Jadi intinya kamu nggak marah, kan?”  “Hmm... iya,” jawab Tata. Hamdi tersenyum lega. Dia terlihat senang lalu kembali fokus pada materi pelajaran yang sedang di berikan dosen. Namun tidak berapa lama kemudian dia kembali melirik Tata. Sementara gadis itu kini tiba-tiba merasa gerah karena di apit oleh dua sosok kontroversial Hamdi dan juga Arga. “Oh iya Ta, kamu ada acara nggak sepulang dari kampus nanti?” tanya Hamdi lagi. “Hmm ... nggak sih,” jawab Tata. “Kamu mau nggak nemenin aku toko buku?” ajak Hamdi. Sepersekian detik Tata termangu mendengar ajakan itu. Hingga kemudian dia tertawa pelan sembari menimbang-nimbang tawaran itu. Hamdi pun masih menunggu jawaban Tata dengan tatapan teduhnya. Tata kemudian mengangguk pelan. Dia rasa mungkin inilah saatnya menebus rasa bersalahnya kepada Hamdi. “Aku rasa aku—” “Pinjam pulpen dong!” Arga tiba-tiba memotong pembicaraan. Tata pun segera mengambil sebuah pulpen kemudian memberikannya. Setelah itu Tata kembali menatap Hamdi lalu tersenyum. “Aku bi—“ “Pulpen ini nggak ada tintanya.” Arga memotong pembicaraannya lagi. Tata mengambil pulpen itu dengan gusar dan mencoba mencoret sebuah kertas. Darah panasnya terasa mulai naik ke ubun-ubun. Tata menyerahkan kembali pulpen itu kepada Arga dengan mata melotot. Arga pun hanya berdehem kemudian kembali menulis memakai pulpen itu.  “Jadi gimana, Ta?” ulang Hamdi. “Iya, aku bisa kok!” jawab Tata.  ***  Waktu perkuliahan pun usai. Tata pun segera pergi bersama Hamdi untuk memenuhi janjinya. Kepergian Tata di lepas oleh Windi dan Helena dengan kedipan nakal. Keduanya bahkan mulai bertingkah lebay dan kekanak-kanakan menggoda Tata. “First date,” celetuk Windi.  “Jangan mau kalo ntar di pegang-pegang,” bisik Helena. “Kalian ini apaan sih, aku itu cuma pergi ke toko buku aja.” Tata memukul kepala keduanya pelan lalu segera menyusul Hamdi yang sudah menunggunya. “Pegangan aja, Ta! Nanti kamu jatoh,” ucap Hamdi begitu Tata menaiki motornya.  “Nggak kok, nggak apa-apa.” tolak Tata dengan wajah memerah. Sebelum menuju toko buku, rupanya Hamdi mengajak Tata untuk makan siang terlebih dahulu. Hamdi benar-benar memperlakukan Tata dengan baik. Dia membuat Tata merasa dirinya istimewa hari ini. Tutur katanya, sikapnya, semua yang ada pada diri Hamdi terus saja membuat Tata luluh dalam pesonanya.  “Aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Tata sambil terus menyantap makanannya. “Nanya apa?”  “Kamu udah kenal lama sama Arga?”  Hamdi agak terkejut dengan pertanyaan itu. “Hmm... aku itu udah berteman sama Arga sejak kami SMP ... emangnya kenapa, Ta?” tanya Hamdi. “Nggak, aku cuma heran aja. Ternyata orang seperti Arga juga bisa punya teman akrab,” jawab Tata. Hamdi tertawa pelan mendengar jawaban Tata. “Arga itu sebenernya baik kok, Ta. Hanya saja sejak dia ditinggal—” Hamdi menghentikan kalimatnya.  “Ditinggal siapa?” tanya Tata. “Ah, udahlah Ta. Sebaiknya kita nggak usah membicarakan seseorang yang nggak ada di sini.” Tata mengangguk pelan. Namun perkataan Hamdi barusan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Tata tampak berpikir dengan keras. Dia mulai menghubungkan satu demi satu keanehan yang sudah dia temukan. Tata mencoba menerka-nerka. Dia mencoba menebak apa yang sudah terjadi pada Arga. “Ditinggalkan ...? potret seorang gadis ...? Hani ...?” Gumam Tata dalam hatinya. ***  Tata pulang ke rumah dengan wajah ceria. Dia terus tersenyum melihat sebuah buku puisi yang tadi dibelikan Hamdi sebagai hadiah untuknya. Tata memeluk buku itu erat-erat lalu berputar-putar pelan. Dia begitu ekspresif menggambarkan suasana hatinya hari ini. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa Arga sedang menyaksikan aksi konyolnya itu.  “Lagi bahagia, ya?” sindir Arga. “Ehm ... apaan sih.” Tata merasa malu dan menghentikan aksinya. Tata melihat apa yang sedang dikerjakan Arga. Ternyata dia sedang memasak sebuah mi instan. Tata mencibir melihat Arga yang rupanya juga bisa memasak. Namun tiba-tiba air di wajan itu meluap dan mulai menetes keluar. Arga berteriak panik dan langsung memanggil Tata untuk membantunya. “Ta ... Ta ...! Tata bantuin ini kenapa?” pekiknya.  “Apinya terlalu besar, bodoh!” dengus Tata. “Sekarang gimana tuh?” Arga menggaruk-garuk kepalanya. “Aku bikinin yang baru aja deh,” ucap Tata. Tata pun mulai memasak sambil membaca buku pemberian Hamdi. Bibirnya tak henti tersenyum membaca baris demi baris kalimat di buku itu. Sementara Arga kini mulai jengkel karena sikap Tata yang terlihat sok cantik di matanya. Wajar saja, Tata membaca buku itu sambil menjinjit sebelah kakinya, kemudian menggoyang-goyangkannya pelan. “Buku apaan sih?” tanya Arga. “Kamu nggak bisa baca?” jawab Tata ketus. “Buku nggak berkualitas,” ejek Arga. “Jangan ngomong sembarangan! buku ini khusus dipilihin sama Hamdi, dan dia itu seorang penulis, tau!” bentak Tata.  Tiba-tiba saja hujan mulai turun. Tata teringat pada cucian yang dijemurnya tadi pagi. Tata meletakkan buku itu sebentar lalu berlari menyelamatkan cuciannya. Setelah semua selesai diangkat ke dalam, Tata kembali menuju dapur.  “Arga ... kamu udah matiin apinya, kan? itu mie nya pasti udah ma—” ucapan Tata terhenti karena tidak ada Arga di sana. Tata melihat kompor sudah di matikan. Dia juga melihat wajan yang digunakan untuk memasak itu sudah kosong. Tata bermaksud melangkah pergi, namun kemudian dia kembali menatap ke wajan itu. Tata lalu mengangkat wajan itu dengan wajah terkejut histeris. Di bawahnya terletak buku pemberian Hamdi yang sudah lecet karena wajan yang panas. Tata menggeram kuat dengan mata yang mulai berapi-api. Sedetik kemudian lengkingan suaranya pun langsung membelah langit. “ARGAAAAA ...!!!” *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN