Tata menjalani hari-harinya dengan perasaan hampa. Tidak ada lagi candaan dan kesenangan bersama Windi dan Helena. Tidak ada lagi senyuman hangat dan kata-kata indah dari Hamdi. Juga tidak ada lagi perang mulut dan pertengkaran hebat yang biasa terjadi dengan Arga. Dalam sekejap Tata merasa hidup dalam kekosongan. Hari-harinya terasa berat. Waktu pun terasa bergulir pelan. Tata terjebak dalam komplikasi permasalahan yang sulit untuk diselesaikan.
“Win ... Helena ... bisa aku bicara sebentar?” ucap Tata pada Windi dan Helena.
“Oh, maaf tapi aku harus ke perpus..” Helena segera berdiri dari duduknya.
“Aku juga,” sambung Windi.
“Maafin aku!” pekik Tata.
Langkah kaki Helena dan Windi terhenti. Keduanya lalu menatap Tata perlahan. Tata pun segera melangkah mendekati mereka kembali. Dia masih berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
“A-aku—”
“Kamu nggak perlu minta maaf, kok Ta!” Windi langsung memotong pembicaraan.
“Emang kamu punya salah sama kita?” tanya Helena.
“Please maafin aku!” ucap Tata lirih.
“Jadi kenapa? kenapa kamu tiba-tiba bersikap seperti itu?” tanya Helena sambil menyilangkan tangannya.
“A-aku ... ada sesuatu yang nggak bisa aku jelasin,” jawab Tata.
“Nah, kalau kamu nggak bisa ngejelasin, kenapa kamu manggil kita coba?” Windi tertawa sumbang.
Tata mulai merasa tertekan. Dia tidak mungkin menjelaskan alasannya. Dia tidak mungkin membeberkan rahasianya. Namun disatu sisi dia juga mulai tergoda untuk bicara. Separuh hatinya merasa bahwa Helena dan Windi bisa di percaya. Namun separuhnya lagi segera memberikannya peringatan tanda bahaya.
“Ya udah Ta! kayaknya kita emang nggak berhak tau,” ucap Helena.
“Ternyata kita nggak sedekat yang aku pikir ya, Ta,” tambah Windi.
Keduanya pun berlalu pergi. Tata hanya terpekur dengan bibir yang masih terkatup rapat. Dia masih perlu waktu untuk menceritakannya. Dia masih perlu meyakinkan dirinya sendiri untuk berbagi rahasia itu. Tata masih takut jika pengakuannya hanya akan menambah daftar permasalahannya.
***
Hamdi sepertinya juga mulai menjauh karena Tata tidak membalas pesannya. Setelah mengetahui latar belakang Hamdi, tentu saja Tata harus menjaga jarak dengannya. Alasan lainnya adalah layar sentuh handphone Tata juga rusak setelah di banting Arga. Jadi dia hanya bisa membaca pesan Hamdi tanpa bisa membalasnya. Tata pun merasa rusaknya handphone itu juga sebagai tameng baginya untuk menghindar.
Tapi meskipun begitu, jauh di dalam lubuk hatinya Tata ingin menemui Hamdi. Dia ingin menceritakan keluh kesahnya. Dia ingin menerima tawaran Hamdi. Dia ingin meminta bantuannya dan dia juga ingin membuka hatinya untuk sosok Hamdi yang selalu membuatnya merasa bahagia. Tapi apa mau dikata. Jauh sudah panggang daripada api.
“Tata ...!”
“Tata ...!”
Dosen yang sedang mengajar memanggil Tata dengan suara keras. Tata pun terkejut dan bangun dari tidurnya. Untuk pertama kalinya Tata berbuat kesalahan dengan tertidur di dalam kelas. Seluruh mata kini tertuju padanya. Semuanya berbisik lalu menyembunyikan tawa mereka.
“Apa kamu tidur di kelas saya?” tanya pak Andre yang terkenal sebagai dosen killer.
“M-maafkan saya Pak,” ucap Tata.
“Sini kamu maju ke depan!” perintah pak Andre.
Tata pun melangkah dengan gugup. Sebelum melangkah, dia sempat menatap pada Windi dan Helena. Namun keduanya langsung membuang muka. Arga dan Hamdi juga begitu. Keduanya terlihat memasang wajah datar sambil sibuk dengan bukunya masing-masing.
“Sekarang coba kamu ulang menjelaskan tentang teori ini!” tunjuk Pak Andre ke arah papan tulis.
Tata menelan ludah, dia sama sekali tidak tahu jawabannya. Dia hanya bisa menunduk dengan rasa malu yang memuncak. Pak Andre pun kini menatap tajam ke arahnya. Beliau mendengus lalu menghempaskan bukunya ke meja.
“Sekarang juga kamu keluar dari kelas saya!” usirnya.
“T-tapi Pak—”
“Saya bilang keluar!” tutup pak Andre.
Tata pun melangkah pergi diiringi olok-olok dari penghuni kelas. Hal itu tentu saja membuat hatinya yang sedang sensitif kembali meradang. Air matanya langsung menetes. Dia mengemasi buku-bukunya dengan pipi yang sudah banjir air mata. Sementara penghuni kelas yang lain semakin bersemangat untuk mengejeknya.
Hamdi mulai merasa gerah, begitu juga Helena dan Windi. Bagaimanapun juga mereka tidak bisa menerima jika Tata diperlakukan seperti itu. Tata pun sudah pergi keluar kelas. Namun mereka masih sibuk mengejeknya. Pangkal geraham Hamdi beradu kuat. Helena juga mulai menyinsing lengan bajunya.
“Kalian bisa diam nggak ...!”
Hamdi yang baru saja ingin membuka mulut langsung terdiam. Helena yang ingin ikut bersuara juga tercengang. Semua mata termasuk pak Andre kini menatap Arga yang tiba-tiba berteriak dengan wajah merah. Seketika kelas menjadi hening. Seiring dengan itu Arga meraih ranselnya dan segera pergi keluar kelas.
“Kenapa tiba-tiba dia mengamuk?” tanya Windi pada Helena.
Helena tidak menjawab. Dia menatap kepergian Arga dengan tatapan ganjil. Ada sesuatu yang mulai menganggu pikirannya. Tanpa pikir panjang, Helena juga bangkit dari kursinya dan ikut keluar menyusul Arga.
“Kamu mau ke mana?” hardik pak Andre.
Helena acuh tidak menjawab pertanyaan itu.
“Ada apa dengan kalian ini?” tanya Pak Andre heran.
Helena terus mempercepat langkahnya. Dia menyusuri lorong mencari sosok Arga yang sudah menghilang. Helena segera berlari mencari Arga. Dia memanjangkan lehernyake segala penjuru untuk mencari keberadaanya. Hingga Akhirnya dia melihat sosok Arga berjalan naik ke atap kampus. Helena pun segera bergegas untuk menyusulnya.
Setelah terus menerus manaiki anak tangga, akhirnya langkah Helena terhenti. Dia melihat Arga sedang berdiri diam. Helena pun mengernyit heran dan segera mendekatinya pelan. Dia penasaran dengan apa yang sedang di lakukan Arga di sana. Helena mulai menjinjit langkah untuk melihat dari dekat. Perlahan dia menyandarkan punggungnya di balik tembok. Helena mulai mendengar suara Arga yang terdengar samar. Dia kemudian mengintip dan langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Pemandangan di depan matanya sungguh mencengangkan. Helena masih belum memercayai penglihatannya. Dia bahkan berkali-kali mengerjapkan matanya agar bisa melihat lebih jelas. Terlihat Arga sedang memeluk seseorang dengan erat, dan sosok itu adalah Tata.
“Ayo kita pulang ke rumah!” ucap Arga pelan.
Tata langsung mengangguk pelan.
“Hapus dulu air matanya!” perintah Arga lagi.
Tata pun menyeka sisa air matanya.
“Aaah ... lama amat, sih.” Arga ikut membantu menghapus air mata Tata dengan ujung lengan kemejanya.
“Ayo kita pulang sekarang!” ulang Arga.
Keduanya lalu berbalik. Namun seketika itu juga mereka terkejut. Tiba-tiba saja Helena sudah berdiri di hadapan mereka. Helena menatap Arga dan Tata dengan tajam. Tata pun menelan ludah, dia menatap Arga dengan raut cemas. Sementara Arga memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam.
“Ta ... aku butuh penjelasan dari kamu ... sekarang!” ucap Helena pelan.
***