Pagi-pagi sekali Venus sudah berkutat di dapur, sehingga membuat beberapa pembantunya geleng-geleng karena melihat aksinya yang tidak biasa.
Memang sih sesekali Venus memasak, namun tidak sepagi ini. Sekarang masih jam lima pagi, namun dapur sudah berantakan dengan berbagai kupasan kulit bawang, kulit telur dan beberapa pongkol sayuran.
Venus merebus udang sebentar ketika warnanya sudah terlihat agak berubah, udang tersebut langsung dimasukkan kedalam nasi goreng yang lebih terlihat seperti capcay karena banyak sayuran di dalamnya.
Aroma harum menyeruak seketika sampai ke penciuman susan yang baru saja menapakkan kaki di pintu rumah Venus. Susan bahkan mengernyit heran, siapakah yang sedang memasak sepagi ini?
Penasarannya terjawab ketika melihat sosok Venus yang telah berdandan cantik namun masih mengenakan celemek depan tubuhnya.
Celemek bergambar bunga-bunga dengan renda berwarna pink cerah. Sementara rambut Venus dikuncir tinggi. Dan beberapa butir keringat menetes dari keningnya.
“Sudah berapa lama dia disini?” tanya Susan pada salah seorang pembantu Venus
“Satu jam lebih mba Susan,”
“Haii Susan, tunggu sebentar yaa, udahfinishing nih,” Venus melambaikan tangannya yang masih memegang spatula ke arah Susan. Wanita itu hanya tersenyum canggung dan memilih untuk mencoret-coret agendanya. Mengatur jadwal Venus untuk beberapa hari kedepan.
Venus mengambil sebuah tupperware berwarna biru laut dan memasukkan nasi goreng itu ke dalamnya, tak lupa dia menghias dengan beberapa sayuran rebus diatasnya. Setelah dirasa sempurna, dia menutup tuppy itu dan mendekapnya penuh cinta.
“Yuk cuss,” ucap Venus sambil memasukkan bekal ke sebuah paper bag, tangan sebelahnya menenteng tas kulit yang terlihat mahal.
Diapun menyemprotkan parfum, Mengusir bau-bauan bumbu yang tadi sempat menyergapnya. Mereka kini dalam perjalanan ke RanTV untuk menghadiri acara Hits.
Berkali-kali Venus merapikan rambutnya dan memoles bibir dengan pelembab. Matanya menatap pintu kaca di lobby berharap lelaki yang dirindukannya itu datang.
Dia melihat jam di tangannya, masih satu jam lagi menuju Live. Dan para crew Hits sudah banyak yang bersiap-siap.
Akhirnya yang di tunggu tiba juga, Ramon. Berjalan dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Venus langsung melambaikan tangan, sementara Susan yang masih kesal dengan Ramon memilih menjauh dari tempat itu.
Ramon menghentikan langkahnya menatap Venus dari kejauhan, hingga sebuah sosok wanita muncul dari belakang tubuhnya.
Wanita cantik berkulit putih dengan hidung mancung dan bibir yang tipis melongokkan kepala kearah Ramon dengan pandangan penuh tanya. Ramon mengeluarkan tangannya dari saku dan menggenggam tangan wanita itu dengan mesra.
“Karen?” bisik Susan yang tiba-tiba saja sudah ada disamping Venus. Beberapa karyawan langsung berbisik melihat kedekatan Ramon dan Karen.
“Dia siapa?” Venus bertanya pada Susan namun tak mengalihkan pandangannya pada dua sejoli yang masih bergandengan tangan berjalan di lobby menuju lift.
“Namanya Karen, karyawan RanTV bagian Marketing komunikasi, dia udah lama deketin Ramon. Aku pikir mereka gak jadian, ternyata....” Susan menggantungkan suaranya karena melihat raut muka Venus yang mendadak sedih. Tapi Venus segera membuang nafasnya kencang dan menghampiri Ramon.
“Gw bikinin sarapan ini buat elo, dimakan ya?” Venus menyodorkan paperbag berisi nasi goreng spesial buatannya ke arah Ramon. Lelaki itu memandang Venus sekilas lalu mengalihkan tatapannya ke Karen yang matanya terlihat berbinar.
“Gw gak mau, harusnya elo gak perlu bikinin itu buat gw!” Ramon memasang wajah datar. Dia mengerakkan tangannya yang masih menggenggam tangan Karen, seolah menunjukkan kalau dia sudah ada yang memiliki.
“Tapi ini spesial,” tangan Venus gemetar, matanya sudah mulai berembun.
“Kalo gw bilang enggak ya enggak! ngerti gak sih!!” pintu lift pun terbuka Ramon segera melangkahkan kaki ke dalam, sambil agak menarik paksa tangan Karen, lalu pintu lift itu tertutup meninggalkan Venus dan hatinya yang terluka.
Susan menghampirinya dengan wajah yang terlihat marah. Dia menurunkan tangan Venus yang masih mengangkat tinggi paper bagnya, karena beberapa orang mulai memperhatikannya. Venus memaksakan diri untuk tersenyum. Lalu pintu lift sebelahnya terbuka. Susan menghela Venus untuk memasuki lift itu menuju ruang make up artis.
Venus tak kuasa menahan tangisnya ketika dia membuka box makanan itu, dia telah menyiapkan ini dari malam sebelumnya, membeli bahan makanan dengan semangat yang tinggi karena yakin Ramon akan menyukainya, namun dia bahkan tak menyentuhnya hanya menolaknya begitu saja.
Sesendok penuh nasi itu dijejalkan ke dalam mulutnya, masih sambil terisak. Venus memaksakan diri memakan masakannya sendiri.
“Venus, stop it!” Susan mencoba menghentikan tangan Venus yang terus menjejalkan nasi kedalam mulutnya yang sudah penuh. Tangis Venus pecah.
Teringat sepuluh tahun lalu, seminggu setelah kematian mamanya. Melihat papanya yang mengurung diri di kamar, membuat Venus remaja berinisiatif membuatkan nasi goreng persis dengan yang dia buat sekarang.
Nasi goreng itu adalah makanan kesukaan papa, dengan udang besar dantopping sayuran diatasnya.
Aroma masakan yang sama persis dengan buatan istrinya, membuat papa keluar dari kamar dan memastikan siapa yang memasak di dapur.
Venus dengan mata sembab mencoba tersenyum dan menyodorkan nasi goreng itu ke d**a papa.
“Aku masak makanan kesukaan papa, papa makan ya!”
“Harusnya kamu gak perlu bikin itu untuk papa,”
“Tapi papa belum makan, sesuap aja, ayo paa AAaa,” Venus menyendok makanan itu dan berniat menyuapkannya ke papa, namun papa menepisnya hingga sendok jatuh dan nasinya berhamburan. Venus menatap sedih pada makanan yang susah payah dibuatnya.
“Papa gak mau, kamu harus sadar kamu siapa Venus! Kamu hanya anak angkat! Ngerti kamu!” papa pun melenggangkan kaki menuju kamarnya dan membanting pintu dengan kasar. Venus memegangi dadanya yang sakit. Tangannya gemetar meletakkan piring itu di meja. Diapun menjatuhkan diri ke lantai mengusap airmatanya dan terisak. Untuk pertama kalinya semenjak dia menapakkan kaki dirumah ini. Papa berteriak kepadanya.
Dan setelah itu sikap papa menjadi dingin seolah Venus memang tak diinginkan.
“Klo aja mama gak pesen untuk jangan pernah ninggalin papa, mungkin udah dari dulu aku balik ke bu Reni San, huhuhuu.” Susan mengusap bahu Venus yang bergetar.
Venus memang sedih karena sikap Ramon kepadanya, tapi menyadari bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Ramon sama persis dengan papa sepuluh tahun lalu, membuat hatinya menjadi sakit berkali-kali lipat.
“Ssst jangan kenceng-kenceng nangisnya, nanti orang-orang tahu kalau...”
“Kalau aku Cuma anak angkat? Apa yang salah dengan anak angkat San, jawab? Apa karena aku anak angkat lalu aku gak berhak mendapatkan kasih sayang?” Venus semakin terisak, mengapa dia mengalami hal yang buruk seperti ini. Kalau boleh memilih, dia juga ingin lahir dalam keluarga yang utuh, mempunyai orang tua yang sangat menyayanginya.
Seorang pengarah acara masuk ke ruangmake up dan memberi instruksi kalau sebentar lagi waktunya on air. Susan mengangguk. Dirapihkannya rambut Venus yang sedikit basah. Dengan lembut diseka air mata Venus. Diapun mengeluarkan kacamata hitam dan memakaikannya di Venus.
Venus tersenyum, meskipun semburat wajahnya masih menampakkan kesedihan.
“Kamu tahu San, kamu itu lebih seperti kakak aku dibanding assisten atau manajer aku, makasih yaa udah ada disaat tersedih aku.” Susan mengangguk canggung. Sepeninggalnya Venus dia menunduk. Tangannya mengepal.
“Maafin gw Venus, maafin sepupu gw yang kurang ajar itu!” geramnya.
***
Selama tiga hari ini Venus absen mengisi acara hits karena dia ingin menstabilkan perasaannya dahulu, diapun tidak mengisi acara dimana-mana. Yang ia lakukan hanyalah mengurung diri di kamar.
Terkadang dia berenang, meredakan tangisnya. Terkadang seharian dia hanya berguling-guling di kasur. Memeluk beberapa bonekanya atau mendengarkan radio dengan speaker super besar. Hanya agar tidak ketinggalan berita.
Meski hanya co-host namun dia dituntut untuk berwawasan luas mengenai informasi terupdate yang sedang terjadi saat ini.
Makan pun dilakukannya hanya sesekali. Dia benar-benar istirahat total. Dan selama tiga hari itu pula dia tidak bertegur sapa dengan papa. Seolah memang dia menarik diri dari dunia luar.
Handphonenya berdering, dengan malas dia menatap handphone itu matanya mengerjap beberapa kali ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah bu Reni, pemilik panti asuhan.
Venus terlihat menggigit bibir bawahnya dan mengangguk paham. Diapun bergegas pergi ke tempat bu Reni berada.
Dengan tergesa Venus melewati lorong rumah sakit. Mencari nomor kamar yang dituju. Ketika menemukannya dia segera memasuki ruangan kelas dua tersebut. Terlihat bu Reni yang duduk di sebelah ranjang, dimana terdapat salah satu anak panti yang tertidur di ranjang itu.
“Chubby kenapa bu?” Venus segera mengecup punggung tangan bu Reni.
“Kejang nak, tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Mungkin nanti malam juga sudah boleh pulang.” Bu Reni memegang tangan anak kecil di ranjang itu yang terlihat pulas. Venus mengusap kening Chubby dan menciumnya.
Menyesapi setiap aroma dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Yang dengan teganya dibuang oleh orang tuanya.
“Aku urus administrasi dulu ya bu.” Venus segera meninggalkan bu Reni dan menuju loket administrasi.
Beberapa perawat saling berbisik dan melemparkan tatapan kagum akan kecantikan wanita di hadapannya. Venus hanya menanggapinya dengan tersenyum. Sudah biasa dia diperlakukan spesial seperti ini.
Setelah menyelesaikan urusan administrasi. Venus pun kembali keruang rawat. Dia berpapasan dengan seorang wanita setengah baya yang ingin masuk ke ruangan kelas dua tersebut. Dengan sopan Venus mempersilahkan wanita itu masuk duluan.
Tatapan wanita itu terlihat beda. Seperti penuh rasa bersalah atau apa? Venus hanya mengedikkan bahu. Wanita itu membuka gorden yang membatasi ranjang Chubby dan pasien satunya lagi yang mungkin anaknya.
Agak penasaran, Venus melongokkan kepala melihat pasien lain diruangan itu. Pasien yang ternyata juga seorang anak-anak dengan perban melingkari matanya. Venus pun menghampiri ranjang itu. Membuat wanita tadi cukup terkejut.
Bu Reni yang ada disitu, ikut menghampiri Venus.
“Anaknya kenapa bu?” tanya Bu Reni basa basi.
Dengan sungkan wanita itu menjawab, “Habis operasi Mata bu.” Venus hanya membulatkan mulutnya meski dia agak heran dengan raut dari ibu anak itu yang terlihat tidak biasa setiap kali pandangan mereka berdua bertemu.
Tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi menyingkap tirai tersebut, menyodorkan bungkusan ke arah wanita tadi.
“Ini Bun, bubur ayamnya. Maaf terlambat tadi kena macet.”
“Ramon.” Ucap Venus dan ibu tadi bersamaan meski dengan intonasi berbeda.
Ramon mengangkat wajahnya dan menyadari bahwa di hadapannya telah berdiri Venus. Sementara Venus masih menganga tak percaya bahwa lelaki yang ingin dihindarinya selama tiga hari ini justru kini berada di depannya.
***