Bab 8. Awal Kehancuran

958 Kata
Di ruang perawatan rumah sakit yang penuh dengan ketegangan, penghulu bersiap untuk memulai prosesi akad nikah. Wisnu duduk dengan wajah datar, seolah memendam sejuta emosi yang sulit diungkapkan. Di sisi lain, Mita tampak penuh percaya diri, meski senyum tipisnya mengandung kegelisahan yang sulit disembunyikan. Sementara itu, Linda, istri pertama Wisnu sekaligus kakaknya sendiri, duduk di kursi di sudut ruangan dengan tenang. Matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik Mita dan Wisnu. “Sudah siap, Tuan Wisnu?” tanya penghulu dengan nada sopan, namun ada sedikit keraguan di matanya melihat situasi yang terasa janggal. Wisnu tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang dan menatap Linda, yang hanya mengangguk kecil tanpa ekspresi. Tatapan itu seolah meminta izin atau setidaknya mencari kekuatan. Mita, yang mengenakan gaun sederhana tapi anggun, menyela, “Penghulu, kami sudah siap. Saya rasa tidak perlu menunda lagi.” Suaranya terdengar mantap, tetapi tangannya gemetar saat merapikan rambutnya. Di dekatnya, seorang pria yang menjadi saksi, sahabat dekat Wisnu, terlihat gelisah. Ia memandang Wisnu dengan sorot mata penuh tanya, seolah meminta kejelasan atas keputusan besar ini. Linda akhirnya bersuara, “Jika sudah siap, mari kita mulai.” Ucapannya tenang, tetapi ada tekanan dalam setiap katanya, membuat suasana semakin mencekam. Penghulu memulai prosesi dengan membaca doa pembuka, namun perhatian semua orang terpusat pada Wisnu. Pria itu terlihat seperti berada di antara dua jurang, namun kali ini, ia tidak memiliki pilihan selain melangkah. Di dalam hati, ia bertanya-tanya, “Benarkah ini akhir yang harus kuterima?” Setelah ijab kabul diucapkan, suasana di ruangan itu menjadi begitu hening. Wisnu dan Mita kini resmi menjadi suami istri. Wajah Mita dipenuhi kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Ia tersenyum, meski sesekali matanya melirik ke arah Linda, seolah mencari reaksi dari wanita yang selama ini menjadi penghalangnya. Linda duduk dengan wajah yang tetap tenang. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia tidak menangis. Tatapan matanya kosong, seperti memandang sesuatu yang jauh di luar jangkauan. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan hatinya yang terasa berat. “Selamat, Mas,” ucap Linda dengan suara yang lembut, tetapi terdengar dingin. Ia berdiri dari kursinya, menghampiri Wisnu dan Mita yang kini menjadi pasangan resmi. “Aku berharap kalian bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang damai.” Wisnu tidak menjawab. Matanya bertemu dengan tatapan Linda, tetapi ia hanya diam. Sorot matanya menunjukkan penyesalan yang mendalam, tetapi semuanya sudah terlambat. Mita, dengan penuh percaya diri, menggenggam tangan Linda. “Terima kasih, Mbak. Aku janji akan menjaga Mas Wisnu dengan baik,” katanya, seolah ingin menegaskan posisinya. Linda hanya tersenyum tipis, lalu melepaskan genggaman Mita dengan perlahan. “Jaga dia dengan baik, karena perjalananmu nggak akan semudah yang kau bayangkan.” Setelah itu, Linda melangkah keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang. Air matanya akhirnya jatuh saat ia berjalan melewati koridor rumah sakit. Di dalam hatinya, ia hanya bisa bertanya-tanya, “Seberapa banyak lagi yang harus aku korbankan demi kebahagiaan orang lain?” *** "Linda," panggil Wisnu dengan nada penasaran. "Apa ini? Kau mau pergi ke mana?" Linda tersenyum tipis, seolah sudah mempersiapkan jawabannya sejak lama. “Aku nggak pergi ke mana-mana, Mas. Tapi koper-koper ini berisi bajumu dan Mita.” Mita, yang baru saja keluar dari mobil, langsung menatap Linda dengan ekspresi bingung. “Untuk kami? Maksud Mbak apa?” tanyanya dengan suara yang terdengar gugup. Linda menghela napas panjang sebelum menjawab. “Mulai hari ini, kalian berdua keluar dari rumah ini. Carilah rumah yang cukup nyaman dan lebih cocok untuk kalian berdua memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri.” Wisnu tercengang. “Linda, kenapa? Ini rumah kita. Kau nggak bisa melakukan ini.” Namun, Linda tetap tenang. “Ini bukan soal bisa atau tidak, Mas. Aku hanya nggak bisa hidup dalam satu atap dengan gundikmu ini.” Mita mencoba menyela, “Apa maksudmu, Mbak! Kamu pikir aku wanita murahan.” Mita tidak terima dengan ucapan Linda. Linda memotong dengan suara yang lebih tegas, namun tetap lembut. “Sekarang aku tanya padamu, sebutan apa yang pantas bagi perempuan yang sudah merebut suami orang.” “Tutup mulutmu, Mbak. Aku ….” Wisnu menyela sambil langsung memegang tangan Mita. “Cukup, Mita.” “Tapi, Mas –” Wisnu hanya bisa berdiri diam, sementara Mita tampak tidak nyaman dengan situasi ini. Baginya, kemenangan yang ia rasakan terasa tidak utuh. Mita dengan cepat meraih tangan Wisnu dan memeluknya erat, seolah mencari perlindungan. Wajahnya memancarkan kekhawatiran dan kebingungan yang mendalam. “Mas, gimana ini? Mbak Linda serius mau mengusir kita?” tanyanya dengan nada panik. Wisnu tetap berdiri di tempatnya, matanya masih tertuju pada pintu rumah yang baru saja ditutup oleh Linda. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadanya. “Mita, sudahlah. Lebih baik kita pergi dari sini.” “Tapi, Mas,” Mita memotong, suaranya melemah. “Ini rumahmu. Aku nggak mau pindah. Kenapa Mbak Linda yang memutuskan semuanya? Bukankah sekarang aku juga istri mu?” Wisnu menundukkan kepala, menatap Mita yang tampak semakin gelisah. “Mita, aku tahu ini sulit, tapi Linda sudah banyak mengalah. Kalau dia merasa ini yang terbaik, kita harus menghormatinya.” Air mata mulai menggenang di mata Mita. “Mas, aku nggak nyaman seperti ini. Rasanya kayak aku nggak diterima di sini. Mbak Linda … dia pasti sengaja membuat aku merasa seperti ini, kan?” Wisnu menatapnya dengan sorot mata lelah. “Bukan begitu, Mita. Linda hanya mencoba menjaga kedamaian. Aku tahu kamu merasa nggak enak, tapi ini bukan saatnya untuk memperumit keadaan.” Namun, Mita tidak menyerah. Ia semakin erat memeluk tangan Wisnu. “Mas, aku nggak mau pergi. Aku pengen tinggal di sini sama Mas. Kalau kita pindah, apa jaminannya Mbak Linda nggak akan menguasai semuanya?” Tanpa menjawab pertanyaan Mita, Wisnu segera berjalan ke arah mobilnya sambil membawa koper yang sudah disiapkan Linda. Sementara itu, Mita masih menatap Linda dengan tatapan tidak terima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN