Seperti biasa, setelah bel tanda jam istirahat berbunyi nyaring, Alicia melangkah riang gembira keluar dari area sekolahnya menuju rumah tua tak terurus di sebelah gedung sekolahnya. Fandy yang sudah dua minggu ini bersekolah di sana pun sering melihat Alicia keluar masuk rumah tua itu. Bahkan, terkadang setelah jam pelajaran di sekolah berakhir, Alicia menyempatkan diri mampir ke sana sebelum pulang ke rumahnya. Fandy tidak terlalu akrab dengan Alicia dan ia juga sungkan untuk bertanya pada gadis itu karena ia takut dianggap ikut campur padahal baru tiga minggu mereka saling kenal sejak pertemuan pertama mereka saat berpapasan di depan ruang kepala sekolah dan saat Alicia terkurung di toilet.
“Oy, Fan. Kenalin, ini namanya Steven. Anak XI IPA 3.”, ujar Ikhsan pada Fandy setelah membawa seorang murid dari kelas lain ke dalam ruang kelasnya.
Steven yang berdiri di samping Ikhsan pun mengulurkan tangannya pada Fandy yang segera disambut dengan jabat tangan Fandy.
“Fandy ini yang mau gabung di tim futsal kita.”, ujar Ikhsan pada Steven.
“Di sekolah lama lo juga ikut futsal?”, tanya Steven.
“Iya.”
“Bagus deh. Sebentar lagi kita ikut pertandingan antar SMA di Jakarta. Kita latihan setiap hari Jum’at dari jam 2 siang sampai jam 5 sore. Kadang Sabtu pagi juga latihan kalau kita lagi mau tanding.”, ujar Steven.
“Oke. Jum’at besok gue mulai ikut latihan.”, ujar Fandy seraya tersenyum sumringah karena ia akan kembali menggeluti ekstrakurikuler favoritnya sejak ia duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“Sip. Ayo kita ke kantin.”, balas Steven dengan senyum tak kalah sumringah.
***
Pintu utama rumah bergaya Eropa itu terbuka lebar dengan sendirinya ketika Alicia membuka pintu gerbangnya. Alicia tidak pernah mempermasalahkan mengapa pintu rumah itu selalu terbuka tanpa pernah ia lihat Alvaro membukanya. Ia memasuki rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu sebab Alvaro selalu sudah menunggu kedatangannya di ruang makan.
“Kak, aku bawa spaghetti. Kakak mau?”, tanya Alicia seraya menunjukkan tote bag yang dibawanya.
“Enggak. Kamu makan aja spaghetti punya kamu. Aku punya spaghetti aku sendiri.”
“Baiklah.”
Mereka pun duduk berdampingan di meja makan dan menyantap spaghetti mereka masing – masing. Sesekali Alicia melirik Alvaro yang menyantap spaghetti-nya dalam diam. Kening Alicia berkerut saat mendapati pergerakan pada spaghetti milik Alvaro. Ia mengucek matanya untuk memastikan penglihatannya.
“Kak, spaghetti Kakak kok kayak bergerak, ya?”
Alvaro tampak menyeringai pada Alicia. Alicia menggerakkan garpunya untuk mengambil beberapa helai mi spaghetti dari piring Alvaro, namun Alvaro segera menahan tangan Alicia.
“Kamu gak boleh makan ini, Alicia!”, ujar Alvaro dengan geram dan sedikit membentak.
Kedua mata Alicia terbelalak mendapati wajah Alvaro yang seperti marah besar padanya. Mengapa Alvaro sepelit itu?
“Maaf, Kak.”
Alvaro melepas tangan Alicia setelah melihat Alicia ketakutan.
“Tangan Kakak dingin banget.”
“Ya.”
Mereka melanjutkan menyantap spaghetti mereka masing – masing. Alicia tidak lagi berani mengucapkan sepatah kata pun setelah Alvaro membentaknya. Ia tidak mengerti mengapa Alvaro semarah itu hanya karena Alicia ingin menyicipi spaghetti miliknya. Apa itu adalah satu – satunya makanan yang dimiliki Alvaro sehingga ia sebegitu pelitnya, pikir Alicia tanpa ia mengetahui sedikit pun bahwa yang disantap oleh Alvaro adalah sekumpulan cacing tanah, bukan mi spaghetti. Ya, lagi – lagi Alvaro membuat ilusi di pandangan mata Alicia.
***
Setelah mereka selesai menyantap makan siang mereka masing – masing, Alvaro menggenggam tangan Alicia dan membawanya ke piano klasik miliknya di ruang tengah. Ia memainkan lagu Swan Lake karya Tchaikovsky. Kali ini, Alicia tidak lagi merasakan dadanya sesak saat Alvaro memainkan piano untuknya.
“Itu lagu siapa, Kak?”
“Swan Lake. Tchaikovsky.”
“Kakak keren, deh. Aku juga pengen bisa main piano, tapi aku gak punya uang untuk les piano dan beli pianonya.”, ujar Alicia dengan begitu polosnya yang berhasil membuat Alvaro tersenyum. “Oh ya, Kakak udah jenguk kak Alicia?”
Wajah Alvaro yang tadinya begitu damai mendadak berubah menjadi murka setelah Alicia menanyakan tentang kekasihnya.
“Alicia sudah pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Ke tempat di mana seharusnya aku juga berada di sana.”
“Kenapa Kakak gak ke sana?”
“Alicia ninggalin aku.”
“Kenapa?”
“Dia marah.”, hening sejenak saat Alvaro menjeda ucapannya. “Karena aku gak sempat nikahin dia.”
“Kakak bisa minta maaf. Aku yakin kak Alicia pasti maafin Kakak.”
“Begitu?”
“Ya. Kalau kak Alicia mencintai Kakak, dia pasti mau maafin Kak Varo.”
Alvaro tidak membalas penuturan Alicia. Ia meneruskan permainan pianonya.
“Oh ya, dari kemarin aku mau tanya, tapi lupa. Kakak praktek di mana?”
“Permata Indah Sari.”
“Hah? Orang tua aku juga dulu kerja di sana?”
“Oh ya?”
Alicia menganggukkan kepalanya dengan antusias. “Aku udah pernah cerita kan? Ayah aku dokter, ibu aku perawat. Kisah mereka sama kayak Kak Alvaro dan kak Alicia. Tapi, orang tua aku udah meninggal.”
Alvaro menghentikan permainan pianonya. “Meninggal kenapa?”, tanya Alvaro tanpa menoleh pada Alicia.
“Kecelakaan.”
Alvaro memejamkan matanya. Ia teringat ketika pertama kali bertemu Alicia saat mereka sama – sama menjalani masa praktek kerja mereka di rumah sakit.
“Aku juga mau jadi perawat.”
“Kenapa?”
“Biar bisa bantu orang yang lagi sakit. Lagipula, kelihatannya keren pake baju perawat kayak kak Alicia.”
Alvaro tersenyum. Ia menyampirkan beberapa helai rambut Alicia ke sela telinganya.
“Baiklah, Suster Alicia.”
Alicia tersenyum sangat manis. Ia sangat senang ada yang memanggilnya dengan sebutan Suster.
***
“Eh buruan, abisin minumnya. Udah bel.”, ujar Dina saat bel sekolah yang menandakan berakhirnya jam istirahat berbunyi nyaring.
Ranti dan Olivia segera meneguk es kelapanya hingga tandas. Sedangkan, Laura yang baru saja mengambil tisu untuk mengelap bibirnya tiba – tiba mendengus kesal memandangi seorang gadis belia yang terlihat baru saja keluar dari dalam rumah kosong yang berada tepat di seberang warung es kelapa, yang berada di samping warung ibu Susi, yang sedang dikunjunginya.
“Gue masih kesel aja sama tuh anak. Bisa – bisanya dia ngadu ke bu Tya waktu kita ngurung dia di toilet.”, ujar Laura.
“Iya. Lebay deh kayak gitu aja pake ngadu ke guru segala.”, sambung Dina.
“Tenang. Besok kita kerjain lagi.”, ujar Ranti.
“Caranya?”, tanya Olivia.
“Lihat besok aja. Gue akan buat pembalasan dendam paling manis untuk Alicia tersayang.”, jawab Ranti dengan senyum menyeringainya.
Laura, Dina dan Olivia pun tampak tersenyum pada Ranti. Mereka bangga memiliki teman secantik, sepintar dan sekejam Ranti.
***
Bel jam istirahat berbunyi nyaring. Laura, Dina, Ranti dan Olivia segera berlari keluar dari dalam ruang kelasnya untuk segera melaksanakan rencana pembalasan dendam mereka pada Alicia hari itu.
Alicia berjalan riang gembira seraya membawa tote bag berisi bekal makan siangnya. Hari ini ia membawa dua omelette dan dua jus kotak rasa buah leci yang akan ia bagi dengan Alvaro. Namun, saat baru saja melangkah keluar dari pintu gerbang sekolahnya, Laura sengaja mencekal langkah kakinya sehingga ia sedikit oleng, lalu gadis jahat itu sengaja mendorong tubuh Alicia agar terjatuh. Alicia pun sukses terjatuh di jalanan beraspal hingga lutut kakinya berdarah dan seluruh bekal makan siangnya terlempar dari dalam tote bag. Ranti, Dina dan Olivia bergegas mendekati Alicia dan menginjak semua bekal makan siangnya yang berserakan di jalanan.
“Eh, maaf Cia, gue gak sengaja nginjek makanan lo.”, ujar Dina seraya tertawa.
“Yah, yah, ancur deh jusnya gue injek.”, ujar Ranti dengan tawa menyeringainya.
“Sorry ya, Cia. Kita cuma bercanda kok.”, ujar Olivia dengan nada mengejek.
Laura pun tertawa puas menyaksikan Alicia menangis seraya meringis kesakitan karena kedua lutut kakinya terluka akibat tergores aspal jalanan yang kasar.
Tiba – tiba, angin berhembus dengan sangat kencang hingga memporak porandakan segala sesuatu yang berada di sekitar mereka, termasuk spanduk yang terpasang di warung – warung dekat area sekolah itu. Laura dan teman – temannya sibuk berusaha menahan rok seragam sekolahnya dengan kedua tangan mereka agar tidak berterbangan dan memperlihatkan paha mulus mereka. Alicia memanfaatkan kesempatan itu untuk bangkit dan mengambil tote bag miliknya, lalu berlari memasuki rumah Alvaro. Sementara itu, di depan pintu gerbang sekolahnya, Laura dan teman – temannya masih sibuk memegangi rok seraya merapikan rambut panjang mereka yang berterbangan yang membuat penampilan mereka menjadi kusut.
“Arghhh!!!”, teriak mereka berbarengan.
“Aduh, kusut deh rambut gue!”, keluh Laura.
“Balik ke sekolah aja deh, yuk.”, ujar Olivia.
“Iya, jajan di kantin aja, deh. Ngeselin nih anginnya.”, sambung Ranti.
Mereka pun menyetujui usulan Olivia untuk segera kembali ke dalam gedung sekolah saja daripada jajan di luar dengan angin sekencang itu. Namun, saat akan melangkah memasuki kembali area sekolahnya, tiba – tiba kepala Laura kejatuhan kotoran burung merpati yang kebetulan terbang melintas di atas kepalanya. Laura menyentuh kepalanya dengan tangan kanannya dan mendapati tangannya terhiasi kotoran burung merpati yang baunya menyengat.
“Aaargh!!!”, Laura berteriak kesal.
Mereka pun tertawa melihat rambut Laura yang dipenuhi kotoran burung merpati. Saat sedang menertawakan Laura dan berjalan menghampirinya untuk membantunya, tanpa sadar Ranti menyenggol batu hingga ia oleng dan terjatuh. Ponsel di genggaman tangannya pun terlempar cukup jauh. Sialnya, sebuah mobil yang sedang melaju kencang lewat di hadapan mereka hingga mobil itu melindas ponsel keluaran terbaru milik Ranti. Ponsel itu benar – benar hancur tak berbentuk lagi. Ranti pun menangis histeris. Saat sedang menggenggam tangan Ranti untuk menolongnya berdiri dari posisi terjerembabnya, angin berhembus semakin kencang dan membuat uang di dalam saku kemeja seragam sekolah Olivia berterbangan. Olivia pun segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Ranti sehingga Ranti kembali terjatuh dan berteriak histeris pada Olivia yang sedang berlari – lari mengejar lembaran uang lima puluh ribu rupiah sebanyak tiga lembar yang berterbangan tak tentu arah. Olivia juga berlari tak tentu arah mengikuti arah uangnya yang terbang hingga ia menabrak Dina yang sedang membantu Laura membersihkan kotoran burung di rambutnya hingga membuat Dina terjerembab jatuh ke dalam selokan di pinggiran tembok sekolahnya. Dina pun berteriak histeris mendapati wajah dan baju seragamnya dipenuhi kotoran air comberan.
“Oliiiiivvvvvvv!!!!!!”
Olivia menoleh pada Dina sambil terus berlari hingga ia tak sadar menabrak tiang pintu gerbang sekolahnya dan terjatuh karena kepalanya terasa pusing setelah menghantam besi pintu itu.
Dari kejauhan, Alvaro tersenyum menyeringai seraya melayang di udara memperhatikan keempat gadis jahat itu. Setelah puas membalaskan dendamnya, Alvaro pergi ke warung ibu Susi dan menampakkan dirinya pada semua orang yang berada di warung itu.
“Saya mau beli air mineral, kapas dan plester.”
Ibu Susi menahan nafasnya saat melihat pembeli yang datang ke warungnya. Pria itu sangat tampan, namun sangat pucat hingga terlihat sedikit menakutkan baginya. Ibu Susi segera mengambil pesanan Alvaro.
“Bu, Bapak berangkat ke mesjid dulu, ya. Pak Haji Muhidin mau bahas rencana ngecat tembok mesjid.”, ujar pak Ilham, salah satu guru mengaji dan marbot mesjid di ujung gang komplek perumahan itu, saat ia keluar dari dalam rumah dan menemui istrinya di warung.
“Iya, Pak.”, balas ibu Susi. Ia mengerutkan dahinya saat mendapati suaminya dengan kedua mata terbelalak dan ternganga menatap Alvaro yang menatap kosong ke sembarang arah.
“Ini, Mas. Semuanya jadi dua puluh ribu.”, ujar Susi seraya menyerahkan kantong plastik berisi pesanan Alvaro.
“Terima kasih.”, balas Alvaro setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah.
Alvaro segera keluar dari dalam warung dan menghilang dari pandangan mereka.
“Eh Mas, ini kembaliannya.”, ujar ibu Susi setelah mengambil uang sebanyak tiga puluh ribu rupiah dari dalam laci mejanya. “Lho? Ke mana orangnya?”
“Hilang, Bu.”, jawab pak Ilham yang masih memandangi rumah tua di samping sekolah yang berada di seberang rumahnya itu.
“Hilang?”, tanya ibu Susi yang hanya ditanggapi pak Ilham dengan menganggukkan kepalanya. “Bapak kenapa sih tadi lihat Mas itu kayak kaget banget? Gak sopan, Pak. Takutnya dia tersinggung.”
“Bu, itu tadi bukannya yang punya rumah di samping sekolah itu, ya?”
“Hah? Ibu gak ingat.”
“Bukannya dia sudah meninggal, ya?”
“Mungkin saudaranya, Pak, makanya mirip.”
***
Alvaro kembali ke dalam rumahnya dan mendapati Alicia sedang menangis di sofa ruang tamu.
“Suster Alicia kenapa nangis? Hmm?”, ujar Alvaro seraya menyibakkan rambut Alicia yang menutupi wajah cantiknya yang sedang memerah karena menangis. Kemudian, ia membersihkan luka di lutut kaki Alicia dengan air mineral dan kapas, lalu menutup luka itu dengan plester yang dibelinya dari warung ibu Susi.
“Temen – temen aku tadi sengaja nabrak aku. Terus, mereka nginjek makanan dan jus kotak aku. Padahal, aku bawa bekalnya dua. Mau aku bagi ke Kak Varo. Maaf ya, Kak.”
Alvaro mengeluarkan uang dari saku celananya. “Jajan di kantin sekolah kamu aja, ya.”
Alicia menggelengkan kepalanya.
“Gak mau?”
Alicia menganggukkan kepalanya.
“Kenapa?”
“Takut ada yang bully aku.”
“Kamu harus berani lawan mereka. Kalau enggak, kamu akan selamanya jadi bulan – bulanan mereka.”
Alicia kembali menggelengkan kepalanya. “Kalau aku ngelawan, nanti gak ada yang mau satu kelompok lagi sama aku kalau lagi ada tugas kelompok.”
“Ya udah, kerjain tugasnya gak usah berkelompok.”
“Aku kan gak pinter.”
“Aku bisa bantu kamu ngerjain tugas - tugas sekolah kamu kalau kamu mau.”
Alicia tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Ya udah, jajan sana. Sebentar lagi jam istirahat kamu habis lho.”
Alicia pun menerima dua lembar uang lima puluh ribu rupiah yang diberikan oleh Alvaro.
“Ini kebanyakan, Kak.”
“Gapapa. Orang yang ngasih uang itu ikhlas kok uangnya kamu abisin.”
***
Alvaro mengikuti langkah kaki Alicia yang sedang berjalan menuju kantin sekolahnya. Di sana Alicia membeli satu gelas jus alpukat dan satu bungkus roti berisi selai nanas. Tak jauh dari tempatnya membeli jus, Alicia dapat melihat Fandy, Ikhsan, Rafael dan Steven sedang berkumpul bersama Ranti, Olivia, Rizal, Pharrel, Yuda, Bryan dan Lintang. Mereka bergerombol di tempat penjual mi ayam. Alicia segera mengalihkan pandangannya. Ia tidak mau melihat anak – anak nakal yang suka sekali menjahatinya itu.
“Kenapa sih muka lu kusut banget?”, tanya Pharrel pada Ranti.
“HP gue kelindes mobil!”, jawab Ranti dengan ketus karena ia benar – benar marah.
“Kok bisa?”, tanya Yuda.
“Tadi gue jatuh. HP gue kelempar dari tangan gue. Pas banget ada mobil lewat. Kelindeslah itu hp. Gue takut nih bokap gue gak mau beliin gue hp tipe itu lagi.”
“Ya iyalah. HP lo kan harganya mahal. Mana bokap lo baru beliin lo hp itu seminggu yang lalu, kan?”, ujar Pharrel.
“Ya makanya. Males banget kalau nanti bokap gue marah dan malah beliin gue hp yang murah gitu.”, ujar Ranti yang tanpa sengaja menyinggung perasaan beberapa murid di sana karena mereka tidak sanggup membeli ponsel semahal ponsel yang dimiliki oleh Ranti.
“Eh, dua temen lo lagi ke mana?”, tanya Rafael.
“Pulang.”, jawab Ranti.
“Pulang?”, tanya Rafael lagi. Kali ini dengan sedikit mengernyitkan dahinya.
“Iya, tadi tuh si Laura kejatuhan t*i burung yang pup di atas kepalanya.”, jawab Ranti sejujur mungkin.
Mereka semua pun tertawa mendengar penuturan Ranti.
“Terus, si Dina ke mana?”, tanya Yuda.
“Dina tadi ketabrak Oliv, terus jatuh deh dia ke selokan di depan sekolah. Semua badannya dia kena air comberan. Ya, terpaksalah dia pulang.”
Tawa mereka kembali membahana dan Olivia terlihat mendengus kesal karena Ranti terus menyalahkannya atas terjatuhnya Dina ke dalam selokan. Diam – diam, Alicia yang mendengar ucapan Ranti pun berusaha menahan tawanya. Tanpa mereka ketahui, sosok tak kasat mata yang selalu mendampingi Alicia ikut tersenyum puas melihat gadis kecilnya tersenyum.
“Heh, Cia! Kenapa lo? Seneng lihat temen susah?!”, ujar Ranti ketus saat melihat Alicia bersusah payah menahan tawanya.
Alicia merengut menatap Ranti. “Gue kan gak ngapa – ngapain. Cuma baca sms dari temen.”, balas Alicia seraya menunjukkan ponsel yang sedang digenggamnya.
Fandy yang sedang bergabung bersama anak – anak jahat itu pun tertawa mendengar penuturan Alicia. Ia senang melihat Alicia tidak takut pada orang yang sering menjahatinya.
Tiba – tiba, tangan Olivia bergerak tanpa perintah dari otaknya hingga ia menumpahkan mi ayamnya ke atas rok yang sedang dipakai Ranti. Ranti sedikit berteriak saat merasakan kuah panas itu menembus ke dalam roknya dan mengenai pahanya.
“Aduh, Oliv! Hati – hati dong! Hari ini lo careless banget deh!”, protes Ranti.
“Eh, maaf maaf.”, ujar Olivia yang sigap membantu Ranti membersihkan tumpahan mi ayam di roknya dengan tisu. Para murid laki – laki yang sedang bergerombol bersama dua gadis centil itu pun menertawakan mereka.
Sementara itu, Alicia yang baru saja menerima pesanan jus alpukatnya bergegas kembali ke ruang kelasnya daripada dijahati lagi oleh Ranti dan Olivia karena menertawakan mereka.
“Ranti, lo mau beliin gue mi ayam lagi, kan?”, ujar Olivia.
“Hah? Lo gila, ya?! Ya, enggaklah!”, protes Ranti.
“Tapi kan lo tau sendiri gue udah gak punya duit!”
“Ya salah lo sendiri. Kenapa tuh duit bisa terbang dari saku baju lo?!”
“Terbang?”, tanya Steven.
“Iya, tadi tuh ada angin kenceng banget sampe bikin kita porak poranda begini.”, jawab Ranti dengan kesal karena teringat kembali dengan kejadian aneh yang menimpanya dan teman – temannya setelah mereka menjahati Alicia.
“Yah, Ran. Gue laper.”, rengek Olivia.
“Ya udah, lo pesen aja. Gue yang bayar.”, ujar Fandy.
Olivia tersenyum sumringah pada Fandy. “Terima kasih, Fandy.”
“Ya, sama – sama.”, balas Fandy seraya tersenyum.
Olivia pun segera meminta pada ibu kantin untuk dibuatkan satu mangkok mi ayam.
“Sampe ketauan Laura, mampus lo.”, ujar Ranti berbisik di telinga Olivia.
“Bodo! Emangnya dia bos kita?! Lihat aja. Gue yang akan dapetin Fandy!”, balas Olivia.
Ranti tersenyum menyeringai. “Bagus! Gue juga enek sama Laura yang suka bossy. Kita akan tunjukkan ke dia, siapa bos di sini.”
Olivia menampakkan senyum menyeringainya pada Ranti dan menganggukkan kepalanya.
***