Alicia terlihat gelisah. Ia terus menggigiti bibirnya ketika makan malam bersama eyangnya di ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga. Mereka memang jarang menyantap makan siang atau makan malamnya di ruang makan karena mereka merasa lebih nyaman menyantap makanan mereka seraya menonton televisi di ruang tamu. Sumiyati yang melihat kegelisahan cucunya itu pun tersenyum.
“Cia, kenapa? Makanannya gak enak?”
Mata Alicia membulat. Ia terkejut karena tiba – tiba eyangnya menanyakan hal itu.
“Enggak, Eyang, ini enak kok.”
“Terus kenapa dari tadi ngelamun?”
“Hmm...”, Alicia menundukkan kepalanya. “Itu, besok boleh gak Cia bawa bekalnya dua?
“Lho? Untuk apa?”
Alicia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan eyangnya yang terasa sulit untuk dijawab. “Itu, Cia mau makan sama temen Cia.”
“Emangnya temen Cia gak bawa makanan?”
“Ba.. bawa..”
“Mau tukeran makanan, ya?”
Alicia menganggukkan kepalanya.
“Ya udah, besok Eyang buatin bekalnya dua, ya.”
“Terima kasih, Eyang.”, ujar Alicia seraya tersenyum.
Sosok tak kasat mata yang sedari tadi berdiri di sudut ruang tamu pun ikut tersenyum.
***
Alicia tersenyum riang saat bel istirahat berbunyi nyaring. Setelah satu setengah tahun menjalani pendidikan di sekolah menengah atas itu, baru kali ini rasanya Alicia merasa senang dan sangat beruntung ada jam istirahat di sekolahnya. Ia mengambil sebuah tote bag berisi makan siangnya, lalu bergegas melangkah keluar dari gedung sekolahnya menuju sebuah rumah kosong di samping gedung sekolahnya.
Alicia menyalakan bel rumah itu yang tidak berfungsi. Ia mengernyitkan dahinya karena tidak ada bunyi dering bel setelah ia menekan tombol bel itu, namun tiba – tiba saja pintu rumah itu terbuka lebar seolah mempersilahkannya untuk segera melangkah memasukinya.
“Kak Alvaro?”, panggil Alicia, tetapi si pemilik nama tidak menyahuti panggilannya. Alicia mulai gelisah. Ia tidak bisa berlama – lama berada di sana sebab jam istirahatnya hanya berlaku selama 45 menit saja. Karena tidak mau lama menunggu, Alicia memberanikan diri melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Ia ternganga saat melihat seisi rumah itu.
“Kamu sudah datang.”
Alicia menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya.
“Kak Alvaro, maaf ya, aku langsung masuk aja tanpa izin.”
“Kan tadi udah aku buka pintunya.”
Alicia kembali mengerutkan dahinya. “Kapan? Kok aku gak lihat siapa – siapa?”
“Tadi emang aku gak kelihatan.”
Alicia terkekeh. Rupanya sedari tadi ia melamun sampai tidak menyadari Alvaro menghampirinya di depan pintu masuk rumah.
“Kak, aku bawa bekal makan siang. Kakak mau? Aku bawa dua.”
Alvaro tersenyum. “Iya, aku tau. Ayo duduk.”
Alvaro mempersilahkan Alicia untuk duduk di salah satu kursi di meja makan rumahnya, lalu ia duduk di samping gadis itu.
“Kakak suka ayam bakar? Hari ini Eyang aku masak ayam bakar.”
“Suka.”
Mereka mulai menyantap makan siang mereka dengan Alvaro yang hanya memandangi satu kotak bekal di hadapannya yang berisi nasi dan ayam bakar, lalu ia membuat makanan yang disajikan untuknya itu tidak terlihat bagi penglihatan mata Alicia. Alvaro terus menatap Alicia yang sedang sibuk menikmati masakan Eyangnya yang selalu terasa lezat baginya.
“Ini Eyang kamu yang masak?”
“Iya.”
“Orang tua kamu?”
“Orang tua aku udah meninggal.”
“Kenapa?”
“Kecelakaan. Sebenarnya aku juga ikut waktu mereka kecelakaan, tapi aku selamat.”
“Oh.”
“Rumah Kakak bagus banget.”
“Rumah kamu juga bagus.”
“Kakak kan belum pernah ke rumah aku. Rumah aku kecil, Kak. Barang – barangnya juga gak mewah kayak isi rumah Kakak ini.”
Alvaro tampak menyeringai. Ia sudah mengetahui seisi rumah gadis belia itu, bahkan sampai ke lubang semutnya pun ia tahu.
“Kakak bisa main piano?”, tanya Alicia karena ada sebuah piano klasik teronggok di bawah tangga.
“Kamu mau main piano?”
“Aku gak bisa main piano.”
“Ya udah, nanti aku mainin untuk kamu.”
Alicia terburu – buru menyelesaikan makan siangnya agar ia bisa mendengar kakak tampannya bermain piano. Sesuai janjinya, Alvaro mengajak Alicia duduk di kursi pianonya. Mata Alicia terbelalak saat melihat beberapa pigura foto yang diletakkan di atas piano itu.
“Kakak dokter?!”, seru Alicia saat melihat foto Alvaro mengenakan jas putih khas dokter dengan stetoskop melingkari lehernya.
“Ya.”
“Ini pacar Kakak?”, ujar Alicia seraya menunjuk pigura yang menyimpan foto seorang gadis cantik dengan baju perawat.
“Ya.”
“Pacar Kakak perawat?”
“Ya.”
“Wah, ayah aku juga dokter, bunda aku perawat.”
Mata Alvaro berubah merah. Ia tidak menanggapi ucapan Alicia. Ia memjamkan mata dan mulai memainkan sebuah lagu yang terasa menyayat hati.
***
“Aduh, kedengaran lagi kan tuh. Elaaah.”, ujar Rafael saat ia bersama teman – temannya jajan di warung bakso di seberang sekolahnya.
“Apaan?”, tanya Ikhsan.
“Lo gak denger ada suara piano dari rumah angker itu?”, ujar Rafael lagi.
Bulu kuduk semua orang pun mendadak berdiri dan hembusan angin dingin tiba – tiba saja menerpa tengkuk leher mereka.
“Sekolah kita gak mau pindah aja apa, ya? Kenapa sih sekolah sebagus itu harus ada di samping rumah jelek angker gak jelas itu?!”, ujar Ranti.
“Ya lo aja yang pindah sekolah. Kita seneng lho kalau lo gak ada.”, balas Ikhsan.
Mereka tertawa mendengar celotehan Ikhsan. Mereka berpikir Ikhsan hanya bercanda, tetapi sesungguhnya Ikhsan berbicara dari lubuk hatinya yang terdalam. Ia memang tidak begitu suka dengan Laura, Dina, Ranti dan Olivia yang sering bersikap seolah – olah mereka adalah orang paling tajir di sekolah. Tetapi, sialnya teman – teman Ikhsan lainnya suka dengan sikap empat orang itu yang terkesan berkuasa di sekolah mereka dan mereka pun tergabung dalam circle yang sama dengan empat cewek genit itu. Ikhsan pun kalah suara. Ia terpaksa bergabung dengan cewek – cewek centil itu.
***
Mata Alicia tiba – tiba terasa panas dan dadanya terasa sesak. Ada perasaan sedih yang begitu menyayat hati ketika Alvaro mulai memainkan lagu berjudul Dido’s Lament karya Henry Purcell. Air mata Alicia tiba – tiba saja meluncur. Ia juga tidak mengerti mengapa ia bisa mengalami hal itu. Bahkan, ia tidak sanggup lagi berkata – kata untuk meminta Alvaro menghentikan permainan pianonya. Alvaro terus memainkan pianonya dan angin berhembus kencang di sekitar mereka hingga membuat lampu gantung yang berada di ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan bergerak tak tentu arah dan gorden jendela berterbangan.
“Kaaa..kk...”, ujar Alicia dengan susah payah.
Alvaro menghentikan permainan pianonya dan membuka matanya. Tatapannya kosong menatap pigura yang menyimpan foto seorang perawat yang sangat dirindukannya. Angin yang berhembus kencang pun tiba – tiba saja menghilang seolah tidak pernah terjadi apa – apa.
“Kakak mainin lagu apa sih? Lagunya sedih.”, tanya Alicia seraya mengelap air mata dengan tangannya.
“Dido’s Lament. Henry Purcell.”
“Lagu klasik, ya?”
“Ya.”
“d**a aku sesak waktu denger suara piano Kakak. Itu lagu sedih, ya?”
“Ya.”
“Oh ya Kak, nama pacar Kakak siapa?”
“Alicia.”
“Ya?”
“Alicia. Namanya Alicia.”, jawab Alvaro tanpa menoleh pada gadis belia yang bertanya padanya.
“Wah, namanya sama kayak nama aku. Kak Alicia tinggal di mana?”
“Di sini.”
“Kok aku gak pernah lihat? Kak Alicia selalu dapet shift pagi, ya?”
“Dia kecelakaan.”
Alicia ternganga. Pantas saja permainan piano Alvaro tadi terasa begitu menyayat hati.
“Apa? Kok Kakak gak jenguk?”
Alvaro terdiam sejenak. “Gak sempat.”
“Kenapa gak sempat?”
Alvaro menoleh menatap Alicia dengan tatapan tajam mata merahnya. Alicia terkejut dan merasa takut melihat tatapan mata merah itu.
“Kak, mata Kakak merah.”
“Ya.”
Suara dering bel sekolah pun menyelamatkan Alicia dari suasana tegang itu.
“Kak, aku balik ke sekolah dulu, ya. Maaf ya Kak kalau aku tadi buat Kakak sedih.”
Tanpa menunggu jawaban dari Alvaro, Alicia segera bergegas keluar dari rumah angker itu. Perlahan, ia membuka pintu gerbang yang kokoh yang tidak seorangpun berani untuk membukanya. Kalau ada yang berani melangkah masuk ke dalamnya, sudah dapat dipastikan orang itu akan trauma seumur hidup, tetapi tidak dengan Alicia.
“Eh, itu kan Cia.”, ujar Lintang.
“Wah, iya. Ngapain dia di rumah angker itu?”, ujar Yuda.
“Eh, kita kerjain, yuk.”, ujar Laura.
***
Alicia berjalan memasuki area gedung sekolahnya. Ia berpapasan dengan seorang anak laki – laki bersama ibunya yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. Anak laki – laki itu memakai kaos biru tua, jaket dan celana jeans hitam. Pandangan mata mereka saling bertemu dan anak laki – laki itu pun tersenyum pada Alicia. Alicia mematung sejenak. Sebelumnya, tidak ada anak laki – laki di sekolahnya yang mau tersenyum atau berbicara padanya karena takut diejek dan ditertawakan oleh satu sekolah jika ia nekat berbicara pada Alicia. Anak laki – laki itu pun mengernyitkan dahinya karena Alicia terlihat terkejut melihatnya. Apa dia seaneh itu sampai gadis di hadapannya itu seperti melihat hantu di depannya? Namun, Alicia mulai tersenyum ketika ibu dari anak laki – laki itu tersenyum padanya.
Sebelum memasuki ruang kelasnya, Alicia menyempatkan diri mampir ke toilet. Saat sudah menyelesaikan kegiatannya, Alicia membuka pintu bilik wc yang ia pakai. Kening Alicia berkerut. Pintu bilik wc yang ia pakai itu tidak bisa terbuka.
“Aliciaaa~~~”
Sebuah suara dari seorang murid perempuan yang sengaja diseram – seramkan menggema di sepenjuru toilet khusus murid perempuan. Tiga orang temannya berusaha menahan tawanya saat mendengar Ranti bersuara menyeramkan seperti itu.
“Ya?”, ujar Alicia ragu – ragu.
“Akuuu~~~ hantu rumah kosong yang kau masuki~~~ hihihi~~~”
Alicia pun menyadari suara jelek itu berasal dari Ranti yang suka mem-bully-nya.
“Buka pintunya!”
Suara cekikikan Laura, Dina dan Olivia pun mulai terdengar.
“Alicia~~~ aku akan membunuhmu~~~ hihihihi~~~~”
Alicia mulai menggedor – gedor pintu bilik wc yang ditempatinya. “Buka pintunya.”
Ranti, Laura, Dina dan Olivia pun segera berlari menuju ruang kelas mereka. Sementara itu, di dalam bilik wc yang digunakannya tadi, Alicia mulai menangis. Jam pelajaran pasti sudah dimulai. Dan entah sampai kapan ia harus terkurung di dalam toilet.
***
“Ma, Fandy mau ke toilet.”
“Ya udah. Mama tunggu di sini. Jangan lama – lama, ya.”
“Ya, Ma.”
Fandy, seorang anak laki – laki yang tadi berpapasan dengan Alicia pun celingak – celinguk mencari toilet khusus murid laki – laki di gedung sekolah yang akan menjadi sekolah barunya mulai minggu depan. Langkah kakinya terhenti saat mendengar suara seorang murid perempuan dari dalam toilet khusus murid perempuan yang berteriak meminta tolong.
“Tolooong!!! Buka pintunya!!!”
“Hei, ada orang di dalam?”, ujar Fandy dari luar pintu masuk toilet sebab ia tidak berani memasukinya. Ia khawatir akan ada yang memergokinya memasuki toilet khusus murid perempuan itu.
Alicia bagai mendengar suara malaikat penolong yang akan segera menolongnya.
“Iya, tolong. Ada yang kunci pintu toilet dari luar.”, jawab Alicia.
“Oke. Sebentar, ya.”
Fandy mengambil ponsel dari dalam saku jaket dan segera menelepon ibunya.
“Ya, Fan?”
“Ma, ke toilet cewek dong.”
“Hah? Apa – apaan deh kamu!”, protes ibunya.
“Ada orang yang terkunci di dalam toilet. Tolongin dong, Ma.”
“Ya udah, tunggu di luar toilet. Jangan masuk.”
“Ya, Ma.”
Marsha, ibu Fandy, bergegas menghampiri Fandy yang menunggunya di depan pintu toilet khusus murid perempuan.
“Sebentar, ya. Jangan nangis. Gue di sini, kok.”, ujar Fandy untuk menenangkan gadis yang sedang menangis di dalam toilet.
Marsha tiba di depan toilet khusus murid perempuan itu dan Fandy pun menghela nafas lega. Ia langsung saja meminta sang ibu untuk masuk ke dalam toilet dan menyelamatkan orang yang terjebak di sana. Marsha menghela nafas dan geleng – geleng kepala saat melihat adanya tali rafia yang terikat pada salah satu gagang pintu bilik wc dan dikaitkan pada salah satu paku yang dipakai untuk menggantung tanaman buatan sebagai penghias toilet. Ia melepaskan ikatan tali rafia, lalu Alicia keluar dari dalam bilik wc itu. Mereka sama – sama terkejut saat memandangi wajah satu sama lain sebab mereka baru saja berpapasan di depan ruang kerja kepala sekolah beberapa menit lalu.
“Ayo, kita keluar.”, ujar Marsha seraya tersenyum.
Mereka pun melangkah keluar dari dalam toilet. Fandy terkejut saat melihat ibunya keluar dari dalam toilet bersama gadis yang baru saja berpapasan dengannya setelah ia keluar dari dalam ruang kerja kepala sekolah.
“Terima kasih, ya.”, ujar Alicia.
“Sama – sama, Sayang. Nama kamu siapa?”, tanya Marsha.
“Alicia.”
“Alicia, kenalin, ini anak Tante, namanya Fandy. Mulai minggu depan Fandy sekolah di sini juga.”
“Oh, hai.”, sapa Alicia pada Fandy.
“Hai.”, balas Fandy.
“Nah Alicia, Tante sama Fandy pulang dulu, ya. Kamu masuk kelas gih. Jam pelajarannya udah mulai lho. Oh ya, nanti kamu harus lapor ke guru, ya. Kasih tau guru kamu siapa yang sudah jahatin kamu.”, ujar Masrha lagi.
“I.. iyaa..”, balas Alicia ragu – ragu sebab ia yakin percuma saja melaporkan kenakalan empat gadis itu pada guru. Kalau pun nantinya guru menghukum perbuatan jahat mereka, pada akhirnya mereka akan membalas dendam yang lebih parah lagi pada Alicia.
***
Alicia mengetuk pintu ruang kelasnya, lalu memasukinya setelah guru mempersilahkannya untuk masuk.
“Alicia, kamu dari mana? Kenapa baru datang?”, tanya Tya, guru mata pelajaran Biologi yang juga merupakan wali kelasnya.
“Tadi saya dari toilet.”, Alicia menjeda ucapannya karena teringat pesan Marsha. “Ada yang ngunciin saya di toilet.”
“Apa? Siapa?”
“Gak tau, Bu. Orangnya pura – pura jadi setan, terus ngunciin saya dari luar.”
“Ya udah, nanti Ibu lihat di CCTV.”
Ranti ternganga dan empat sekawan itu saling memandang satu sama lain setelah ibu Tya menyatakan bahwa ia akan mencari siapa pelaku yang telah mengurung Alicia di dalam kamar mandi.
***
Saat ini, Fandy dan Marsha sedang dalam perjalanan kembali ke rumah mereka di daerah Pulomas, Jakarta Timur. Hari Minggu besok rencananya mereka akan mulai menempati rumah baru mereka di kawasan Jakarta Selatan. Randy, ayah Fandy, mendapatkan mandat dari orang tuanya untuk mengelola rumah sakit peninggalan mereka yang berada di kawasan Jakarta Selatan sebab sang kakak, Denny, tidak mau mengurusi rumah sakit itu. Ia sibuk mengurusi biro arsitekturnya. Dari dulu memang Denny tidak mau menjadi dokter, bahkan untuk mengelola rumah sakit saja ia tidak mau. Terpaksalah Randy mengalah.
“Ma, kayaknya anak cewek tadi di-bully sama temen – temen sekolahnya deh.”, ujar Fandy saat mereka melintasi daerah Cawang.
“Iya, Fan. Fandy gak boleh jahat sama siapa pun, ya. Ingat, kamu mau jadi dokter. Dokter itu menolong siapa pun tanpa pandang bulu. Kalau kamu jahat sama orang, gimana bisa punya jiwa penolong?”
“Iya, Ma.”
***
Alicia berbaring di atas ranjang dan memejamkan matanya bersiap untuk tidur setelah lelah mengerjakan PR sekolahnya yang menumpuk. Namun, sebuah panggilan telepon mengusiknya. Ia mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja belajarnya. Ia mengerutkan dahi saat melihat nomor ponsel yang tidak dikenalinya itu. Ia menghela nafasnya. Ia berpikir bahwa panggilan telepon itu hanyalah panggilan telepon iseng dari teman – teman sekolahnya yang sering mem-bully-nya. Kembali diletakkkannya telepon itu di atas meja belajar, namun panggilan telepon itu tidak juga berhenti. Alicia merasa aneh sebab panggilan telepon akan berakhir jika si penerima telepon tak jua menjawab panggilan itu dalam beberapa menit. Merasa kesal, ia mengambil ponselnya kembali dan menjawab panggilan telepon itu.
“Halo.”
“Alicia.”
“Kak Alvaro?”, pekik Alicia begitu mengenali siapa pemilik suara serak dan berat itu.
“Ya. Kamu dijahatin lagi ya sama temen kamu?”
“Kakak tau dari mana?”
“Aku tadi lihat kamu di sekolah.”
“Kakak ke sekolah aku?”
“Kamu gak perlu sedih.”
“Iya, Kak. Makasih.”
“Tidurlah. Istirahat. Kamu sudah lelah.”
“Iya, selamat tidur juga ya, Kak.”
“Ya, selamat bermimpi indah.”
‘Aku akan memberikanmu mimpi yang indah, Alicia.’, ujar sesosok tak kasat mata yang berada di sudut ruang kamar tidur Alicia.
Saat Alicia akan memutus sambungan telepon itu, ia teringat sesuatu. “Kak Varo, dari mana Kakak tau nomor hp aku?”
***