“Selanjutnya anggota kelompok tiga yaitu, Kalista, Hamdi Alfaiz, Helena Anastasya, Windi Rezkia, dan yang terakhir Arga Ibnu Hutama,” ucap bu Siska.
Tata langsung menelan ludah setelah mendengarkan nama-nama yang menjadi anggota kelompoknya itu. Bukan hanya Tata, ke empat anggota lainnya itu pun sama terkejutnya. Mereka saling pandang dan dengan kompak menghela napas. Windi bahkan langsung merengut. Helena membenturkan kepalanya ke meja. Hamdi menatap canggung kepada Tata. Sementara Arga terlihat tersenyum senang.
Mereka pun mulai duduk bersama kelompok masing-masing. Arga yang ingin duduk di sebelah Tata langsung di cegat oleh Helena yang mendaratkan pantatnya lebih dulu. Alhasil Arga pun duduk di sebelah Windi yang kini mulai bersikap centil padanya. sementara Hamdi berusaha menghindari Tatapan Tata. Dia terus menunduk dan berpura-pura sibuk dengan bukunya.
“Kali ini awas aja kalau kamu bertingkah seperti waktu itu!” Helena langsung mengancam Arga.
“Kelompok ini bakalan terus seperti ini sampai semester ini berakhir,” sambung Windi.
“Untuk sekarang kita bisa membagi masing-masing tugas anggota kelompok dulu.” Tata segera mengeluarkan sehelai kertas.
“Kenapa kamu diem aja?” Arga melempar Hamdi dengan pulpennya.
“Ah, nggak kok,” jawab Hamdi.
Tata segera menghela napas panjang. Jujur dia merasa tidak nyaman dengan adanya Hamdi di kelompok itu. Dia berusaha bersikap sesantai mungkin. Walau sesekali Tata masih menunjukkan kegugupannya saat terpaksa harus berbicara dengan Hamdi. Arga pun menyadari kecanggungan di antara mereka berdua. Begitu juga Helena, matanya sibuk menatap Hamdi dan Tata secara bergantian.
“Eh, kayaknya kita perlu tambahan buku referensi, deh,” ucap Windi.
“Iya, nih ... bahannya masih kurang,” timpal Tata.
“Ya udah kamu yang cari buku tambahan ke perpus dong, kamu kan penulis ... jadi kayaknya kamu bisa nyari referensi yang bagus,” ujar Helena pada Hamdi.
“Oke deh, biar aku yang ke perpus,” jawabnya.
“Temenin Hamdi ke perpus, Ta! Buruan temenin dia biar lebih cepat.” Windi tiba-tiba saja menyuruh Tata ikut bersama Hamdi.
Helena pun langsung menggaruk kepalanya. Hamdi yang sudah berdiri mendadak membeku. Pulpen di jemari Arga jatuh ke lantai. Sementara Tata kini merasa separuh jiwanya terbang meninggalkan raga. Keheningan pun menyebar untuk sekian detik. Windi yang tidak tahu apa-apa kembali menyuruh Tata untuk pergi bersama Hamdi.
“Buruan, Ta!” desak Windi.
“Biar aku aja yang pergi.” Tiba-tiba Arga langsung berdiri lalu merangkul Hamdi.
“Yuk kita pergi!” sambungnya.
***
Hamdi terus berjalan mengitari rak buku mencari buku yang cocok sebagai referensi. Semantara Arga terus mengikuti gerak-geriknya dengan gelisah. Ada sesuatu yang ingin di tanyakannya kepada Hamdi. Namun Arga merasa kesulitan untuk memulai pembicaraan.
“Hei,” himbau Arga kemudian.
“Yap, kenapa Ga?”
“Kemaren aku denger rumor, kabarnya kamu nembak Tata, ya? Arga bertanya dengan hati-hati.
Hamdi tersenyum tipis. Dia mengambil sebuah buku lalu membawanya mendekati Arga. Setelah itu dia menyandarkan punggungnya ke rak buku sambil mengulum senyum. Hamdi kembali tertawa canggung kemudian menatap Arga dengan wajah mengiba.
“Memalukan sekali bukan?” ucapnya.
Arga menepuk pundaknya pelan. “Udahlah, pria sekeren kamu pasti bisa ngedapetin yang lebih baik,” hibur Arga.
“NGGAK ...!” tiba-tiba Hamdi langsung membantah dengan nada tinggi.
Arga pun terkejut melihat sikap Hamdi yang tidak biasa itu. Menyadari sikapnya yang sudah berlebihan, Hamdi pun segera menangkupkan tangannya. Kali ini dia menjambak rambutnya sendiri dengan gusar. Hamdi terlihat begitu kalut saat ini. Dia bahkan kesulitan untuk menyembunyikan perasaannya yang masih berkecamuk.
“Kamu nggak apa-apa kan, Di?” tanya Arga.
“Aku nggak bisa ngelepasin Tata,” jawabnya.
“Tapi kamu juga nggak bisa maksain perasaan kamu ke dia,”
“Aku yakin sebenarnya Tata juga suka sama aku ... cuma mungkin ada sesuatu hal yang ngebuat dia kesulitan untuk mengambil keputusan.” Hamdi mengepalkan tinjunya dengan kuat.
Arga menelan ludah. Dia terkejut dengan insting Hamdi yang tajam itu. Arga pun memilih untuk tidak berkomentar lagi. Namun kemudian Hamdi menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Kali ini aku nggak akan nyerah, Ga!”
“Kali ini aku nggak akan kalah!”
“Aku nggak melakukan kesalahan ... seperti saat bersama Hani di masa lalu.”
Napas Arga langsung tertahan mendengar kalimat Hamdi. Sesaat dirinya terasa terlempar ke masa lalu. Arga mengatupkan pangkal gerahamnya dengan kuat. Ada perih yang kini terasa kembali di hatinya. Arga pun menatap Hamdi yang masih tersenyum padanya. Namun Arga tidak bisa lagi memaksa bibirnya untuk balas tersenyum. Arga hanya diam, mengambil buku yang tadi di ambil Hamdi, lalu melangkah pergi.
***
Perkuliahan yang terasa panjang dan melelahkan pun sudah berakhir. Tata, Helena dan Windi berniat ingin jalan-jalan ke mal melihat barang-barang diskon di akhir pekan. Ketiganya bersiap untuk berburu barang-barang unik dengan harga yang murah meriah. Namun di saat keluar kelas, tiba-tiba saja Hamdi langsung mencegat Tata.
“Ta, aku mau bicara sebentar,” pinta Hamdi.
“M-maaf ... tapi aku harus pergi bersama Helena dan Windi.” Tata segera beralasan.
“Please, aku mohon!” ucap Hamdi.
“Ya udah, bicara aja sekarang,” jawab Tata.
Hamdi pun menatap Helena dan Windi sebentar. Dia tidak mungkin membicarakannya di hadapan mereka. Hamdi terlihat sedikit kesal. Matanya kini mulai memerah. Tiba-tiba saja dia meraih tangan Tata dan langsung menyeretnya pergi dari tempat itu. Helena dan Windi tidak bisa berbuat apa-apa. Keduanya hanya bisa melihat Tata dengan wajah cemas
“Kamu kenapa, sih Hamdi? Lepasin aku!” Tata berusaha berontak. Namun Hamdi terus saja menyeretnya menuju lorong gedung yang sepi.
“Hamdi ... kamu kenapa kayak gini?” Tata terus berusaha melepaskan tangannya.
Hamdi pun melepaskan tangan Tata dengan wajah bingung. Kemudian dia menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Tata masih terkejut dengan sikap Hamdi yang tiba-tiba berubah drastis. Tata memegang pergelangan tangannya kini memerah dan juga terasa sakit.
“Maafin aku, Ta!” ucap Hamdi.
“Maafin aku...”
“Aku cuma masih bisa menerima kenyataan kalau—”
Kalimat Hamdi terhenti. Kini dia tertunduk dengan jemari saling berpagutan erat. Dia yang tadi sempat dirundung emosi kini kembali melunak. Kesedihan mendalam jelas terpancar di wajahnya. Tata pun juga terdiam larut dalam penyesalan. Wajar saja Hamdi marah padanya. Wajar saja jika Hamdi belum menerima semuanya. Karena Tata tidak memberikan alasan yang jelas. Karena Tata tidak memberikan jawaban yang pasti.
“Jujur aku belum bisa nerima jawaban kamu waktu itu,” ucap Hamdi lagi.
Tata hanya diam dengan kepala terpekur.
“Tapi Ta ... aku bakalan berusaha buat nerima kenyataan dan juga ngertiin kamu,” ucap Hamdi lagi.
Tata pun mulai mendongakkan kepala menatap Hamdi yang kini tersenyum teduh padanya.
“Mungkin karena aku terlalu cepat, mungkin juga kamu masih perlu waktu. Sekali lagi maafin aku, Ta,”
“Hamdi ...” Tata memanggilnya lirih.
“Aku cuma mau kita kembali seperti dulu lagi.” Hamdi langsung memotong pembicaraan.
Hamdi tersenyum lembut. Tata pun mengangguk pelan dengan linangan air mata. Keduanya terdiam sebentar lalu tertawa pelan. Tata bersyukur karena Hamdi bisa bersikap dewasa. Disisi lain dia juga senang karena sekarang dia tidak perlu lagi menghindari Hamdi.
Hamdi pun kini merasa lega. Beban yang sebelumnya terasa menghimpit kini menghilang sudah. Dia senang karena bisa melihat Tata tersenyum. Dia lega karena kembali bisa menatap Tata. Lebih dari itu, Hamdi bahagia karena dia bisa kembali berada di sisi Tata. Meski bukan sebagai kekasih. Meski hanya sebatas temannya saja.
***