Pagi itu, Fandy bersiap – siap untuk berangkat menuju sekolah barunya. Hari ini adalah hari pertama ia akan bersekolah di sana. Setelah mandi, ia memakai seragam sekolahnya yang berupa kemeja putih dan celana abu – abu, serta yang tak boleh ketinggalan, jaketnya. Fandy tidak pernah absen dari jaket – jaketnya. Hari ini, ia memilih untuk memakai jaket berwarna biru tua. Setelah memastikan penampilannya sudah rapi dan oke, Fandy menyambar tas sekolahnya yang berwarna hitam, lalu ia berjalan turun ke lantai satu rumahnya untuk sarapan pagi bersama kedua orang tuanya.
“Pagi, Sayang. Anak Mama ganteng banget sih. Mentang – mentang hari ini masuk sekolah baru.”, ujar Marsha saat melihat Fandy menuruni anak tangga rumah baru mereka.
“Fandy mah kapan aja juga ganteng, Ma.”, balas Fandy.
“Enak aja. Gantengan Papa dong.”, protes Randy, ayah Fandy.
“Ah, kan Papa udah tua.”, ujar Marsha mengejek suaminya.
“Papa tua juga Mama suka.”, balas Randy dengan mengedipkan mata genitnya.
Fandy terkekeh melihat tingkah ayahnya, sedangkan Marsha mendengus kesal dengan ucapan suaminya yang memang benar adanya karena ia sangat mencintai pria itu lahir batin.
Mereka pun mulai menyantap sarapan pagi mereka yang berupa nasi goreng lengkap dengan telur mata sapinya hasil masakan ratu di rumah itu yang sangat lihai memasak.
***
Fandy memarkirkan mobilnya di area parkir mobil yang disediakan oleh pihak sekolah di area tanah lapang yang terletak agak jauh dari gedung utama sekolahnya. Halaman parkir sekolah itu terbilang luas, sehingga untuk berjalan masuk ke dalam ruang kelasnya cukup memakan waktu. Sebelum ia memasuki ruang kelasnya, terlebih dahulu ia melapor ke pihak tata usaha untuk memberi tahukan bahwa ia adalah murid baru di sekolah itu. Salah satu petugas tata usaha membawa Fandy menuju ruang guru untuk mengantarkannya pada ibu Tya yang akan menjadi wali kelas Fandy.
“Permisi, Bu Tya, murid baru di kelas Ibu mau ketemu sama Ibu.”, ujar Reza sang staf administrasi di sekolah itu.
“Oh iya, terima kasih Reza.”, balas ibu Tya.
“Saya permisi dulu ya, Bu.”, ujar Reza, lalu ia pamit undur diri kembali ke ruang kerjanya.
***
Fandy berjalan menuju ruang kelasnya bersama ibu Tya. Ibu Tya mengetuk pintu ruang kelas, lalu mengajak Fandy memasuki ruang kelas yang berada di lantai tiga itu untuk memperkenalkannya pada murid – murid di kelas yang diwalikannya. Semua mata memandang kagum pada sosok Fandy yang sangat tampan. Para murid laki – laki pun tak kalah kagum memandangi kesempurnaan Fandy. Tolong jangan katakan jika anak laki – laki itu memiliki otak yang cerdas atau memiliki bakat di bidang olahraga. Kalau tidak, hancurlah harapan para bocah laki – laki yang mulai beranjak dewasa itu untuk mendekati gadis kesukaannya di sekolah itu. Laura, sang primadona sekolah, bahkan menatap Fandy tanpa berkedip sedikit pun. Mulutnya ternganga. Fandy adalah murid paling tampan yang pernah ia lihat di sekolahnya, bahkan lebih tampan dari Jason si ketua ekstrakurikuler basket di sekolah mereka.
“Permisi Bu Endah, ini ada murid baru di kelas saya.”, ujar ibu Tya pada ibu Indah, sang guru Bahasa Indonesia.
“Oh, iya iya, silahkan.”, balas ibu Endah.
“Selamat pagi anak – anak.”, ujar ibu Tya.
“Pagi, Bu.”, balas para murid.
“Hari ini kalian kedatangan teman baru. Pindahan dari SMA di derah Jakarta Timur.”, ujar ibu Tya, lalu ia geleng – geleng kepala melihat para murid perempuannya menatap ganas pada Fandy seolah – olah Fandy adalah mangsa yang harus segera diterkam agar tidak keburu direbut oleh pemangsa lain.
Alicia yang sedari tadi tertunduk lesu menatap buku Bahasa Indonesia miliknya mendadak menegakkan kepalanya dan ternganga melihat siapa murid baru di kelasnya. Dia adalah anak laki – laki yang telah menolongnya saat ia terjebak di dalam bilik wc satu minggu yang lalu.
“Ayo, Fandy. Perkenalkan diri kamu.”, sambung ibu Tya.
“Selamat pagi, semuanya.”, ujar Fandy.
“Pagi.”, balas semua murid.
“Perkenalkan nama saya Fandy Putra Prasodjo. Biasa dipanggil Fandy. Hmm..”, Fandy tampak berpikir sejenak sebab ia tidak tahu harus berkata apa lagi. “Mohon bimbingan dan kerja samanya.”, lanjutnya kemudian.
“Iya.”, balas semua murid yang sudah pasti bersemangat karena mereka akan segera memiliki teman dengan wajah rupawan.
“Nah, Fandy, kamu bisa duduk di kursi yang kosong di sebelah Alicia, ya.”, ujar ibu Tya yang diiringi tatapan tak percaya para murid di kelas itu. Benar. Satu – satunya murid yang tidak memiliki teman satu meja hanyalah Alicia, tetapi Laura dan gengnya rela menggantikan Alicia agar mereka dapat duduk berdampingan dengan remaja laki – laki tampan itu.
Fandy tersenyum saat menyadari siapa yang akan menjadi teman sebangkunya. “Terima kasih, Bu.”
“Sama – sama.”, balas ibu Tya, lalu ia berpamitan pada ibu Endah dan para murid di kelas XI IPA 1 itu karena ia harus segera mengajarkan pelajaran Biologi pada para murid kelas XII IPA 3.
Fandy berjalan menuju meja belajarnya di kelas diiringi tatapan tidak suka mereka pada Alicia. Mengapa harus gadis polos yang menjadi bulan – bulanan mereka yang beruntung menjadi teman sebangku murid laki – laki setampan Fandy.
Fandy tersenyum pada Alicia, namun seketika Alicia menundukkan pandangannya. Fandy menggantungkan tasnya pada pinggiran kursi, lalu mengambil buku pelajaran Bahasa Indonesia, serta buku tulisnya.
“Hai, Alicia. Kita ketemu lagi.”, ujar Fandy.
“Iya..”, balas Alicia singkat.
“Nah, anak – anak, hari ini Ibu mau mengadakan tugas kelompok. Mau Ibu atur saja kelompoknya atau kalian pilih sendiri?”, ujar ibu Endah.
“Pilih sendiri dong, Bu.”, ujar Laura yang diiringi kata setuju dari teman – temannya. Ia sengaja mengatakan hal itu karena ia tahu tidak akan ada seorang pun yang mau satu kelompok dengan Alicia.
“Ya sudah. Satu kelompok masing – masing 5 orang, ya. Ayo mulai pilih teman kelompok kalian dan duduk melingkar, ya.”
“Oke, Bu.”
Alicia menghela nafasnya. Lagi – lagi ia dipermainkan.
“Fandy, ayo gabung sama kita aja.”, ujar Rizal yang duduk di sebelah kursi Fandy.
Fandy tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu ia menoleh pada Alicia. “Ayo, Al.”
Dengan ragu – ragu, Alicia menganggukkan kepalanya dan mengikuti langkah Fandy untuk memindahkan kursi mereka untuk diposisikan melingkar dengan kursi teman – teman satu kelompoknya.
“Eh, kelompok kita udah pas 5 orang nih. Cia gabung ke kelompok lain aja.”, protes Rizal. Sebenarnya, Rizal bukannya tidak mau Alicia bergabung di kelompok yang sama dengannya karena anggota kelompok mereka sudah terdiri dari 5 orang murid, tetapi ia tidak mau ambil risiko akan ditertawakan oleh teman – teman satu kelas apabila Alicia bergabung bersama kelompoknya.
Alicia menganggukkan kepalanya pasrah. Benar. Tidak mungkin ada yang mau ia menjadi anggota kelompok mereka. Alicia kembali duduk di mejanya dan berniat untuk mengerjakan tugas kelompok itu seorang diri.
Ibu Endah mengerutkan dahinya karena Alicia terlihat tidak ikut bergabung dalam kelompok manapun.
“Cia, kamu sekelompok sama siapa?”, tanya ibu Endah.
Hati Alicia terasa terbakar. Ia berusaha keras agar tidak menangis saking malunya karena tidak memiliki seorang teman pun di kelasnya.
“Belum dapet, Bu.”, jawab Alicia malu – malu.
Ibu Endah menghela nafasnya. Entah sudah berapa kali Alicia seperti itu. Tetapi, bukannya membela, ia justru tidak suka pada Alicia karena gadis lugu itu dinilainya tidak mau berteman dengan siapa pun.
“Siapa di sini yang kelompoknya kurang orang?”, tanya ibu Endah yang tidak dijawab oleh seorang pun. “Hei, satu kelas ini ada 40 murid. Kalau satu kelompok harus ada 5 orang, seharusnya ada satu kelompok yang kekurangan anggota.”
Rangga, Doni, Naufal dan Ergi mulai merasa gelisah sebab kelompoknya kekurangan satu orang anggota. Mereka bukanlah murid yang tergolong gaul dan bergabung di geng anak – anak populer di sekolahnya. Mereka hanya murid yang biasa – biasa saja yang berasal dari keluarga sederhana dan memiliki kecerdasaan yang tidak bisa dibanggakan, tetapi dengan sombongnya, mereka menolak Alicia bergabung bersama kelompok mereka sebab mereka tidak mau ditertawakan karena ketiban sial harus berada di dalam satu kelompok bersama Alicia.
“Cia, gabung sama kita aja.”, ujar seorang gadis cantik yang lemah lembut.
Alicia menoleh pada Manda yang menawari ajakan untuk bergabung di kelompoknya. Tentu saja ia mau bergabung bersama Manda, si gadis cantik dan cerdas, tetapi ia menolaknya. Tanpa Manda sadari, teman – temannya menatap garang pada Alicia. Mereka tidak mau Alicia bergabung di kelompoknya.
“Gak usah, Manda. Gue sendiri aja. Gapapa, kok.”
“Ih, gapapa kali, gabung sama kita aja.”
“Bukannya udah lima orang, ya?”, tanya Alicia untuk mengurungkan niat Manda.
“Ya elah, gapapa, nambah satu orang doang.”, jawab Manda. “Ibu, Cia gabung di kelompok saya.”, ujar Manda pada gurunya.
Teman – teman Manda menghela nafasnya. Mereka tidak bisa berkutik. Manda adalah murid paling cerdas di angkatan mereka. Tidak mungkin mereka menolak permintaan Manda sebab Manda yang membuat mereka mendapatkan nilai – nilai bagus di berbagai mata pelajaran mereka.
Alicia menggeser kursinya untuk duduk melingkar bersama kelompoknya dengan mendapati tatapan malas dari teman – teman Manda.
“Makasih ya, Man.”, ujar Alicia.
“Sama – sama.”, balas Manda seraya tersenyum.
Pelajaran Bahasa Indonesia hari itu pun dimulai. Sepanjang mengerjakan tugas kelompok itu, Alicia benar – benar diacuhkan. Pendapatnya tidak pernah didengarkan. Mereka bersikap seolah – olah Alicia hanyalah angin yang berhembus yang tidak terlihat oleh pandangan mata mereka. Hanya Manda saja yang mau berbaik hati mendengarkan pendapat Alicia.
Dari kejauhan, diam – diam Fandy memperhatikan Alicia. Ia merasa kasihan dan prihatin pada gadis malang itu. Ia tidak tahu apa kesalahan yang telah dilakukan Alicia di masa lalu hingga ia diperlakukan sekejam itu oleh teman – temannya. Eh, tunggu. Teman? Tidak. Alicia tidak memiliki teman seorang pun.
***
Sebelum jam istirahat dimulai, ibu Tya menyempatkan diri datang ke ruang kelas yang diwalikannya. Saat itu, pelajaran Fisika sedang berlangsung.
“Maaf Pak Bejo, saya ganggu sebentar saja.”, ujar ibu Tya.
“Ya, monggo.”, balas Pak Bejo.
“Untuk Laura, Dina, Ranti, Olivia dan Alicia datang ke ruang *BK saat jam istirahat.”, ujar ibu Tya.
*BK = Bimbingan Konseling
Laura, Dina, Ranti dan Olivia menghela nafas mereka. ‘Dasar CCTV sialan!’, rutuk mereka dalam hati.
Alicia juga menghela nafasnya. Ia merasa keputusannya untuk memberi tahukan wali kelasnya tentang kejadian yang ia alami saat terkurung di dalam toilet itu adalah suatu kesalahan. Setelah ini, tidak mungkin Alicia akan menjalani hari – harinya di sekolah dengan tenang. Apa ia harus pindah sekolah saja?
***
Ibu Suci, guru Bimbingan Konseling, dan ibu Tya memperlihatkan gambar rekaman CCTV pada minggu lalu saat Alicia memasuki toilet, lalu keempat gadis jahat itu mengikutinya. Rekaman CCTV itu memang tidak memperlihatkan saat mereka mengaitkan tali rafia pada gagang pintu bilik wc yang dipergunakan oleh Alicia pada paku penyangga tanaman hias, tetapi dari gerak – gerik mereka yang memasuki toilet dengan mengendap – endap dan Laura memegang gulungan tali rafia, serta Olivia yang membawa gunting, sudah dapat dipastikan siapa yang mengurung Alicia di dalam bilik wc itu. Sebelum kembali ke dalam gedung sekolahnya, Laura membeli tali rafia dan gunting di warung seberang gedung sekolah mereka. Ia berniat akan mengurung Alicia di dalam toilet saat jam pulang sekolah, tetapi siapa sangka di jam istirahat ia sudah bisa menjahili gadis malang itu.
“Ada pembelaan?”, tanya ibu Suci pada keempat gadis itu.
“Kita cuma bercanda, Bu. Ya masa kita mau ngurung Alicia di dalam toilet? Apa untungnya?”, ujar Laura santai padahal ketiga temannya sudah ketar – ketir akan mendapatkan hukuman dari guru Bimbingan Konseling dan wali kelas mereka.
“Usia kalian sudah cukup dewasa. Kalian bukan anak kecil lagi. Masa kamu tidak bisa membedakan bercanda dengan sengaja menyakiti orang lain?!”, ujar ibu Suci yang gemas dengan kelakuan empat gadis barbar itu. Dan kekesalannya bertambah karena ia tidak bisa memberikan hukuman berat pada keempat murid dari orang tua yang tergabung dalam program Persatuan Orang Tua Murid dan Guru itu.
Keempat gadis jahat itu hanya diam saja ketika ibu Suci mengatakan hal itu. Tentu saja mereka tidak bercanda. Mereka bersungguh – sungguh mengurung Alicia di dalam toilet, bahkan sampai sempat – sempatnya membeli tali rafia dan gunting. Lagipula, mana mungkin sih mereka mau bercanda riang gembira dengan Alicia yang tidak mereka sukai keberadaannya di sekolah itu?
“Minta maaf ke Alicia.”, ujar ibu Tya.
Keempat gadis jahat itu mengerutkan dahinya dan saling memandang satu sama lain. Meminta maaf pada Alicia? Sungguh, mereka tidak sudi melakukannya.
“Kalau Alicia tidak mau memaafkan kalian, terpaksa kalian harus jadi tukang bersih – bersih toilet selama tiga hari ke depan.”, ujar ibu Suci melanjutkan ucapan ibu Tya.
“Cia, maafin kita, ya. Kita cuma mau bercanda aja sama lo soalnya lo selama ini gak pernah mau gabung main sama kita.”, ujar Ranti seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Alicia.
Alicia memang tidak terlalu cerdas dalam bidang akademis, tetapi ia tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Ranti hanya berpura – pura saja melakukan itu sebab ia tidak mau membersihkan toilet. Akan jatuh harga dirinya sebagai salah satu gadis cantik dan populer di sekolah jika ia ketahuan menyikat wc oleh teman – teman lainnya. Alicia menerima uluran tangan Ranti dan mereka pun saling berjabat tangan. Laura, Dina dan Olivia pun akhirnya mengikuti jejak Ranti untuk meminta maaf pada Alicia.
“Bagaimana Alicia? Apakah kamu memaafkan mereka?”, tanya ibu Tya.
Alicia menganggukkan kepalanya. “Iya, Bu.”
“Syukurlah. Kalau kamu tidak mau memaafkannya, tiga hari ke depan pak Udin dan pak Jaka kehilangan pekerjaan.”, ujar ibu Tya lagi.
Pak Udin dan pak Jaka adalah orang yang bertugas untuk membersihkan keseluruhan yang berada di area sekolah tersebut.
***
Ikhsan dan Rafael mengajak Fandy untuk jajan ketoprak yang biasa mangkal di depan warung ibu Susi. Fandy pun mengiyakan ajakan mereka. Mereka memesan tiga piring ketoprak pedas dan membeli satu botol air mineral di warung ibu Susi.
“Lo kenapa pindah ke sini, Fan?”, tanya Ikhsan.
“Bokap gue pindah kerja.”, jawab Fandy.
“Bokap lo kerja di mana?”, tanya Rafael.
“Di rumah sakit Permata Indah Sari.”
“Bokap lo dokter?”, tanya Ikhsan lagi.
“Iya. Eh, ngomong – ngomong, rumah di samping sekolah kita bagus deh. Sayang banget gak terawat.”
“Oh, itu. Denger – denger dari pak Udin, yang punya rumah udah meninggal sekitar hampir tiga belas tahun yang lalu.”, ujar Ikhsan.
“Keluarganya?”
“Mungkin tinggal di rumah lain. Orang kaya kan rumahnya banyak.”, jawab Ikhsan.
Fandy pun menganggukkan kepalanya. Ada benarnya juga penuturan teman barunya itu.
“Eh, itu rumah angker, lho.”, ujar Rafael.
“Angker gimana?”, tanya Fandy.
“Sering kedengaran suara orang mainin piano dari rumah itu. Warga sekitar sini juga sering denger ada suara lantunan piano tengah malem. Dan yang lebih parahnya lagi, orang yang nekat masuk ke dalam rumah itu bakalan lihat penampakan.”, jawab Rafael yang bersemangat membahas hal – hal mistis dari rumah kosong bergaya Eropa yang telah lama ditinggalkan pemiliknya itu.
“Ah, kata siapa?”, tanya Fandy. Ia memang tidak begitu mempercayai hal – hal seperti itu. Ia mempercayai bahwa manusia hidup berdampingan dengan makhluk gaib, tetapi ia merasa hal – hal mistis yang dialami warga sekitar hanyalah bualan belaka hasil keisengan seseorang untuk menakut – nakuti mereka sebab rumah itu memang terlihat sangat tidak terawat. Rerumputan pun menjulang tinggi di area pekarangan rumah. Tidak ada orang yang mengurus rumah itu sehingga tampilannya tampak mengerikan.
“Udah banyak warga sini yang bilang kalau mereka pernah denger suara piano dari rumah itu dan terkadang juga kelihatan sosok penampakan gitu dari area rumah.”, jawab Rafael lagi.
“Lo udah pernah lihat?”
“Amit – amit. Amit – amit. Jangan sampe deh.”, balas Rafael.
Fandy terkekeh melihat ekspresi wajah Rafael yang tampak bergidik ngeri. Kemudian, matanya menangkap Alicia yang baru saja keluar dari area halaman sekolah mereka.
“Cia? Ngapain dia ke sana?”, ujar Fandy saat melihat Alicia berjalan dengan santainya memasuki area rumah tua itu.
“Temen sebangku lo? Dia emang agak aneh. Jarang ngomong. Sering di-bully sama anak – anak satu angkatan kita. Dan udah beberapa waktu belakangan ini, dia sering makan siang di sana.”, ujar Rafael.
“Lah, ngapain dia makan siang di sana?”
“Ya daripada makan di kelas. Gak enaklah makan sambil di-bully.”
“Dia di-bully kenapa sih?”
“Dulu waktu kita masih kelas sepuluh, si Laura naksir Brandon, kakak kelas kita. Sekarang si Brandon udah kuliah di Bandung. Nah, Brandon tuh sering main ke kelas kita buat nemuin si Alicia, temen sebangku lo itu. Ya kesel dong si Laura yang cantik banget itu kalah pamor dari Alicia. Ya udah, di-bully deh.”, jawab Ikhsan.
“Eh, sama ini deh kayaknya. Lo ngerasa gak si Cia bajunya gak ada yang baru? Kayaknya dia minjem seragam dari kakak angkatan yang udah pada lulus duluan makanya bajunya pada lusuh semua.”, timpal Rafael.
“Oh iya, orang tuanya Cia udah meninggal. Sekarang dia cuma tinggal sama neneknya aja.”, sambung Ikhsan.
“Oh.”, balas Fandy seraya menganggukkan kepalanya. Ia kembali memandangi rumah tua itu. Ia penasaran mengapa gadis selugu Alicia yang tidak pernah berani melawan ketika ada yang mem-bully-nya justru berani memasuki rumah yang dari auranya saja sudah tidak menyenangkan.
***