Di dalam mobil yang melaju meninggalkan halaman rumah, suasana terasa tegang. Mita duduk di kursi penumpang dengan tangan bersilang di d**a dan wajah yang terlihat kesal. Wisnu yang sedang menyetir hanya bisa terdiam, menyadari bahwa situasi ini akan memunculkan konflik baru.
“Mas, aku nggak habis pikir,” ujar Mita akhirnya, memecah keheningan. Suaranya penuh emosi. “Kenapa Mas nggak tegas sama Kak Linda? Ini rumah Mas juga, kan? Kok malah Mas yang nurut sama dia?”
Wisnu menghela napas berat. “Mita, aku cuma nggak mau memperkeruh keadaan. Linda sudah banyak berkorban untuk kita, dan aku nggak mau hubungan kita jadi lebih buruk.”
Mita langsung menatap Wisnu dengan sorot mata tajam. “Berarti, aku ini nggak penting buat Mas? Mas lebih milih jaga perasaan Kak Linda daripada istri baru Mas sendiri? Apa Mas nggak sadar kalau dia sengaja mau menjauhkan kita dari sini?”
“Mita, itu nggak benar,” jawab Wisnu dengan nada tegas, meskipun ia mencoba tetap tenang. “Linda hanya mencoba menjaga kedamaian. Aku nggak mau kita terus-terusan berkonflik. Pindah ke rumah baru sementara waktu itu bukan akhir dunia.”
Namun, Mita tidak puas dengan jawaban itu. “Bukan akhir dunia? Mas nggak lihat apa yang dia lakukan? Dia sengaja bikin aku merasa nggak diterima. Kalau Mas tegas dari awal, dia nggak bakal berani kayak gitu!”
Wisnu menghentikan mobil di pinggir jalan dan menatap Mita dengan serius. “Dengar, Mita. Aku tahu ini sulit buat kamu, tapi aku nggak mau pernikahan ini dimulai dengan pertengkaran tanpa akhir. Aku akan bicara lagi dengan Linda kalau memang perlu, tapi untuk sekarang, kita harus kompromi.”
Mita mendengus, memalingkan wajah ke arah jendela. “Selalu kompromi, kompromi, kompromi. Mas itu suami aku, tapi kenapa aku merasa lebih seperti tamu di hidup Mas?”
Wisnu menatapnya sebentar, hatinya berat mendengar ucapan Mita. Ia kembali menghidupkan mesin mobil, melanjutkan perjalanan. Dalam diam, ia bertanya-tanya apakah keputusan yang diambilnya benar atau hanya menunda masalah yang lebih besar.
“Mita,” katanya pelan, memecah keheningan. “Aku akan mencari rumah kontrakan untukmu. Aku nggak ingin kamu merasa nggak nyaman.”
Namun, Mita segera menggelengkan kepalanya. “Enggak perlu, Mas,” jawabnya dengan nada tegas. “Kita nggak perlu repot-repot mencari kontrakan. Aku punya ide yang lebih baik.”
Wisnu mengerutkan kening, menatap istrinya dengan bingung. “Apa maksudmu?”
Mita tersenyum kecil, meski nada suaranya terdengar penuh perhitungan. “Kenapa kita nggak tinggal di rumah Ibu saja? Rumah itu cukup besar. Lagipula, Ibu pasti akan senang jika kita tinggal di sana. Aku juga bisa lebih sering menemani beliau.”
Wisnu tampak ragu. Ia tahu hubungan antara dirinya dan Aminah, ibu Mita, tidak pernah benar-benar baik sejak awal. Aminah adalah sosok yang keras dan sering mencampuri urusan orang lain, termasuk rumah tangga mereka yang baru berjalan.
“Mita,” Wisnu menarik napas panjang. “Aku rasa itu bukan ide yang bagus. Hubunganku dengan ibumu ... kamu tahu sendiri, nggak begitu baik. Aku nggak ingin menambah masalah baru.”
Mita menatapnya tajam. “Mas, ini bukan hanya soal hubunganmu dengan Ibu. Kita butuh tempat tinggal, dan rumah Ibu adalah solusi terbaik untuk saat ini.”
Wisnu menghela napas, merasa terpojok oleh argumen Mita. Dalam hatinya, ia tahu keputusan ini bisa membawa lebih banyak masalah, tapi ia juga tidak ingin memulai konflik dengan istrinya yang baru.
“Baiklah,” kata Wisnu akhirnya, meski nada suaranya terdengar berat. “Kalau itu maumu, kita akan tinggal di rumah Ibu. Tapi aku harap kamu mengerti, Mita, aku nggak ingin masalah kecil berubah menjadi besar hanya karena ini.”
Mita tersenyum puas. “Jangan khawatir, Mas. Aku yang akan mengatur semuanya.”
Namun, dalam hati Wisnu, ada perasaan tidak nyaman yang sulit diabaikan. Ia tahu, tinggal di rumah Aminah bukanlah solusi ideal, dan entah bagaimana, ia merasa langkah ini hanya akan membawa lebih banyak drama ke dalam hidup mereka.
Mobil Wisnu berhenti di depan rumah Aminah, rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas. Di sana, Aminah sedang menyapu halaman. Ketika matanya menangkap kehadiran Mita dan Wisnu, gerakannya terhenti. Sorot matanya tajam, penuh kebencian yang sulit disembunyikan.
Mita turun lebih dulu dengan wajah penuh percaya diri. Ia berjalan menghampiri ibunya sambil tersenyum, seolah tidak ada ketegangan di antara mereka. “Ibu, kami datang,” ucap Mita dengan nada ceria.
Namun, Aminah tidak merespons. Ia hanya berdiri diam, menatap Mita dan kemudian Wisnu dengan pandangan yang menusuk. Wisnu, yang baru saja turun dari mobil sambil membawa koper, merasa jantungnya berdebar. Ia tahu kehadirannya di tempat ini tidak akan disambut baik.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Aminah akhirnya, suaranya dingin dan penuh penekanan.
Mita tetap tersenyum, meski sedikit kaku. “Kami mau tinggal di sini, Bu. Untuk sementara waktu, sampai kami punya tempat sendiri.”
Aminah meletakkan sapu di tangannya, lalu melipat kedua tangan di d**a. “Tinggal di sini? Kau pikir rumah ini tempat penampungan?”
Mita terkejut dengan reaksi ibunya, tapi ia berusaha tetap tenang. “Bu, aku hanya ingin dekat dengan Ibu.”
Aminah mengalihkan tatapannya ke Wisnu, yang hanya bisa berdiri kaku di tempatnya. “Setuju?” Aminah mendengus sinis. “Setuju karena kau nggak punya pilihan lain, kan?”
Wisnu menghela napas dalam, mencoba menahan diri. “Bu, kami nggak ingin membebani. Kalau keberadaan kami nggak diinginkan, kami bisa pergi.”
Aminah melangkah mendekati Wisnu, pandangannya semakin tajam. “Kau pikir semudah itu? Kau menikahi Mita tanpa kamu sadar kalau kamu sudah menyakiti perasaan Linda, dan sekarang kau mau membawa Mita ke rumahku? Kau pikir aku akan menerima kalian begitu saja?”
Mita maju, mencoba melindungi Wisnu. “Bu, tolong jangan seperti ini. Aku istri Mas Wisnu sekarang, dan kami hanya butuh tempat untuk memulai kehidupan kami.”
Aminah menatap Mita dengan tatapan penuh amarah. “Dan satu lagi, jangan panggil aku Ibu!” bentaknya dengan suara yang menggelegar, membuat Mita terdiam seketika.
Mita menatap Aminah dengan wajah penuh kebingungan. “Bu, kenapa Ibu berkata seperti itu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar.
Aminah melangkah maju, menunjuk Mita dengan jari telunjuknya. “Aku bukan ibumu, Mita! Kau bukan anakku! Jangan pernah lagi memanggilku dengan sebutan itu!”
Ucapan itu menusuk hati Mita seperti pisau tajam. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tetap mencoba menahan diri. Aminah tidak menjawab, hanya berbalik masuk ke dalam rumah, membanting pintu dengan keras.