Tata segera melempar ranselnya ke lantai. Seluruh badannya terasa pegal. Dia meregangkan lehernya yang terasa kaku dan juga memijit pundaknya sendiri. Tata juga merasa sangat mengantuk. Perkuliahan hari ini benar-benar terasa melelahkan. Sejenak Tata merebahkan badannya di kasur dengan kedua kaki masih menyentuh lantai. Namun kemudian ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Tata baru menyadari bahwa ada yang berubah di kamar itu. Dia melihat sebuah sofa panjang dengan ukuran cukup lebar yang kini terletak di dekat jendela. Tata pun kembali bangun dan menatap sofa itu dengan alis mengernyit. Dia langsung melihat lebih dekat sembari mencoba duduk di sana.
“Wah, empuk sekali,” ucap Tata begitu dia menekan sofa itu dengan telapak tangannya.
Kemudian dia mencoba berbaring di sana. Tata kembali tersenyum saat merasakan punggungnya menyentuh sofa itu. Arga yang baru saja selesai mandi pun ikut tersenyum. Menyadari kedatangan Arga, Tata pun segera beranjak dari sofa itu.
“Kamu beli sofa baru?” tanya Tata.
“I-iya,” jawab Arga sambil terus mengusap rambutnya menggunakan handuk.
Tata terdiam sejenak. Dia menatap Arga sambil mengulum senyum. Sebuah pikiran menggelitik otaknya. Apa mungkin Arga sengaja membelikan sofa itu untuknya? Tata masih senyum-senyum sendiri. Namun sedetik kemudian dia segera menghalau pikiran itu dari benaknya.
“Tapi buat apa kamu beli sofa ini?” tanya Tata.
“Buat aku, lah,” jawab Arga santai.
“Sudah aku duga, untung aja aku nggak kepedean tadi,” ucap Tata dalam hati.
Tata mencibir sambil menepuk-nepuk sofa itu pelan. Entah kenapa dia merasa sedikit kecewa. Melihat raut wajah Tata yang berubah itu, Arga pun tersenyum geli. Dia meletakkan handuknya, lalu menatap Tata lekat-lekat.
“Jadi mulai sekarang, kamu bisa tidur di sini!” Arga menepuk-nepuk ranjang dengan pelan.
“A-apa?” Tata masih meragukan pendengarannya.
“Bukannya kamu sering ngeluh kalau punggung kamu sakit karena tidur di lantai?” tanya Arga.
“I-iya sih.” Tata malah merasa tidak enak hati.
“Kamu nggak mau?” tanya Arga.
“B-bukan gitu sih, atau kalo nggak aku aja yang tidur di sofa?” Tata mencoba bernegosiasi.
“Nggak bisa!” jawab Arga.
“Kenapa?”
“Karena kamu tidurnya berantakan, guling ke sana, guling ke sini. Malamnya bantal ada di kepala, paginya kaki udah di bantal,” jawab Arga.
Wajah Tata pun langsung memerah. Dia tidak menyangka bahwa Arga mengetahui kebiasaan tidurnya. Tata pun tidak berkomentar lagi dan hanya bertingkah sok imut dengan terus membenturkan kedua jari telunjuknya.
“Ya udah ayo siap-siap! kita akan ngerjain tugas kelompok bersama anak-anak lain.” Arga langsung mengingatkan.
***
Sesuai kesepakatan yang sudah dibuat sebelumnya, hari ini Tata dan kelompoknya akan mengadakan pertemuan di sebuah kafe yang sudah ditunjuk oleh Helena. Tata langsung menunjukkan alamat kafe itu kepada Arga dan mereka pun segera berangkat. Sekitar 300 meter dari kafe yang di tuju, Tata pun meminta Arga untuk menurunkannya. Dia tidak ingin teman-teman yang lain mengetahui bahwa mereka berangkat bersama.
“Hai semua ... maaf aku agak terlambat,” ucap Tata dengan napas tersengal-sengal.
Melihat kedatangan Tata, Arga pun hanya berdehem pelan. Sementara Helena langsung menyembunyikan senyumnya. Dia tahu bahwa Arga dan Tata berangkat bersama karena sempat berkirim pesan dengan Tata sebelumnya.
“Tinggal Hamdi yang belum datang,” ucap Windi.
Berumur panjang, yang disebut pun langsung menampakkan batang hidungnya. Hamdi datang dengan penampilan yang tidak biasa. Hari ini dia terlihat rapi. Rambut yang biasa dibiarkan jatuh ke bawah, kini di tertata rapi dengan sisiran ke belakang. Kacamata bulat yang kini dikenakannya juga membuat Hamdi terlihat lebih cerdas dan beribawa.
Ketiga gadis itu pun langsung terpesona menatap Hamdi. Bagaikan sebuah iklan di televisi, kedatangan Hamdi langsung membawa hembusan angin yang membuat rambut ketiganya berkibar. Tata, Helena dan Windi kompak memancarkan binar takjub. Tata menatap tidak berkedip. Windi memilin ujung rambutnya dengan telunjuk. Sementara Helena yang anti mainstream memutar lidahnya pelan dengan raut wajah menggoda.
Satu-satunya yang yang tidak tertarik tentulah Arga. Malahan dia menganggap penampilan Hamdi hari ini cukup berlebihan. Arga menatap kaos oblong yang kini dipakainya. Kemudian dia juga menatap sandal jepit merk swallow yang melekat di kakinya. Arga merasa menyesal karena tadi tidak memerhatikan penampilannya.
“Maaf ya aku telat. Kejebak macet tadi di jalan,” ucap Hamdi kemudian.
***
Mereka pun mulai sibuk mengerjakan tugas kelompok. Kerja sama mereka kali ini patut di acungi jempol. Tata hanya menatap takjub kepada keempat orang yang kini tengah beradu argumen itu. Bagi Tata mereka berempat terasa bagai avatar yang menguasai elemennya masing-masing. Tata tersenyum senang, dia begitu menikmati momen kebersamaan saat ini.
“Berhenti sebentar dulu, yuk!” ajak Windi.
“Iya nih, tangan aku udah pegel nulis materi,” keluh Helena.
“Oke, deh ... kita bisa ngobrol-ngobrol dulu sebentar,” sahut Tata.
Mereka pun beristirahat sejenak sambil menikmati sajian minuman kopi yang baru saja di pesan Arga. Kelimanya terlibat obrolan asyik seputar kampus dan juga tentang kepenulisan. Tata pun semakin takjub melihat sosok Hamdi yang begitu luwes membagikan ilmunya. Sementara Arga lebih banyak diam dan mulai merasa tersisihkan.
“Arga juga penulis yang hebat sebenarnya,” ucap Hamdi tiba-tiba.
“Hmm... iya! dia bahkan juga punya banyak piala dan penghargaan,” sambung Tata dengan antusias.
Ucapan Tata langsung membuat semua terdiam. Arga yang sedang menyeruput kopinya bahkan langsung tersedak. Helena menggigit bibirnya lalu berpura-pura mengalihkan pandangan. Sementara Windi dan Hamdi kini menatap Tata dengan wajah heran. Tata pun menyadari kesalahannya dan langsung menelan ludah.
“Kok kamu bisa tau, Ta?” selidik Windi.
“Ooh ... aku—”.
“Sebelumnya aku, Tata, dan Arga sudah satu kelompok. Jadi Arga pernah ngomongin hal itu, iya kan, Ga?” Helena langsung turun tangan untuk meredam situasi itu.
“Iya, benar,” jawab Arga.
Tata langsung menghela napas lega. Raut wajah Windi dan Hamdi pun kembali seperti biasa. Obrolan mereka pun kembali berlanjut. Namun Tata memilih untuk tidak terlalu antusias lagi. Dia takut mengulangi kesalahan yang hanya akan menempatkan dirinya dalam status bahaya.
“Jadi kamu sahabatan udah lama sama Arga?” tanya Windi pada Hamdi.
“Ya begitulah, selain berteman baik, sebenarnya kami juga rival yang sengit,” jawab Hamdi sambil tersenyum.
“Maksudnya?” Helena kini ikut penasaran.
“Ya, dari kecil kami sering berantem karena mainan atau apapun itu. Jadi kalau misalkan Aku beli mobil-mobilan, maka Arga juga bakalan merengek minta mobil-mobilan yang sama. Begitu juga sebaliknya,” kenang Hamdi.
Arga pun ikut tersenyum mengenang hal itu.
“Terus-terus?” Windi semakin tertarik dengan cerita itu.
“Ya ... akhirnya sampai dewasa kami terus begitu. Saat aku mulai menulis, Arga juga menulis. Saat Arga memperdalam olah raga, aku juga ikutan. Bahkan sampai pada urusan wanita kami juga seperti itu,” ucap Hamdi.
Raut wajah Arga langsung berubah. Dia mulai tidak nyaman dengan topik pembicaraan yang dibicarakan Hamdi. Tata pun menyadari hal itu. Helena juga menatap pelan pada Tata. Namun sialnya si gesrek Windi terus saja memaksa Hamdi untuk lanjut bercerita.
“Jadi kalian berantem gara-gara cewek?” tanya Windi.
“Iya ... dan itu menjadi ajang persaingan dan pertengkaran kami yang paling hebat. Karena itu juga akhirnya kami membuat sebuah perjanjian,” tutur Hamdi.
“Perjanjian apa?” tanya windi.
Hamdi tersenyum sebentar. Setelah itu dia menyeruput gelas kopinya. Lalu Hamdi kembali tertawa pelan sambil beralih menatap Arga. Tatapan keduanya kini beradu.
“Kami berdua berjanji ... untuk tidak akan lagi menyukai perempuan yang sama.”
***