Bab 5 – Penasaran

2415 Kata
“Pagi, Sayang.”, ujar Marsha saat melihat Fandy turun dari tangga rumahnya dan berjalan menuju meja makan. “Pagi, Ma.” “Mama buat sandwich, nih.” “Hmm.. Fandy sarapan di sekolah aja ya, Ma.” “Kesiangan, ya?” Fandy terkekeh mendengar ucapan ibunya. Setelah lelah mengerjakan PR Matematika, bukannya tidur, Fandy malah asyik bermain play station di kamar tidurnya hingga tengah malam yang mengakibatkan ia bangun kesiangan pagi hari ini. Marsha memasukkan dua potong sandwich ke dalam kotak bekal sarapan untuk anaknya. “Ma.” “Ya?” “Bawain sandwich-nya agak banyakan dong.” “Laper banget ya anak Mama?”, tanya Marsha seraya terkekeh. “Mau Fandy bagi sama temen.” Marsha memicingkan matanya dan menatap lurus ke arah kedua bola mata putranya itu. “Kamu udah punya pacar, ya?” “Bukan pacar, Ma. Itu lho, yang Mama tolongin di toilet.” “Oh, Alicia?” “Iya.” Marsha tersenyum dan memasukkan lagi dua potong sandwich ke dalam kotak bekal sarapan Fandy.   ***   Setibanya Fandy di ruang kelasnya di sekolah, ia melihat Alicia sedang mengerjakan PR Matematika. Fandy segera menyapa Alicia dan meletakkan tas sekolahnya di atas mejanya. “Pagi.” Alicia menoleh pada Fandy dan tersenyum. “Pagi.”, balasnya. Fandy termasuk anak yang baik. Sejak ada Fandy, Alicia tidak lagi kerepotan saat guru menyuruh para murid mengerjakan tugas secara berkelompok karena Fandy selalu mengajak Alicia satu kelompok dengannya. Jika ada yang menolak Alicia bergabung dengan kelompok mereka, maka Fandy tidak akan segan – segan mengusir orang itu dari kelompoknya. “Lo belum ngerjain PR?”, tanya Fandy. Alicia menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan rasa gugup. “Udah, tapi ada beberapa soal yang gak bisa gue kerjain. Siapa tau kalau pagi – pagi gini otak gue lebih lancar mikirnya.” Fandy menganggukkan kepalanya sebagai tanda ia mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Alicia. “Kenapa gak nyontek aja?” Alicia merengut, lalu menggelengkan kepalanya tanpa menoleh pada Fandy dan tetap menatap buku Matematikanya. Mana mungkin ia meminta seseorang untuk memberikan contekan padanya. Pernah suatu hari di jaman dahulu kala, ia meminta salah satu teman sekelasnya untuk menyalin PR-nya atau minimal mengajarinya beberapa soal yang tidak bisa ia jawab. Bukannya membantu, orang itu malah menghina Alicia dengan mengatakan bahwa Alicia malas berpikir padahal orang itu juga mendapatkan jawaban atas soal – soal PR-nya dari hasil menyontek pada PR murid lainnya. “Mana yang gak lo ngerti? Sini, gue ajarin.”, ujar Fandy seraya mendekat pada Alicia untuk melihat jawaban PR Matematika Alicia. Kedua mata Alicia terbelalak dan ia menahan nafasnya saat Fandy mendekat padanya dan kini hanya berjarak beberapa centi saja dari dirinya. Jantung Alicia berdetak tidak karuan saat dihirupnya aroma shampo dan wangi parfum yang dikenakan oleh Fandy. Ia yakin saat ini pasti wajahnya sudah memerah. Ia tidak menaruh konsentrasinya pada apa yang diucapkan oleh Fandy mengenai cara menjawab soal – soal Matematika itu. “Heh! Lihat ke bukunya, jangan lihatin gue!”, protes Fandy saat melirik Alicia dan mendapati gadis itu tidak memperhatikan apa yang sudah diucapkan panjang lebar olehnya. “Eh, i.. iya..”, balas Alicia gelagapan. Fandy kembali mengulangi apa apa yang diucapkannya tadi. Kini, Alicia sudah paham cara menyelesaikan soal – soal PR Matematikanya. Tiba – tiba terdengar suara deru perut Fandy yang protes karena belum diberi sarapan. Fandy terkekeh dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lupa. Gue belum sarapan.”, ujar Fandy untuk mengurangi rasa malunya. Alicia tersenyum dan lanjut menyelesaikan PR-nya. Fandy mengambil kotak bekal sarapannya dari dalam tas. Ia membuka tutup kotak perbekalan itu dan menyodorkannya pada Alicia. “Ambil.”, ujar Fandy, lalu Alicia menoleh padanya. “Gak suka sandwich ya?” “Suka.”, jawab Alicia, lalu mengambil satu potong sandwich. Sebenarnya, Alicia sudah sarapan sebelum ia berangkat ke sekolah, tetapi demi menghormati Fandy yang sudah mengajarinya pelajaran Matematika, ia pun mengambil satu sandwich yang ditawarkan oleh teman sebangkunya itu. Mata Alicia berbinar ketika potongan sandwich itu tiba di tenggorokannya. “Mau lagi?” Alicia menoleh pada Fandy. Dengan malu – malu, ia mengambil lagi satu potong sandwich dari dalam kotak bekal itu. “Kalau mau lagi, besok gue bawain.” Alicia menggelengkan kepalanya. “Gak usah.” “Nyokap gue jago masak, lho. Kapan – kapan main ke rumah gue, yuk.” Kedua mata Alicia membulat mendengar pernyataan Fandy. Apa – apaan dia? Mengapa semudah itu mengajak seorang gadis untuk mencoba masakan ibunya di rumahnya? Sementara itu, beberapa meter dari tempat duduk mereka, terlihat Manda yang iri pada Alicia. Sejujurnya, ia menyukai Fandy. Fandy merupakan anak yang baik dan murid yang cerdas, serta berbakat di bidang olahraga. Siapa juga yang tidak suka pada Fandy? Baru satu bulan bersekolah di sekolah barunya saja, Fandy sudah menjadi cowok sejuta umat di sekolah itu. Banyak murid perempuan yang jatuh hati padanya, tetapi tidak satu pun dari gadis – gadis itu ditaksir oleh si anak baru itu. Laura yang baru saja tiba di ruang kelasnya pun langsung mendengus kesal ketika matanya melihat Fandy menawarkan sandwich pada Alicia. Ia membanting tasnya ke atas meja dan segera bergegas keluar dari dalam ruang kelasnya untuk pergi ke kantin. Dina yang melihat Laura pergi pun segera menyusulnya. Sementara itu, Olivia dan Ranti menyeringai dan melakukan tos setelah melihat wajah Laura yang merah padam.   ***   Alicia berjalan riang memasuki rumah Alvaro di jam istirahat sekolahnya. Alvaro ikut tersenyum melihat gadis kecilnya sekarang sudah sedikit ceria, tidak selalu murung seperti saat awal pertama kali mereka bertemu. “Seneng banget. Udah jadian ya sama temen sebangku kamu?” Alicia terkekeh dan pipinya menyemburatkan warna kemerahan. Ia menggigiti bibir bawahnya dan menggelengkan kepalanya. “Terus, kenapa seneng banget?” “Tadi pagi, Fandy bantuin aku ngerjain PR.” “Cuma karena itu?” “Iya.” “Aku sering bantuin kamu ngerjain PR. Kenapa kamu gak kesengsem?” Alicia merengut menatap Alvaro yang duduk di sampingnya di ruang meja makan rumah tua itu. “Kak Alvaro kan udah ada yang punya.” “Pacar aku namanya Alicia. Kamu Alicia. Jadi, artinya kamu pacar aku.” Alicia terkekeh mendengar Alvaro mengatakan bahwa dia adalah pacar dokter tampan itu. Tentu saja Alicia mau menjadi kekasih Alvaro andai saja hati pria itu tidak terpaut pada wanita lain. Alicia membuka kotak bekal makan siangnya. Hari ini, eyangnya membawakannya nasi beserta sayur brokoli dan udang goreng. “Kakak gak makan?” “Enggak. Aku gak perlu makan.” Alicia kembali terkekeh. Entah berapa kali Alvaro mengatakan bahwa dirinya tidak perlu makan. Dan entah berapa kali pula Alicia tidak menyadari maksud dari ucapan Alvaro itu.   ***   Fandy kembali ke ruang kelasnya setelah bel sekolah berdering menandakan jam istirahat yang sudah berakhir. Setelah ia duduk di kursinya, barulah terlihat Alicia tiba di ruang kelas mereka. Alicia duduk di kursinya lalu memasukkan tote bag ke dalam tasnya. “Cia?” Alicia menoleh menatap Fandy yang memanggilnya. “Lo setiap jam istirahat ke mana sih?” “Kenapa emangnya?” “Gue sering banget lihat lo masuk ke rumah sebelah.” Alicia tersenyum mengingat seseorang yang selalu menemaninya di jam istirahat sekolah. “Oh iya, gue sering makan siang di sana.” “Itu kan rumah kosong. Lo gak takut?” “Enggak, kok. Ada pemiliknya yang tinggal di rumah itu.” Kedua mata Fandy terbelalak ketika Alicia mengatakan bahwa di rumah kosong itu ada orang yang menempatinya karena selama ini Ikhsan dan Rafael mengatakan bahwa rumah itu sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. “Hah? Di rumah itu ada orang?!” Alicia menganggukkan kepalanya. “Ada. Namanya kak Alvaro. Orangnya baik banget. Kak Alvaro sering bantuin gue belajar. Terutama pelajaran IPA.” “Umurnya?” “Kalau gak salah 28.” “28 tahun? Udah nikah?” “Belum, tapi kak Alvaro udah punya pacar. Tau gak siapa nama pacarnya?” “Ya mana gue tau.”, jawab Fandy dengan sedikit merengut. Alicia terkekeh melihat ekspresi sebal di wajah Fandy. “Namanya Alicia.” Kedua mata Fandy terbelalak setelah mendengar ucapan Alicia. “Apa? Jadi lo pacaran sama orang yang punya rumah sebelah itu?” Kali ini, Alicia terkekeh karena melihat ekspresi terkejut di wajah Fandy. “Bukan. Nama pacarnya kak Alvaro itu Alicia juga. Tapi, mereka udah putus. Kak Alicia ninggalin kak Alvaro.” “Kenapa?” “Katanya karena kak Alvaro kelamaan mau nikahin kak Alicia, jadi kak Alicia marah deh.” Kini berganti Fandy yang terkekeh karena mengetahui si pemilik rumah di samping area gedung sekolahnya tinggalah seorang pria yang galau karena kekasihnya ngambek setelah ia tak kunjung jua menikahi si kekasih hati. “Oh ya, doi tinggal sama siapa aja di rumah itu?” “Tinggal sendiri. Orang tua dan adiknya tinggal di rumah ayah mereka.” “Hah? Tinggal sendiri di rumah sebesar itu? Gak takut?” “Enggak tuh. Kak Alvaro kan dokter. Pasti dia orangnya pemberani.” “Dokter?” “Iya.” Sementara itu, di kejauhan tampaklah Laura beserta gengnya yang menatap Alicia tidak suka karena gadis lugu itu terlihat akrab saat bercengkerama dengan cowok sejuta umat yang mereka incar.   ***   “Cia, lo langsung pulang?”, tanya Fandy saat jam pelajaran di hari Jum’at itu berakhir. Alicia menggelengkan kepalanya. “*PMR dulu.” *PMR = Palang Merah Remaja “Lo mau jadi dokter, ya?” Alicia kembali menggelengkan kepalanya. “Mau jadi perawat.” “Wah, kebetulan. Gue mau jadi dokter. Nanti kita bisa kerja bareng.” Mata Alicia berbinar mendengar teman terbaiknya di sekolah ingin menjadi dokter. “Bokap gue juga dokter.”, ujar Alicia. “Praktek di mana?” “Bokap gue udah meninggal.”, jawab Alicia seraya tersenyum getir. “Oh iya, maaf Cia, gue lupa.”, balas Fandy dengan perasaan bersalah. Alicia menganggukkan kepalanya, lalu mereka pun bergegas turun ke lantai satu gedung sekolah mereka.   ***   Setelah selesai sholat Jum’at dan istirahat makan siang, Fandy bersama teman – teman di tim ekstrakurikuler futsal memulai latihan mereka siang hari itu. Mereka sangat bersemangat pada latihan hari itu sebab mereka sudah berhasil menjuarai lomba futsal antar SMA tingkat kota madya. Saat ini, mereka sedang mempersiapkan diri untuk menjuarai lomba futsal antar SMA se-Jakarta. Dengan adanya Fandy di tim futsal mereka, mereka yakin akan berhasil membawa pulang piala juara satu tahun ini setelah tahun lalu hanya berhasil membawa pulang piala juara tiga. Saat sedang beristirahat dari latihan futsalnya, Fandy melihat Alicia dan beberapa murid yang tergabung di ektrakurikuler Palang Merah Remaja keluar dari dalam ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Fandy segera menelan air mineral yang baru saja ditenggaknya. “Alicia!”, panggil Fandy seraya melambaikan tangannya. Alicia menoleh pada sumber suara yang memanggil namanya dan terlihatlah Fandy duduk di area pinggiran lapangan futsal sekolahnya dengan baju futsalnya dan keringat yang membanjiri wajahnya. Sial! Sore – sore begini Fandy malah menggoda iman Alicia. “Ih Cia sombong banget sih! Malah diem aja!”, ujar Rafael yang sewot melihat Alicia mematung memandangi Fandy. Ia tidak tahu betapa tegangnya Alicia disapa oleh cowok setampan Fandy di mana cowok – cowok dengan tampang di bawah rata – rata saja ogah bertegur sapa dengannya. “Eh, iya.”, balas Alicia. Mereka semua terkekeh melihat Alicia yang kikuk. “Mau pulang?”, tanya Fandy. Alicia menganggukkan kepalanya. “Duluan, ya.” “Iya, hati – hati.”, balas Fandy. Alicia pun melangkahkan kakinya dengan cepat untuk segera menghilang dari pandangan mereka sebelum mereka menertawakannya yang wajahnya sudah memerah dan detak jantungnya yang tidak terkendali. “Eh, San, kata Cia, yang punya rumah kosong di samping sekolah kita tinggal di rumah itu kok.”, ujar Fandy pada Ikhsan setelah Alicia menjauh dari pandangan mereka. “Ah, enggak kok Fan. Gak pernah ada yang dateng ke rumah itu. Coba deh lo lihat kolam renang rumah itu dari lantai 3, dari jendela deretan ruang kelas XII IPS. Dari situ kelihatan ke halaman belakang rumah kosong itu. Kolam renangnya lumutan. Kalau iya ada orang yang tinggal di rumah itu, masa iya dia gak bersihin itu rumah. Jorok banget gitu bro rumahnya.”, ujar Ikhsan. Fandy pun meyakini ucapan Ikhsan ada benarnya. Ia mulai meragukan dengan apa yang dikatakan oleh Alicia, tetapi ia juga yakin Alicia tidak mungkin berbohong. Ikhsan menepuk pundak Fandy setelah dilihatnya Fandy tampak berpikir. Ia yakin saat ini Fandy sedang bingung. “Kalau gak percaya, tanya aja sama pak Udin. Doi udah kerja di sekolah kita puluhan tahun.”, ujar Ikhsan. Fandy menatap Ikhsan dengan tatapan ragu – ragunya, namun ia segera menganggukkan kepalanya. “Ya udah, latihan lagi yuk.”, ujar Ikhsan. Fandy dan Ikhsan berdiri, lalu kembali ke tengah lapangan untuk melanjutkan latihan futsal mereka sore hari itu.   ***   Malam minggu adalah malam yang paling tepat untuk menghabiskan masa akhir pekan bersama kekasih pujaan hati. Berhubung Fandy belum memiliki kekasih, ia selalu menghabiskan malam minggunya dengan pergi jalan – jalan bertiga bersama kedua orang tuanya. Seperti yang sudah menjadi tradisi di keluarganya, hari Sabtu sore setelah Randy menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, ia mengajak istri dan anaknya jalan – jalan ke mall dan makan malam di restaurant. Malam ini, Fandy memilih restaurant Italia. Ia sedang ingin menyantap sepiring lasagna. Saat mereka sedang menikmati makan malam mereka, tiba – tiba saja Fandy teringat pada Alicia. Apakah gadis itu juga menyukai lasagna? Sejak mengetahui bahwa Alicia menyukai sandwich buatan ibunya, rasanya Fandy ingin mengetahui makanan apa lagi yang disukai gadis itu. Namun, seketika Fandy menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikirannya yang dipenuhi oleh teman satu mejanya di sekolah itu. Untuk apa ia memikirkan gadis lugu itu? “Fandy? Kamu kenapa, Sayang?”, ujar Marsha panik setelah melihat anaknya tiba – tiba saja menggelengkan kepalanya saat ia dan suaminya sedang asyik berbincang mengenai perombakan halaman rumah mereka. Rencananya, Marsha akan membuat kolam ikan di halaman depan rumah mereka. “Eh, gapapa kok, Ma.”, jawab Fandy dengan sedikit terkejut karena tingkah anehnya ketahuan oleh sang ibu. Marsha segera pindah ke kursi kosong di samping Fandy. Ia meletakkan telapak tangannya di kening Fandy untuk mengukur suhu tubuhnya. “Kamu ngerasa sakit, Nak? Tapi badan kamu gak panas.” “Enggak kok, Ma.”, jawab Fandy. “Makanya Fandy, kamu jangan kebanyakan bengong. Nanti kesambet lho.”, ujar Randy. “Papa nih, ngaco deh.”, protes Marsha diiringi suara kekehan dari suaminya. Marsha menggeser piringnya ke hadapannya karena ia ingin mendampingi anaknya selama makan malam hari itu. Ia khawatir pada keadaan Fandy karena tidak biasanya anaknya itu melamun.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN