Tata hanya memainkan sendok di ujung jarinya. Selera makannya patah, sama seperti hatinya. Sudah dua hari ini Tata kehilangan selera makannya. Dia selalu mengantuk sepanjang hari, namun tidak bisa terlelap di malam hari. Tata juga jadi pelit bicara. Dia jadi lebih pemurung dan sering menangis saat sendirian.
Mama dan papa Arga menatap Tata dengan rusuh. Mereka khawatir dan penasaran dengan apa yang terjadi pada Tata. Mama pun kemudian menatap Arga lekat-lekat. Arga hanya mengangkat bahunya sambil terus menyantap nasi goreng kesukaannya itu.
“Kamu baik-baik aja, kan Ta? apa kamu sakit?” tanya mama Khawatir.
“Nggak kok, Ma. Aku cuma kurang tidur aja,” jawab Tata.
Sebaiknya kamu minta Arga buat nganterin kamu ke dokter,” ucap Papa.
“Iya Ga, sebaiknya habis ini kamu langsung bawa Tata ke dokter ya,” timpal Mama.
Arga mengangguk pelan. Dia menatap Tata yang kini terlihat lebih kurus. Dagunya semakin meruncing, lingkaran hitam di bawah matanya juga terlihat jelas. Arga pun menggela napas dalam. Dia sudah tahu apa yang terjadi dari Helena. Hanya saja, dia memilih bungkam. Arga memilih berpura-pura tidak tahu, dan tetap bersikap seperti biasa.
Tata segera bangkit dari kursinya. Dia lalu berjalan gontai naik kembali ke dalam kamar. Papa, mama dan Arga kompak menatap kepergiannya hingga Tata menghilang di atas sana. Selepas itu mama langsung memukul pundak Arga dengan cukup keras. Arga pun terkejut dan menatap mamanya dengan tatapan heran.
“Kalian berantem ya?” tuduh sang Mama.
“Nggak Ma, enggak!” Arga langsung membantah.
“Kamu itu jangan sekali-kali nyakitin Tata. Dia itu udah cukup menderita selama ini. Bukannya dulu kamu sendiri yang berjanji buat bikin dia kembali tersenyum?” tanya Papa.
Arga tertegun diam. Dia berhenti menyuap makanannya. Sekelebat kejadian di masa lalu itu kembali di ingatnya. Bayangan Tata dan ibunya meraung-raung saat kematian sang ayah masih terbayang jelas di ingatannya.
“Kamu susulin Tata gih, atau kamu ajak dia kemana gitu ... biar suasana hatinya jadi lebih baik.” papa ikut memberikan saran.
“I-iya Pa,” jawab Arga.
***
Arga membuka pintu kamarnya dengan pelan. Terlihat Tata sedang berdiri menatap kalender yang terpampang di dinding. Arga pun mulai melangkah masuk. Dia lalu duduk dengan pelan di tepi ranjang sambil menatap Tata.
“Kamu lagi liatin apa?” tanya Arga.
Mulut Tata terkunci rapat. Dia tetap menatap kalender itu dengan mata sayu. Arga pun sedikit takut untuk berbicara banyak. Dia mendesah napas pendek, lalu bangkit dari duduknya. Arga berniat pergi karena tidak ingin mengganggu Tata. Namun saat baru hendak melangkah, Tata mulai bersuara.
“Tinggal lima bulan lagi,” ucap Tata lirih.
Arga spontan berbalik pelan. Entah kenapa kalimat Tata barusan membuat dadanya bergemuruh. Arga pun kembali duduk ke tempatnya semula. Dia tampak berpikir keras. Arga mulai mematik rokoknya lalu menghirupnya dalam-dalam. Cukup lama dia termenung dengan mata terpaku menatap punggung Tata. Kepulan asap rokok terus menggerayangi wajahnya.
“Apa sebaiknya kita akhiri sekarang saja?” ucap Arga kemudian.
Air mata Tata langsung meleleh mendengar pertanyaan itu. Kalaulah hanya memikirkan dirinya sendiri saja, tentu dia akan langsung mengiyakan tawaran Arga. Namun Tata kembali terbayang ibunya, juga kedua orang tua Arga yang selalu membantunya sedari dia kecil. Berkat mereka Tata tetap bisa bersekolah. Berkat mereka juga ayah Tata bisa mendapatkan perawatan di rumah sakit.
“Ga ... kamu tau nggak, dulu sewaktu kita masih kecil, aku selalu senang saat mendengar kalau kamu dan orang tua kamu akan datang berkunjung,” ujar Tata.
Arga hanya diam dan menyimak dengan perasaan kalut.
“Waktu itu aku akan langsung memaksa Ibuk untuk mencarikan pakaian yang paling cantik. Aku juga sibuk mengeluarkan semua mainan yang aku punya untuk bisa dimainkan bersama kamu. Walaupun akhirnya kamu malah merusak semua mainan itu dan membuat aku terus menangis,” kenang Tata.
Arga tersenyum mengingat kenangan masa kecil itu.
“Saat itu aku sempat berandai-andai betapa senangnya jika aku bisa menjadi anak Papa sama Mama kamu,” ucap Tata lagi.
“Sampai akhirnya saat tamat SMA mereka langsung membawaku ke sini dan mereka memasukkan kita di Universitas yang sama. Aku rasa saat itulah hubungan di antara kita semakin memburuk,” ucap Tata lirih.
“Maafin aku, Ta!” tiba-tiba saja kata itu meluncur dari bibir Arga.
“Maafin aku!” ulangnya.
Tata menyeka air matanya lalu berbalik menatap Arga. Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan menyandarkan punggungnya pada tembok di belakangnya. Mata Tata kembali menerawang jauh. Dia telah sampai pada titik jenuhnya. Dia sudah sampai pada ujung kesabarannya untuk menahan semua luka.
“Orang tua kamu dan Ibuk aku begitu bahagia dengan pernikahan kita,” ucap Tata kemudian.
“Kamu benar.” Arga mengangguk pelan.
“Aku nggak mau ngeliat Ibuk bersedih, aku juga nggak mau bikin Mama sama Papa kamu kecewa, tapi...” Tata kembali menahan tangis.
“Ta...,”panggil Arga pelan.
“A-apa?” tanya Tata.
“Ayo ikut aku sekarang!”
***
Mobil terus melaju menembus pekatnya malam. Tata tidak tahu kemana Arga akan membawanya. Tidak ada lagi kata yang terucap dari bibir mereka berdua. Sesekali Arga melirik Tata yang terlihat kelelahan.
“Lebih baik kamu tidur aja,” ucap Arga.
“Hmm, iya,” jawab Tata.
Tata pun mencoba menutup matanya. Arga lalu memutar sebuah lagu yang mengalun lembut. Tidak lama kemudian Tata pun sudah terlelap. Arga terus memacu mobilnya. Ditemani rokok yang terus disambung, Arga terus menyetir sambil sesekali memijit keningnya.
Arga lalu melirik ke arah Tata yang sudah terlelap. Tata terlihat kedinginan dan kepalanya terus membentur kaca jendela mobil. Arga pun kemudian menepikan mobilnya sebentar. Dia memperbaiki posisi duduk Tata, mengganjal kepalanya dengan sebuah bantal yang lembut, lalu menyelimutinya dengan jaket levis miliknya.
Namun ketika dia sedang memperbaiki bantal di belakang leher Tata, tiba-tiba saja Tata membuka matanya. Dia menatap lemah kepada Arga yang kini terkejut. Untuk sesaat Arga membeku pada posisinya dengan kedua tangan masih berada di belakang leher Tata.
“A-aku ...” Arga mencoba untuk menjelaskan.
Tata lalu tersenyum lemah. Dia menatap Arga dengan setengah sadar. Arga pun menatapnya gugup. Detak jantungnya kini terpompa kuat. Arga lalu menelan ludah, setelah itu matanya beralih menatap ke arah bibir Tata. Hingga akhirnya, Arga tidak bisa mengendalikan dirinya lagi dan mendaratkan sebuah kecupan di sana.
***
Tata mengerjapkan matanya berkali-kali. Sementara Arga kini tampak sedikit takut dan gelisah. Dia tidak berani menatap Tata yang sudah terbangun. Tata pun merasa heran melihat Arga yang kini menjadi salah tingkah. Kemudian Tata menengok ke luar jendela, dan seketika matanya langsung membulat.
“Arga ...!!!” teriaknya histeris.
Arga langsung tergelinjang kaget. Seketika bibirnya memutih. Dia bersiap untuk menjelaskannya. Dia bersiap untuk menerima kemarahan Tata. Arga tahu bahwa dia sudah berbuat kesalahan.
“Maafin aku Ta, A-aku—”
“Makasih Ga ... kamu udah bawa aku ke sini,” ucap Tata dengan senyum sumringah.
“Eh ... oh, i-iya Ta,” jawab Arga tergagap.
Tata pun segera menghambur keluar mobil. Sementara Arga masih mematung di dalam mobil. Sesaat kemudian dia tersenyum lega dan ikut menyusul keluar. Arga dan Tata segera memasuki pekarangan rumah yang asri itu. Lagi-lagi Tata tersenyum menatap Arga. Dia memang sedang merindu tempat ini. Tempat di mana dia dibesarkan. Tempat di mana orang yang paling disayanginya di dunia ini berada.
“Tata...!” seorang wanita paru bayah baya yang sedang membawa bakul berisi sayuran langsung terkejut melihat mereka berdua.
“Ibuk ...!” Tata pun segera berlari ke pelukan ibunya.
Keduanya berpagutan erat melepas rindu. Tata kini menangis haru. Dia terus memeluk ibunya lebih erat dan mengecupnya berulang-ulang. Tata lalu menatap ke arah Arga. Kemudian sebuah senyuman lebar terbit di bibirnya bergerak meski tidak mengeluarkan suara. Namun meski begitu, Arga tahu jelas apa yang di ucapkannya.
“Terima kasih, Arga ....”