BAB 18 - Nostalgia

1335 Kata
Pagi ini Tata dan Arga ikut pergi ke kebun membantu ibu Tata memetik sayuran. Keduanya sangat menikmati momen pagi ini. Tata tersenyum senang karena bisa menghabiskan waktu bersama ibunya. Rindunya pada suasana kamung halaman juga sudah terobati. Sementara Arga begitu menikmati udara segar pedesaan yang jauh dari polusi. Segala beban pikiran mereka seakan menguap. Tata dan Arga kini bisa menepi sejenak dari peliknya permasalahan mereka. “Sayurnya udah cukup, ayo kita segera pulang,” ucap ibu Tata.  “Biar aku yang bawa, Buk.” Arga langsung meraih bakul yang berisi penuh sayuran.  “Nggak Arga ... nggak usah, biar Ibuk aja.” “Nggak apa-apa Buk, sini aku yang bawa.” Tata tersenyum geli melihat Arga dan Ibunya yang kini berebut bakul. Setelah itu Tata segera melerai keduanya dan merebut bakul itu dari tangan sang ibu. Tata tersenyum lembut menatap sang Ibu lalu mengedipkan matanya. Setelah itu Tata langsung menyodorkan bakul itu ke tangan Arga. “Udah Buk ... biarin Arga yang bawa. Apa gunanya coba dia ikutan kalau nggak ada manfaatnya,” cibir Tata.  “Huss ... kamu nggak boleh ngomong gitu sama suami sendiri.” sang Ibu segera menegur Tata. Arga yang mendapatkan pembelaan itu langsung tersenyum puas sambil menepuk dadanya pelan.  “Udah ayuk kita pulang sekarang!” ajak sang ibu. ***  Tata mengunjungi semua tempat yang dirindukannya. sejauh ini tidak ada lagi raut sendu tergurat di wajahnya. Arga tersenyum puas. Keputusannya membawa Tata ke sini ternyata tidak sia-sia. Dia merasa bangga pada dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya yang menyarankan untuk berkunjung ke rumah Tata adalah mamanya.  Setelah puas bermain, Tata dan Arga juga menyempatkan diri untuk singgah di pemakaman ayah Tata. Saat itulah raut kesedihan kembali terlihat di wajah Tata. Dia menaburkan segenggam bunga dengan air mata yang mulai berlinang. Kemudian Tata duduk di samping makam itu sambil mengelus papan nisan yang bertuliskan namanya itu. “Pak ..., maafin aku Pak,” bisik Tata lirih.  “Aku belum bisa jadi anak yang dibanggakan,” ucap Tata lagi.  “Kamu nggak boleh ngomong gitu Ta, sebaiknya kamu doakan saja Bapak ... agar Bapak di tempatkan di tempat terbaik di sisiNYA,” ucap Arga pelan.  Tata mengangguk pelan sambil menghapus air matanya. Kemudian mereka berdua mulai berdoa untuk mendiang Ayah Tata. Setelah itu Arga pun mengajak Tata pulang ke rumah. Arga membimbing Tata melangkah dengan hati-hati melewati pematang sawah yang sedikit licin. “Ibuk pasti udah nungguin kita untuk makan siang,” ucap Arga. “Hmm ... iya,” jawab Tata. “Kamu udah ngerasa agak baikan sekarang?” tanya Arga.” Tata tersenyum malu. “Sekali lagi makasih ya, Ga.” entah sudah berapa kali Tata mengulang kalimat yang sama. “Sekali lagi kamu ngomong makasih, aku bakalan minta balasannya,” ucap Arga. “Hahaha, emangnya kamu mau minta apa dari aku?” Tanya Tata. Seketika Arga terdiam. Matanya kembali terpaku menatap bibir Tata. Sekelebat kejadian malam itu kembali teringat olehnya. Arga menjadi salah tingkah dengan wajah yang mulai memerah. Tata pun menjadi heran melihat perubahan sikap Arga itu. Dia menatap Arga lebih dekat. Tata memiringkan wajahnya menatap Arga. Namun hal itu semakin membuat Arga menjadi salah tingkah. Dia tergagap dan melangkah mundur. Karena tidak berhati-hati, Arga pun tergelincir dan masuk ke dalam kubangan sawah.  “Arga! Kamu nggak apa-apa?” Tata berteriak cemas sekaligus menahan tawa.  “Ah, sial!” dengus Arga. “Hahahahaha.” Tata tertawa keras. “Jangan ketawa!” bentak Arga.  “Lagian kamu ngapain, sih?” mau nangkap belut?” ledek Tata.  Tata terus tertawa sampai matanya berair. Arga pun terpaku melihat Tata yang sudah bisa tertawa. Dia mengulum senyum sambil membersihkan lumpur yang melekat di pakaiannya.  “Ayo bantuin aku.” Arga menjulurkan tangannya ke atas. “Oke Boss,” jawab Tata masih dengan tawa yang belum surut. Arga langsung meraih tangan Tata. Namun kemudian tatapan matanya berubah nakal. Tata yang menyadari hal itu berniat menarik tangannya kembali. Tapi sayang Tata kelah cepat. Arga pun segera menariknya hingga Tata juga terjerembab masuk ke dalam kubangan sawah..  “ARGA ...!!!” pekikan suara Tata menggema memecah langit. Sesaat dia menatap Arga dengan murka. Namun kemudian keduanya malah larut dalam gelak tawa.  ***  Tata menatap Arga sambil menggeleng pelan. Sementara sang ibu hanya tersenyum tipit. Ini sudah piring yang ke empat. Namun Arga masih sanggup menghabiskan makanannya. Arga ternyata belum berubah sama sekali. Dia masih sama seperti dulu. Bedanya, Arga kecil dulu berbadan gemuk dan suka menangis. Sekarang dia tumbuh jadi pria dewasa dan berperilaku sadis. “Tambah lagi sayurnya,” ucap ibu Tata. “I-iya Buk.” dengan malu-malu Arga kembali menambah sayuran ke piringnya. “Udah deh, Buk. Yang ada nanti semua stok makanan habis sama dia,” dengus Tata.  “Kamu tau nggak, sewaktu kalian masih kecil ... Mama Arga selalu iri sama Ibuk karena Arga selalu memakan habis masakan Ibuk, tapi malah nggak mau memakan masakan Mamanya sendiri,” kenang Ibu Tata.   “Sampai sekarang pun masih begitu kok, Buk,” balas Tata.  Arga hanya tersenyum malu. Memang dari kecil dia selalu menyukai masakan ibunya Tata. Bagi Arga apa pun yang di masak ibu Tata terasa cocok dan lezat di lidahnya. Semantara masakan mamanya sendiri terasa aneh. Sampai sekarang Arga masih suka pilih-pilih saat menyantap masakan mamanya sendiri.  ***  Malam semakin larut. Suasana malam di pedesaan begitu mendamaikan. Suara jangkrik terdengar bersahutan di luar sana. Udara malam pun terasa begitu sejuk. Tata dan Arga sudah bersiap untuk tidur setelah sebelumnya sang ibu sibuk mempersiapkan alas kasur untuk mereka berdua. Hari ini terasa begitu melelahkan namun juga menyenangkan. Ketika baru saja hendak membaringkan tubuh, tiba-tiba saja listrik padam. “Aduh, kenapa listriknya mati?” Tata bersuara dalam gelap. “Tenang Ta, sebaiknya kamu jangan gerak. Aku ngambil handphone dulu sebentar,” ucap Arga sambil meraba-raba dalam gelap.  Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ternyata itu adalah ibu Tata yang datang membawakan sebuah lilin. Arga pun langsung mengambil lilin itu dan tidak lupa berterima kasih. Setelah itu ibu Tata pun kembali pergi meninggalkan mereka berdua. Arga dan Tata kini sama-sama termangu menatap cahaya lilin yang temaram. Keduanya duduk sambil memeluk lutut masing-masing. Dalam cahaya redup itu, Arga bisa melihat senyum Tata yang masih mengembang. Begitu pun Tata, dia masih bisa melihat binar hangat di mata Arga yang sudah sekian lama menghilang.  “Ga ...,” panggil Tata kemudian. “Iya, apa Ta?” “Aku mau ngelanjutin kontrak yang udah kita bikin itu sampai selesai,” ucap Tata. “Tapi... Ta—” “Tapi aku ingin salah satu kesepakatan di dalamnya diubah,” ucap Tata lagi.  “Maksud kamu?” “Aku mau kesepakatan tentang uang itu di hapus! Tapi sebagai gantinya ... aku mau selama menjalani kontrak itu, kita harus memperlakukan satu sama lain dengan baik.”  Arga tersenyum mendengar jawaban itu. “Baiklah, aku setuju!” jawab Arga.  Tata pun tersenyum lega. Sampai kemudian dia kembali teringat akan sesuatu. “Ga, boleh nggak aku nanya sesuatu ke kamu?” tanya Tata. “Apa, Ta?” “Kenapa waktu itu kamu setuju dengan perjodohan kita?” tanya Tata.  Arga tersenyum lembut, “Waktu itu aku benar-benat nggak tahan melihat kamu menangis,” jawab Arga pelan. “Kenapa?” tanya Tata. “Aku juga nggak ngerti Ta, tapi yang jelas aku pikir waktu itu semua akan berjalan baik. Aku pikir kita bisa dekat seiring berjalannya waktu. Aku pikir menikah itu sesuatu yang mudah,” jawab Arga. “Hmmm ... aku juga ngerasa seperti itu,” timpal Tata. “Kamu sendiri, kenapa waktu mau menerima perjodohan ini?” Arga balik bertanya.  Tata terdiam dan tersenyum tipis. Kemudian dia menatap Arga lekat-lekat sambil menghela napas.  “Aku nerima perjodohan itu ... karena aku suka sama kamu!” Jawaban Tata membuat Arga terpana. Entah kenapa perasannya terasa lain mendengar jawaban yang taidk terduga itu. Sementara itu Tata masih tertawa pelan. Arga pun kini tersipu malu. Dia bahkan tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya. Hingga kemudian Tata kembali melanjutkan kalimatnya. “Tapi kamu nggak usah khawatir! Karena sekarang ... rasa suka itu udah nggak ada lagi, kok!” sambung Tata. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN