Tata sedang asyik berkirim pesan via w******p bersama Hamdi. Mereka terlibat berbagai obrolan hangat yang menyenangkan. Hamdi ternyata memang sosok penulis sejati. Dia bahkan bisa membuat Tata merasa sedih dan bahagia secara bersamaan. Hamdi mengirimkan berbagai sajak dan rangkaian kata yang membuat hati dan perasaannya bergejolak. Ditengah keasyikannya berbalas pesan, tiba-tiba gangguan itu datang.
“Cariin kemeja yang warna hitam dong.” pinta Arga.
“Emang nggak ada di lemari?” tanya Tata dengan mata yang masih terpaku ke layar handphonenya.
“Nggak ada.”
“Ya, udah aku cariin bentar.”
Tata segera mencarikan kemeja Arga dengan jemari yang masih sibuk mengetik pesan. Hal itu membuat Arga kesal karena dia harus segera buru-buru pergi. Sialnya lagi baju itu belum di setrika dan masih kusut. Arga akhirnya meminta Tata untuk menyetrikanya sebentar. Walau agak jengkel, Tata pun akhirnya mau melakukannya.
“Bisa nggak sih, handphonenya ditaro dulu bentar,” ucap Arga.
“Nggak bisa.”
“Emang chattingan sama siapa?”
“Hamdi,” jawab Tata.
Arga menghela napas panjang lalu beranjak pergi. Selagi menyetrika pakaian Arga, sebuah pesan dari Hamdi kembali masuk. Tata langsung antusias membaca pesan itu. Kali ini Hamdi mengirimkan sebuah puisi yang cukup panjang. Tata membaca puisi itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tata larut dalam setiap bait yang dikirim Hamdi. Tata jadi melamun dan lupa pada setrika yang masih menyala.
“Oh, astaga!” pekik Tata.
Tata segera mengangkat setrika yang sudah membuat baju Arga melepuh. Teriakan Tata barusan juga membuat Arga segera datang. Tata hanya termangu menatap Arga dengan baju yang sudah hancur di genggamannya. Arga pun menarik napas dalam. Wajahnya kini sudah berwarna merah padam. Dia langsung melangkah mendekati Tata, mengambil handphonenya dengan kasar, lalu melempar handphone itu ke dinding dengan sekuat tenaga.
“Arga ...!” pekik Tata.
Tata menatap handphonenya yang kini berderai hancur di lantai. Kemudian dia melirik Arga yang juga menatap tajam kepadanya.
“Apa harus kamu sampai berbuat seperti itu?” tanya Tata dengan suara serak.
“Hamdi lagi! Hamdi ... Hamdi ... selalu Hamdi!” Arga berteriak keras sambil meninju meja dengan kuat.
Tata terhenyak. Dia tidak pernah melihat Arga semarah ini. Tata menatap jemari Arga yang kini mulai meneteskan darah. Tata pun melangkah mendekat dan menatap Arga dengan air mata yang sudah tumpah.
“Emangnya kenapa kalau Hamdi? memangnya kenapa?” pekik Tata.
“Kamu itu bener-bener bodoh, Ta!”
“Denger ya, Ga! bukannya kita udah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing? jadi kenapa kamu sekarang seperti ini?”
“Karena orang itu Hamdi! karena Hamdi itu teman aku!” Arga menjawab ketus.
“Lalu kenapa kalau dia teman kamu?”
“Kamu pikir hubungan kamu bisa berjalan lancar sama dia? kamu pikir hubungan itu cuma antara kamu dan dia aja? Apa kamu tau kalau Papa aku, Papa dia, dan Almarhum Ayah kamu adalah teman?” tanya Arga.
Tata terhenyak mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Arga dengan nanar seolah ingin meminta lebih penjelasan.
“Kamu pikir dengan situasi yang seperti itu, dia nggak akan tau tentang hubungan kita? dan kamu pikir setelah dia tau ... apa dia akan masih mau menerima kamu?”
Ucapan Arga seperti menyadarkan Tata. Hatinya kini remuk mengingat kenyataan. Untuk sesaat Tata lupa siapa dirinya. Dia lupa akan situasi rumit yang kini dijalaninya. Tata tidak mampu lagi menjawab. Semua memang karena kebodohannya yang sudah terlena dan lupa diri.
“Jadi aku peringatin sekali lagi sama kamu! kalau kamu mau semua baik-baik aja sampai kontrak pernikahan kita berakhir ... sebaiknya kamu berhenti deketin Hamdi!” Arga berkata dengan suara lunak, lalu segera berlalu pergi.
***
Sudah tiga hari lamanya Tata dan Arga tidak bertegur sapa. Hal itu bahkan membuat orang tua Arga menjadi khawatir. Tata pun berusaha bersikap seperti biasa. Dia mencoba berbicara pada Arga saat sedang bersama kedua orang tuanya. Tata pikir Arga akan berakting seperti biasa. Namun kali ini tidak lagi. Arga sepertinya benar-benar marah dan tidak bisa memaafkannya.
“Ga, kita nggak bisa gini terus di hadapan Papa dan Mama kamu.” Tata berusaha mencegat Arga sebelum dia masuk ke mobilnya.
“Kamu nggak liat gimana wajah khawatir mereka?” tanya Tata.
Tata terus berusaha membujuk Arga. Namun yang dibujuk tetap diam seribu bahasa. Arga bahkan enggan untuk sekedar memandang Tata. Dia hanya memutar bola matanya malas, lalu segera masuk dan langsung memacu mobilnya.
“Apa yang harus aku lakuin sekarang,” bisik Tata lirih
Akhirnya Tata memutuskan untuk menjaga jarak dengan Hamdi. Dia tidak lagi menjawab teleponnya, tidak lagi membalas pesannya, dan selalu berupaya menghindarinya. kalaupun bertemu, Tata langsung bersikap dingin padanya. Hal itu tentu saja menimbulkan tanda tanya di benak Hamdi.
Bukan hanya Hamdi, Windi dan Helena juga menjadi pelampiasan amarah Tata. Dia tiba-tiba saja mengamuk saat Windi dan Helena terus menggodanya dengan membicarakan Hamdi. Tata yang labil kini sulit menenangkan dirinya sendiri. Dia terus saja menempatkan dirinya dalam masalah.
“Sorry Ta, kalau kamu nggak suka sama candaan aku ... tapi kamu nggak perlu sampai bersikap seperti itu.” Helena yang kecewa dengan sikap Tata langsung melangkah pergi.
“Kamu tau nggak, Ta? kalau sikap kamu ini emang berlebihan. Sebaiknya aku juga pergi. Karena sepertinya kamu perlu waktu buat sendiri,” timpal Windi.
Tata menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Rentetan masalah kini datang bertubi-tubi. Air matanya tumpah begitu melihat punggung Windi dan Helena yang terus melangkah pergi. Tata memang belum pernah bisa menyelesaikan masalah. Satu-satunya keahliannya hingga detik ini hanyalah mendatangkan masalah. Segala keputusannya, setiap yang dia perbuat, semua yang dianggapnya benar, hanya berakhir menjadi sebuah masalah.
***
Sudah sejak sore tadi Tata duduk di sana. Dia duduk sendirian di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kampus. Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Tata masih enggan untuk beranjak dari sana. Dia merasa malu pulang ke rumah Arga. Dia malu bertemu dengan orang tua Arga. Dia merasa bersalah karena sudah membohongi mereka semua.
Tata pun kembali terisak. Dia terus menangis dan tidak peduli pada pengunjung lain yang kini menatapnya. Tata tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan orang tua Arga dan juga ibunya sendiri jika mereka tahu tentang kebohongan yang telah dia sepakati bersama Arga. Tata memijit kepalanya yang kini mulai terasa berdenyut.
Tata kemudian tersentak kaget ketika melihat keluar jendela. Tangisannya pun langsung terhenti. Dia akhirnya menyadari bahwa ada sosok Hamdi yang melihatnya dari luar sana. Hamdi lalu menatapnya dengan mata sendu. Kemudian dia terlihat mengeluarkan handphonenya. Cukup lama hamdi terpaku pada layar handphone itu. Tiba-tiba handphone milik Tata berdering, dan itu adalah sebuah pesan dari Hamdi.
Ta... aku nggak tau apa yang sedang terjadi sama kamu. Tapi yang pasti, aku tau kalau sekarang kamu sedang ada masalah. Aku udah pernah bilang kan, untuk jangan pernah nangis sendirian lagi. Kamu ingat nggak... saat pertama kali kita ketemu ...? waktu itu kamu juga lagi nangis sendirian. Kamu nangis dengan sekujur tubuh yang basah karena hujan...
Ta... aku nggak mau ngeliat kamu nangis seperti itu lagi. Aku bisa membantu kamu. Aku bisa mendengarkan semua keluh kesah kamu. Aku bisa mencarikan solusi untuk setiap permasalahan kamu. Aku juga bisa menempatkan diri untuk selalu mengerti keadaan kamu...
Tapi sekarang aku nggak bisa ngelakuin itu semua, Ta!
Karena untuk melakukan itu semua, kamu harus membuka hati kamu untuk aku terlebih dahulu...
***