Ramon menjalankan tangannya mengusap paha Venus, lalu dia mendekati wajahnya ke wajah Venus. Mengecup bibirnya dengan lembut.
Dan Venus memejamkan mata, menikmati setiap belaian yang diberikan Ramon. Sementara bibir nya membuka dan membalas ciuman itu, panas dan dalam.
Bibir ramon beralih ke leher jenjang Venus, menciumi setiap inci lehernya, membuat udara yang semula sejuk itu mendadak menjadi panas.
Tangannya mulai membuka kancing kemeja Venus satu persatu. Venus terkesiap. Digenggamnya ujung kemeja dan sesekali memilinnya. Mencoba meredam gemetar dari tangannya.
Ramon yang menyadari Venus menegang. Langsung menghentikan aksinya dan menjauhi wajahnya. Dia menatap Venus yang masih memejamkan mata. Tangannya beralih ke dagu Venus dan mengangkatnya.
Venus mengerjap, sadar bahwa Ramon telah beralih. Dia pun membuka matanya. Lama mereka bertatapan. Ramon dengan pandangan tak percaya. Sementara Venus dengan pandangan penuh pertanyaan.
“Kenapa?” Venus mencoba mencari kejelasan. Apakah ada yang salah?
“Jujur sama gw, lo belum pernah lakuin ini?” Ramon menatap tajam ke mata Venus, berusaha mencari kebohongan dari mata indah itu.
“U..udah koq!” Venus terbata ditatap seperti itu oleh pria dihadapannya. Pria yang sangat dicintai dan dirindukannya.
“Jangan bohong!” Venus memutar bola mata dan menggigit bibirnya.
“Bodoh! Simpan itu buat suami lo nanti!” Ramon terlihat marah, diapun berdiri hendak meninggalkan Venus. Tapi langkahnya terhenti, tanpa membalikkan tubuhnya dia berkata, “Kita batalin aja perjanjiannya, lo gak usah bayar sisanya ke gw, dan duit dari lo bakalan gw ganti!”
“Ramon!” teriak Venus putus asa, dia langsung berlari menarik tangan Ramon.
“Jangan tinggalin gw! Gw bakal bayar lo meskipun kita gak lakuin itu, gw tau lo butuh uang. Meskipun gw gak tau uangnya buat apa! Tapi please, temenin gw disini!” suara Venus bergetar, sekuat tenaga dia menahan airmatanya. Yang ternyata tumpah juga.
Ramon ragu, dia sangat membutuhkan uang itu, tapi dia juga tak mau mengotori wanita ini. Mungkin tak masalah, jika saja wanita ini sudah pernah melakukan hal itu. Tapi ini merupakan masalah besar, ketika seorang wanita yang pasti dengan susah payah mempertahankan keperawanannya namun justru dirusaknya. Malah membayar mahal pula.
Ramon berbalik, dilepaskan pegangan tangan Venus dengan pelan.
“Gw gak mau ngotorin elo!” Ramon memegang bahu Venus yang mulai bergerak terisak. Lalu jemarinya beralih mengusar air mata yang mulai membasahi pipi Venus.
“Bisa deket sama lo aja gw udah seneng koq! Jangan batalin perjanjian kita, ya!” Ramon mengangguk, digandengnya Venus ke tempat tidur. Lalu dia mematikan lampu, ruangan itu kini hanya terpapar cahaya dari luar, cahaya bulan purnama yang menembus melalui jendela kamar.
“Hadap sana!” Perintah Ramon, menyuruh Venus memiringkan tubuhnya membelakangi Ramon. Dan lelaki itu segera melingkarkan tangannya dari belakang. Memeluk Venus yang tiba-tiba merasa sangat nyaman dengan keadaan ini.
Mereka saling diam, Ramon menepuk lengan Venus seolah menina bobokannya. Dan tak memakan waktu lama, nafas Venus berubah teratur. Dia telah terlelap.
Hal yang sangat jarang dilakukannya. Karena biasanya Venus selalu terserang insomnia dan hanya bisa tidur setelah minum obat tidur yang diresepkan dokter untuknya.
Ramon memastikan Venus telah terlelap dengan menggerakkan tangan di depan wajahnya. Lalu dia mengecup puncak kepala Venus sembari mengetatkan pelukannya. “Gw kangen sama lo...” lalu diapun memejamkan mata. Tertidur.
***
Masa kecil Venus, usia 8 tahun...
Venus kecil berada di Dufan, ancol. Menatap ke sebuah keluarga yang nampak harmonis. Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak laki-laki yang terlihat sebaya dengannya.
Pandangannya tak beralih, meskipun kini anak lelaki itu menghampirinya yang sedang berdiri di samping penjual es krim.
“Kamu lihat apa?” tanya anak lelaki itu. Venus menoleh, wajahnya terangkat karena anak lelaki itu ternyata lebih tinggi darinya. Anak yang mempunyai tatapan tajam seperti elang itu tersenyum.
“Enak ya punya keluarga?” Venus kembali mengalihkan pandangan ke pasangan suami istri itu yang sesekali melambaikan tangan ke anaknya.
“Iya, memangnya kamu kesini sama siapa?”
“Sama mereka, aku tinggal di panti asuhan. Orangtuaku meninggal ketika aku bayi kata ibu Reni.” Tunjuk Venus ke kerumunan orang-orang yang terlihat sedang menikmati bekal makanan. nampak beberapa orang mengenakan almamater universitas. Sepertinya mereka yang membawa rombongan panti itu kesini.
“Kamu mau punya keluarga?” Venus mengangguk. Dan lelaki tadi memejamkan mata, mulutnya bergerak-gerak namun tidak keluar suara.
“Kamu ngapain?” lelaki kecil itu membuka matanya.
“Aku berdoa supaya kamu segera mempunyia keluarga.” Venus pun tersenyum ceria, penjual es krim memberikan dua eskrim pesanan lelaki itu yang salah satunya langsung diberikan ke Venus.
“Makasih yaa atas es krim dan doanya. Nama kamu siapa? Aku Venus.” Venus menyodorkan tangannya. Dan lelaki itu menjabatnya.
“Namanya bagus kayak planet. Nama aku Ramon.” Ramon kecil berlari meninggalkan Venus menuju ke orangtuanya yang sepertinya sudah bersiap-siap akan pergi. Ramon sempat berbalik dan melambaikan tangan ke Venus.
Venus pun membalas lambaian tangan itu. Menjilat es krim cone-nya dengan berselera.
Doa Ramon terkabul. Karena beberapa hari setelah pertemuan itu Venus diangkat anak oleh keluarga kaya raya. Dan dia sangat disayang oleh keluarga itu. Hingga Mama angkatnya meninggal. Lalu Venus seolah sendiri lagi.
Venus mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menutupi mata itu dengan lengan karena sinar mentari yang masuk dari jendela sangat menyilaukannya. Setelah merasa kesadarannya cukup penuh, dia memendarkan pandangan ke sekitar. Mencari keberadaan Ramon, namun dia tahu. Ramon pasti telah pergi.
Venus bangkit, dilihat kemejanya sudah terkancing sampai atas. Lelaki itu ternyata memang tidak melakukan macam-macam pada dirinya.
Wajahnya menoleh ke arah jam dinding, terlihat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Diapun menguap lalu memutuskan untuk tidur lagi, karena hari ini memang jadwalnya kosong. Venus memejamkan mata, tangannya mengusap tempat yang sempat ditiduri Ramon semalam. Seolah lelaki itu masih ada bersamanya.
***
Ramon melangkahkan kaki di koridor rumah sakit, tampak olehnya bunda sedang duduk di depan ruangan yang lampunya menyala.
Disampingnya sudah ada Susan yang sebenarnya adalah sepupunya. Ya hanya Venus yang tidak mengetahui bahwa Susan adalah sepupu Ramon. Itulah yang membuatnya tahu banyak hal mengenai Ramon.
Pagi tadi, Ramon terbangun pukul delapan. Tangannya terasa pegal memeluk Venus semalaman, namun dia tidak tega jika harus membangunkan wanita disampingnya.
Maka dengan perlahan dia menarik tangannya lalu membereskan baju Venus yang nampak terbuka. Sebagai laki-laki normal tentu dia juga mempunyai hasrat terhadap wanita berpakaian seksi di hadapannya. Namun dia tak mau bertindak lebih jauh dan menyesali hal itu nanti.
Maka yang dilakukan hanya mengancingi kemejanya. Dan menarik selimut hingga menutupi leher Venus yang nampak beberapa bercak merah akibat cumbuannya semalam.
Ramon mengelus bercak itu, dia sempat merapikan rambut Venus yang sedikit menutupi wajah cantiknya. Sesaat dia tersenyum lalu mencium kening Venus.“Maaf,” bisiknya.
Dia ingat, sangat ingat wajah itu. Wajah wanita kecil yang menatap penuh iri terhadap keluarganya. Dia mengingat Venus karena namanya yang unik yang selalu mengingatkannya akan sebuah planet dalam tata surya.
Dia mampu mengenalinya ketika sepuluh tahun lalu, tiba-tiba Venus muncul membintangi layar lebar dengan judul “Oh My Venus,” hingga akhirnya dia menjadi fans Venus yang dilakukan secara diam-diam.
Dialah orang yang paling bahagia ketika Susan, sepupunya ternyata diterima menjadi assisten sekaligus manager Venus. Dengan begitu dia akan dapat banyak informasi dari Susan mengenai pujaan hatinya.
Namun dia terpaksa harus pura-pura lupa, karena tak ingin Venus mengingat kembali masa kecilnya tentang panti asuhan. Yang mungkin akan membuatnya sedih kembali.
Karena yang dia tahu saat ini, Venus sudah bahagia dengan keluarganya. Hal yang sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang Venus rasa.
“Jam berapa operasinya dimulai bun?” tanya Ramon sambil mengecup punggung tangan bundanya. Dia pun mengambil duduk di kursi sebelah Bunda.
“Jam tujuh, kata dokter lebih pagi lebih baik. Karena akan menghabiskan waktu lama.” Bunda menatap khawatir pada pintu itu. Dimana terdapat anak laki-lakinya yang sedang bertaruh dalam operasi ini.
“Uang lo udah gw transfer.” Susan membuang muka, tak mau menatap ke sepupunya itu. Ramon paham, karena Susan sebenarnya berharap lebih pada hubungan Venus dan Ramon. Hubungan yang normal, bukan hubungan yang seperti ini.
“Sebenarnya kamu dapat uang sebanyak itu dari mana Ramon?” Bunda menoleh pada Ramon, tangannya menggenggam jemari Ramon, berharap mendapatkan kejujuran dari putra pertamanya itu. Sementara Ramon hanya menunduk.
“Ramon kerja bun,” jawabnya Parau.
“Iya, jadi gigolo!” sentak Susan, suaranya bergetar. Diapun berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu itu.
Bunda terhenyak tak percaya, dia menutup mulutnya. Sehina itukah pekerjaan anaknya? Hanya demi menyelamatkan adiknya.
“Ini gak seperti yang bunda duga, percaya sama Ramon Bun.”.
“Apa ini ada hubungannya dengan Venus, artis itu?” Ramon mengangguk, “Kalau gitu, kejar Susan. Jelaskan yang sebenarnya. Dia saudara sekaligus sahabat kamu dari kecil, jangan sampai dia salah paham nak,” Ramon menepuk tangan bundanya dan bergegas mencari Susan.
Ternyata wanita itu sedang bersandar pada sebuah tembok. Menangis.
Bekerja dengan Venus selama beberapa tahun membuatnya tahu banyak tentang wanita itu. Dia tahu Venus wanita baik-baik tidak seperti artis kebanyakan.
Bahkan selama ini Venus tak pernah mempunyai kekasih. Karena dia selalu berkata ada hal yang harus dia jaga. Hanya untuk suaminya kelak.
Namun dengan mudahnya, sepupunya itu menghancurkannya! Bahkan menerima uang setelah melakukan hal kotor padanya.
Ramon menghela nafas dan ikut bersandar disamping Susan. Susan berdecih jijik.
“Gimana? Enak? Udah puas main-main sama Venus?” sindir Susan.
“Gw gak lakuin seperti yang elo pikirin!”
“Gak mungkin!”
“Gw juga punya prinsip San, gw gak mau ngotorin dia. Lo inget kan tentang cewek kecil yang pernah gw ceritain dulu? Yang ketemu gw di dufan.” Susan menoleh menatap wajah Ramon.
“Ya, dia cewek itu. Venus! Gw udah lama merhatiin dia, gw selalu inget tentang dia, gw selalu suka dia, semenjak dia masih menjadi yatim piatu.” Susan menutup mulutnya tak percaya.
“Elo udah bilang sama dia? Dia pernah cerita kalau dulu ada anak cowok yang doain dia. Dan doanya terkabul. Ternyata cowok itu elo? Elo cinta pertamanya Mon!” mata Susan berbinar.
“Entah dia masih inget gw atau enggak! Entah alasan dia deketin gw selama ini karena kenangan itu atau bukan. Gw tetep gak bakal bersama dia!”
“Kenapa?”
“Gw gak pantes buat dia.” Ramon menghela nafas dan bergerak meninggalkan Susan,
“Trus yang pantes buat dia siapa?! Jangan munafik Mon!” Ramon meneruskan langkahnya. Seolah tak mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Susan.
Venus wanita yang baik. Tidak pantas bersanding dengan pria miskin sepertinya. Dia tahu kalau dia hanya akan menyusahkan Venus nantinya. Dia sadar kalau dia tak akan mampu membahagiakan wanita itu. Terutama dengan pendapatannya yang hanya seorang karyawan biasa.
***