BAB 16 - Maafkan Aku

920 Kata
Permasalahan tentang rahasia yang diketahui Helena berakhir dengan baik. Bahkan Helena bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia kembali bersikap jutek kepada Arga. Dia tidak pernah lagi bertanya tentang Arga. Dia juga tidak pernah lagi menyinggung soal pernikahan, meski hanya sedang berdua saja bersama Tata. Kabar baik lainnya adalah Tata, Helena dan Windi kini kini sudah kembali akrab seperti biasa. “Aku tuh nggak bisa diginiin. Masa iya, baru kencan pertama dia udah dijemput sama Mamanya karena pulang telat,” dengus Windi. “Makanya, kalo nyari gebetan itu jangan di PAUD,” ejek Helena. “Orangnya kayak gimana sih, Win?” Tata terpancing rasa penasaran. “Bentar-bentar, aku bakalan liatin fotonya sama kalian.” Windi langsung sibuk membuka galeri di handphonenya. “Gila! Tampangnya macho banget woy!” Helena sontak berteriak. “Kayaknya dia nggak seperti yang kamu ceritain deh, Win.” Tata ikut merasa ragu. “Maka dari itu aku jadi syok,” jawab Windi.  “Terus sekarang kamu masih lanjut sama dia?” tanya Helena.  “Kamu tau nggak saat aku dinner sama dia, cuma aku yang mesan makanan,” ucap Windi. “Kenapa emangnya?” tanya Tata. “Apa dia nggak laper? lagi diet? atau apa?” tebak Helena. “Dia ngebawa bekal makanan yang dibikinin Mamanya. Karena katanya makanan di luar itu nggak sehat,” jawab Windi dengan nada lemas. Sontak jawaban itu langsung membuat Tata dan Helena tertawa terpingkal-pingkal. Helena dan Tata pun terus bergantian meledek Windi yang tertimpa musibah. Sampai akhirnya tawa mereka terhenti karena kedatangan Hamdi. Helena langsung mengangkat dagunya kepada Tata mengisyaratkan agar Tata lekas menemuinya.  ***  Sudah sekitar 10 menit Tata dan Hamdi duduk di taman kampus tanpa sepatah kata. Keduanya seperti saling menunggu siapa yang akan mulai berbicara. Baik Hamdi maupun Tata sepertinya sama-sama bingung harus memulai dari mana. Sampai akhirnya Tata pun memberanikan diri untuk bersuara lebih dulu. “Hmm ... maaf ya, aku nggak ngebales pesan kamu karena handphoneku rusak,” ucap Tata. Raut wajah Hamdi langsung berubah mendengarkan penjelasan itu. Dia mengulum senyum sambil menghela napas lega. Suasana canggung di antara keduanya juga mulai mencair. Keduanya kembali berani untuk menatap mata masing-masing.  “Oh, jadi itu alasannya.” Hamdi tersenyum lega. “Sekali lagi maaf, ya,” ucap Tata. “Oh, nggak masalah kok.” Hamdi buru-buru meyakinkan Tata.  Kemudian keheningan kembali menyebar. Keduanya kembali kesulitan mencari bahan obrolan. Tata kini pura-pura sibuk menatap langit yang kosong. Sementara Hamdi sibuk menatap layar handphonenya yang sebenarnya dalam keadaan mati. “Oh iya Ta, kamu baca kan ... pesan aku waktu itu?” tanya Hamdi kemudian. “Hmm, iya aku baca,” jawab Tata.  “Terus gimana, Ta?”  “M-maksudnya?” tanya Tata.  Hamdi tiba-tiba menjadi gugup. Dia meremas celananya sambil membasahi bibirnya yang mengering. Tata pun mulai paham ke mana arah pembicaraan itu berlabuh. Tiba-tiba saja badannya juga terasa panas. Tata pun gelisah menanti apa yang akan di katakan Hamdi selanjutnya.  “Apa jangan-jangan kamu sudah punya pacar?” Pertanyaan Hamdi yang tiba-tiba itu langsung membuat Tata tersedak. Dia langsung menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya dengan cepat. Kemudian Tata langsung mengambil botol minumannya dan meneguk air itu dengan cepat. Perasaannya saat ini benar-benar tak menentu. Tata mulai salah tingkah dan merasa gelisah. “Atau kamu udah punya seseorang yang kamu sukai?” tanya Hamdi lagi.  “Nggak kok,” jawab Tata datar.  “Syukurlah kalau begitu.” Hamdi tampak tersipu malu. “Aku emang nggak punya pacar. Tapi aku punya suami,” ucap Tata dalam hati.  “Ta ...” Hamdi kembali memanggilnya lembut.  “I-iya, kenapa?” tanya Tata.  Hamdi kini menatapnya lekat-lekat. Dia menatap Tata tanpa berkedip sambil tersenyum lembut. Binar ketulusan terpancar jelas di sorot matanya. Perasaan Tata pun kini terasa lain. Dia merasa angin berpilin lembut membelai kuduknya. Tata merasa waktu seolah berhenti. Dia merasa bagai terlempar dalam ruang dan dimensi yang berbeda. Saat itu juga tiba-tiba Hamdi meraih tangannya lalu menggenggamnya lembut.  “Ta..., aku suka sama kamu!”  Pernyataan Hamdi langsung menembus relung hati Tata. Semua persendiannya terasa melemah. Tata terhanyut dalam pekatnya binar mata Hamdi. Ada rasa yang tak biasa kini terasa di hatinya. Tata balas menatap mata itu dalam-dalam. Sudut bibirnya terangkat pelan. Rona merah mencuat di kedua pipinya.  Tata menatap Hamdi dengan air mata yang kini berlinang. Dia kini tengah berperang bersama batinnya yang berkecamuk. Hamdi meremas tangan Tata lebih kuat. Seolah dia meyakinkan Tata yang masih dilanda bimbang. Air mata Tata pun mulai menetes. Dia benar-benar berada dalam dilema. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Sampai akhirnya Tata meletakkan telapak tangan kirinya di atas tangan Hamdi yang masih menggenggam tangan  kanannya. Tata pun tersenyum menatap Hamdi. Dia ingin menatap wajah itu sebentar lagi. Tatapan teduh itu, senyuman yang lembut itu, Tata ingin berlama-lama bisa menatapnya. Hamdi pun menunggu jawaban Tata dengan binar penuh harap. Namun kemudian, Tata segera menarik tangannya pelan. Hamdi pun terlihat terguncang. Dia menatap Tata dengan pupil bergetar. Hamdi masih ingin penjelasan atas sikap itu. Tata kemudian menyeka sisa air matanya, lalu mulai berucap pelan. “Maafin aku ...!” Tata berlari pergi meninggalkan Hamdi. Dia tidak sanggup lagi menatap Hamdi. Dia tidak bisa berlama-lama di sisinya. Karena sebenarnya dia juga sudah memendam rasa. Tata tidak bisa membohongi hatinya. Bahwa sesungguhnya, dia juga sudah jatuh cinta.  Tangis Tata kembali pecah setelah dia sampai di tempat yang sepi. Tata memukul-mukul dadanya sendiri. Ada rasa sakit yang menyeruak dari sana.  Dia benar-benar merasa terjerembab dalam lubang yang paling dalam. Tata pun ambruk dan jatuh ke tanah. Dia terus menangis dengan telapak tangan yang kini sudah berkubang tanah. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN