Ramon cukup kaget melihat Venus yang sudah berdiri bersama bunda dan bu Reni di kamar rawat adiknya. Namun dengan cepat dia menutupi kekagetannya dan berpamitan dengan bunda.
Entah disengaja atau tidak dia beralasan kalau hari ini dia sudah janji akan menemani Karen reuni dengan teman sekolahnya.
Bunda terlihat ingin menahannya, namun dia urungkan niatnya. Dia tahu pasti ada alasan kenapa anak lelaki pertamanya itu lebih memilih pergi dari tempat itu. Yang tak lain dan tak bukan karena ada Venus disitu.
Akhirnya bunda mengikuti Ramon keluar kamar, meninggalkan Venus yang penuh tanda tanya. Sementara bu Reni kembali duduk menamani Chubby yang sesekali masih mengigau.
Tatapan Venus beralih ke adik Ramon, lelaki kecil yang terlihat bersandar di atas ranjangnya. Venus tersenyum seolah anak itu bisa melihat wajahnya.
“Hai aku Venus, nama kamu siapa?” Venus menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang itu.
“Kamu Venus, artis itu bukan?” ucapnya sambil menoleh ke arah sumber suara.
“Iya,” Venus menarik tangan anak anak itu yang terlihat gemetar lalu menggenggamnya.
“Aku David,” Venuspun mengangguk.
“Kamu terlihat takut? Ada apa?”
“Hari ini perbanku dibuka, aku takut ka, takut kalau ternyata aku tetap tidak bisa melihat setelah transplantasi mata ini.” Lelaki itu menunduk, Venus tahu bahwa ada banyak kekhawatiran jika melihat raut wajah David yang berubah gusar.
“kamu tahu lagunya Tulus? Mau denger kakak nyanyi lagu itu?” David mengangguk dengan antusias
“Kau bisa patahkan kakiku
Tapi tidak mimpi-mimpiku
Kau bisa lumpuhkan tanganku
Tapi tidak mimpi-mimpiku
Kau bisa merebut senyumku
Tapi sungguh tak akan lama
Kau bisa merobek hatiku
Tapi aku tahu obatnya
Manusia-manusia kuat itu kita
Jiwa-jiwa yang kuat itu kita
Manusia-manusia kuat itu kita Jiwa-jiwa yang kuat itu kita“ di akhir lagu, David ikut bernyanyi. Perasaannya lebih lega sekarang.
“Kamu gak boleh takut, harus yakin dan percaya kalau mata kamu pasti bisa melihat lagi,” Venus mengusap kepala David merapikan rambutnya. Bunda menatap mereka berdua dari kejauhan.
Lalu beberapa dokter dan perawat masuk ke ruangan itu, menyapa Venus sesaat dan mengelilingi David, bersiap untuk membuka perbannya. Venus yang ingin meninggalkan David tercengang, karena anak itu tak mau melepaskan genggaman tangannya.
Bunda membuka mulutnya ingin membujuk David, namun Venus menggeleng, membiarkan tangannya digenggam, mungkin dengan begitu dia bisa menyalurkan kekuatan untuk david.
“Oke David, kamu sudah siap?” tanya seorang dokter senior, terlihat dari rambutnya yang sudah memutih. David mengangguk mantap.
Seorang perawat menggunting perekat perban itu dan mulai membuka lilitan kasa putih di sekitar kepalanya, menyisakan kapas yang menutupi dua mata David.
“Jangan buka mata dulu ya, nanti setelah dapat aba-aba baru kamu buka pelan-pelan.” Kali ini dokter senior itu yang melepaskan perekat di kapas berbentuk segi empat tersebut.
Sesaat Venus merengut, disaat terpenting seperti ini Ramon justru malah meninggalkan adiknya. Seharusnya kan dia yang menemani adiknya disini. Mata bunda mulai berkaca-kaca, tangannya membentuk kepalan di dadanya. Berdoa dengan khusyu.
“Buka pelan-pelan yaa, satu... dua... tiga...” mata David pun terbuka lebar. Dia mengerjap dan menggeleng. Awalnya hitam, lama-kelamaan cahaya putih menyilaukan mulai masuk ke retina matanya. Pupilnya membesar ketika warna keputihan itu mulai memendarkan warna-warna lain sesuai dengan objek yang dapat ditangkapnya.
Pertama dia melihat dokter senior yang memang berdiri di hadapannya, masih agak buram. Diapun mengalihkan ke Bunda yang mulai menetes air matanya. Dan kini pandangannya beralih ke wanita cantik yang menggenggam tangannya dengan keras.
“Bunda, aku bisa lihat lagi bun.” David tersenyum senang, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan belakangan ini. Dia tersenyum. Bunda sangat terenyuh dipeluk anak terakhirnya itu dengan penuh haru.
Lalu bunda menyalami dokter dan perawat satu persatu, mulutnya tak henti menggumamkan terimakasih.
Ketika bunda sampai disamping Venus, dia memeluk wanita itu penuh haru, Venus membalas pelukan itu dengan erat. Sebuah rasa hangat menjalar di relung hatinya.
Rasa hangat yang berbeda dengan pelukan dari yang lainnya. Kali ini dia bahkan merasa seperti dipeluk mama. Tiba-tiba matanya basah, rasa rindu mama tercuat begitu saja. Dia menekan tubuh Bunda dengan cukup kencang. Hingga orang-orang disitu menatap dengan penuh curiga.
Satu yang dia tahu, pasti Ramon menggunakan uang darinya untuk operasi David. Karena kalau tidak, mana mungkin Bunda akan berterimakasih dengannya sampai seperti ini.
***
Hari-hari dijalani Venus seperti biasanya. Bangun tidur pukul empat pagi, lalu bersiap untuk tampil menjadi pembawa acara program Hits sampai pukul sepuluh siang.
Setelah itu biasanya ada jadwal pemotretan dengan beberapa majalah atau syuting iklan. Sore sampai malam ikut program reality show yang dipandunya.
Terkadang show on air. Atau menjadi bintang tamu di program talkshow.
Ramon pun masih bersikap biasa, cuek terhadap Venus. Wanita itu sepertinya mundur selangkah dalam usahanya mendekati Ramon. Karena melihat Karen yang selalu menempel pada Ramon sampai dia selesai syuting.
Venus memandangi layar handphonenya yang menampilkan panggilan seseorang. Dia ingin mengacuhkannya namun merasa tidak enak. Susan melirik penasaran kepada nama penelepon yang membuat artis satu ini terlihat galau.
“Ada apa pa?” Venus akhirnya mengangkat telepon dari papa juga.
“Malam ini temani papa bertemu teman papa ya, kosongkan jadwal. Kita berangkat dari rumah bareng.” Suara papa terdengar tegas dan berat.
“Iya pa,” Venus pun menghela nafas, membuang segala kegusaran hatinya. Mungkin memang papa sudah mulai membuka diri untuk menerimanya kembali.
“Kosongin jadwal aku san, malam ini papa ngajak aku ketemu temennya.” Pandangan mata Venus mengarah ke jalanan dari samping jendela mobilnya.
“Tumben? Ada apa?” Susan menatap Venus dengan pandangan penuh tanya. Sementara venus hanya mengedikkan bahunya, tidak tahu. Dan tidak mau tahu.
Sesampainya dirumah, Susan langsung pamit pulang, sementara Venus bersiap-siap ke pertemuan yang dimaksud papanya.
Sesuatu yang janggal terlihat hari ini, sang papa yang biasanya sibuk dan selalu pulang diatas pukul sebelas malam, kini sudah menampakkan batang hidungnya.
Dia sedang membaca koran dengan kopi mengepul di meja sebelahnya. Venus melewatinya begitu saja. Hingga papa berdehem membuatnya membalikkan badan menghadap lelaki yang kini mengenakan pakaian santai.
“Sudah pulang?” sapa Papa, matanya masih lekat memandang deretan huruf di koran.
“Ya pa, Venus mau siap-siap dulu.” Papa mengangguk tak meliriknya sedikitpun, membuat Venus agak kesal, diapun berjalan dengan cepat ke kamar.
Venus langsung membuka bajunya dan memutuskan untuk mandi, dia menyalakan shower yang menyirami tubuhnya dengan air hangat. Sabun kecantikan dibalur keseluruh tubuhnya hingga ke sela-sela tersembunyi.
Masih dengan mengenakan kimono handuk Venus memilih pakaian yang kira-kira cocok untuknya. Dan sebuah pilihan jatuh pada terusan berwarna putih, lengan panjang dengan aksen bunga-bunga berwarna hitam yang memperindah tampilannya.
Pertama dia mengoleskan BB cream di wajahnya dan merapihkannya dengan kuas. Lalu mengambil kuas lainnya yang telah diusapkan ke bedak tabur untuk disapukan ke wajahnya agar lebih rata.
Setelah membuat shading pada hidung, Venus mengambil eyeliner liquid lalu membentuk garis matanya dengan lengkungan kecil di setiap sudutnya.
Diapun mengaplikasikan mascara ke bulu mata nya yang lentik, yang terakhir dipakai adalah lipstik, dipilihnya warna yang soft agar tidak terlalu berkesan tua.
Setelah menyemprotkan parfum, Venus mengambil tas slempang kecil dan mengalungkannya di leher dengan cepat dia berbalik, hingga tak sengaja menyenggol bingkai di mejanya.
Bingkai kaca yang menampilkan foto dirinya dan mama pecah. Venus terkesiap. Ketika dia membereskan pecahan kaca tersebut salah seorang pembantunya masuk dan melarang Venus, takut tangannya terluka. Venuspun menurut.
Diambilnya foto dirinya dan Mama, saat masih mengenakan seragam SMA, saat itu mama sudah terlihat kurus karena digerogoti penyakitnya.
Sesaat Venus mendekap Foto itu, fikirannya sangat buruk. Entahlah tiba-tiba dia ingin mengurungkan pergi dengan papa. Maka diapun membuka pintu kamar, yang ternyata bertepatan dengan Papa yang ingin mengetuk kamar itu.
Papa terlihat rapih dengan setelan jas hitam dan Dasi cokelat muda mengkilap. Yang menunjukkan bahwa harganya pasti fantastis untuk ukuran dasi formal tersebut.
“Kamu sudah siap kan? Ayo!” Papa berjalan duluan, Venus menatap kaca bingkai yang kini telah berpindah ke pengki yang dibawa pembantunya. Dia menggigit bibirnya lalu menutup pintu kamar.
Tak jadi mengurungkan niatnya.
***
Sepanjang perjalanan mereka tak saling berbicara, papa terlihat konsentrasi dengan handphonenya, sehingga Venus pun memutuskan untuk main handphone juga membuka social medianya dan membalas beberapa pesan yang masuk.
Mereka kini telah tiba di sebuah hotel mewah. Papa menghela Venus ke dalamLift.
“Kamu sayang papa?” pertanyaan papa sontak membuat Venus terkejut dia hanya mengangguk menatap laki-laki yang hampir dua puluh tahun ini menjadi papanya.
“Kalau gitu, jangan kecewakan papa. Papa berharap banyak sama kamu.” Venus bungkam, masih menerka apa yang diinginkan papa saat ini?
Hingga pintu lift berdenting dan papa menekan bel di sebuah kamar VIP di lantai paling atas hotel tersebut.
Seorang pria sebaya papa membuka pintu itu. Venus kenal pria itu, ya banyak media yang membicarakannya. Namanya Gustof.
Dia merupakan CEO dari beberapa perusahaan besar, yang menyokong pemerintahan. Tidak hanya itu, diapun dikenal karena istrinya yang lebih dari satu.
Pria berperawakan tinggi besar dengan perut yang membuncit dan rambut yang sudah hampir botak. Menatap Venus dengan pandangan menggiurkan.
Dia bahkan membasahi bibirnya dan berkedip ketika bersalaman dengan Venus. Tangannya masih menempel pada jemari Venus, meremasnya kecil hingga Venus bergidik dan menarik tangan itu dengan cukup kasar.
Papa membuka sepatunya dan memakai sandal hotel yang disediakan di rak sepatu dekat pintu begitupun Venus yang mengikutinya atas perintah papa.
Diletakannya sepatu boots tingginya dan mengganti dengan sandal hotel berwarna putih tersebut.
Pria tua itu berjalan lebih dahulu dan duduk di sova tunggal. Sementara Papa memberi kode pada Venus agar duduk disampingnya menghadap pria tua tadi.
“Hotel kamu bagus juga,” papa terlihat berbasa-basi memandangi seluruhinterior hotel tersebut.
“Yaa, ini bisa jadi milik kamu nanti, asal.... kamu tahu lah.” Mereka berduapun terkekeh, Venus dapat mencium aroma minuman keras dari mulut lelaki itu. Sepertinya dia agak setengah mabuk jika dilihat dari sorot matanya.
“Yaa,, saya paham, baiklah silahkan bersenang senang,” papa berdiri yang kemudian membuat Venus ikut berdiri.
“Venus, jadi anak baik ya untuk papa,” Papa meninggalkan Venus tanpa menoleh sedikitpun.
“Pa, maksud papa apa?” Venus berusaha mengejar papa yang mempercepat langkahnya. Namun tangannya dicekal Pria tua tadi. Papa membuka pintu dan menutupnya dengan kasar.
“Lepasin!” Venus menghentakkan tangannya. Dia berlari menuju pintu dan memutar kenopnya. Sialnya pintu itu tak mau terbuka.
Venus menoleh marah pada Gustof. Lelaki itu hanya menyeringai memainkan remote kecil di tangannya.
“Percuma saja, kamu udah diberikan ke saya oleh papa kamu,” Pria itu terkekeh. Venus mendengus marah.
“Hmmm kamu tahu dia sangat ambisius menjadi mentri? Hanya saya yang bisa menyokongnya. Politik ada di kaki saya! Jadi kalau kamu mau memuluskan keinginannya, bersikaplah yang baik. Karena cepat atau lambat kamu akan jadi istri saya!”
“Ma..maksud om apa?” Gustof memajukan langkahnya, Venus semakin terhimpit di daun pintu.
Gustof mengelus lengan Venus, membuat wanita itu berdecih jijik.
“Saya Cuma mau test drive, sama seperti sebelum memutuskan membeli mobil kan? Kita harus tahu dulu performanya bagaimana? Lagian ini juga bukan yang pertama kan untuk kamu?
Jangan munafik kamu! Banyak artis yang menyembah kaki saya hanya untuk dijadikan simpanan. Kamu termasuk beruntung! Karena saya akan meresmikan kamu ke jenjang pernikahan. Menjadi istri resmi saya!
Yang berarti akan mendapatkan hak kekayaan saya!”
Gustof mendekatkan wajahnya, tangannya disandarkan pada daun pintu mengunci Venus. Sementara tangan Venus mendorong bahu pria itu agar tak semakin menempel padanya.
“Om hentikan Om please!” Gustof menempelkan hidungnya pada leher jenjang Venus, setitik air jatuh dimatanya. Dia mengepal dan menendang s**********n Gustof. Venus berlari ke bagian lain kamar itu berteriak meminta tolong. Gustof hanya terkekeh mengusap selangkangannya.
Tendangan Venus tak cukup kuat baginya.
“Percuma kamu teriak! Ruangan ini kedap suara.” Gustof menghampiri Venus, wanita itu pun selalu menghindar, terjadilah aksi kejar-kejaran. Namun pria tua itu sepertinya sangat cekatan dan pandai mengatur strategi, karena kini dia berhasil menyudutkan Venus.
Kedua tangan Venus dicengkram dengan satu tangannya yang besar, sementara tangan kirinya mulai mengangkat Rok Venus, mengusap bagian bawah tubuhnya. Hingga lutut Venus terasa gemetar tak hanya lutut karena kini semua anggota tubuh Venus ikut gemetar.
Ini pertama kalinya Venus dilecehkan seperti ini. Dia sangat takut sekali.
Dengan sekali hentak tangan kirinya berhasil merobek celana ketat Venus dan melemparkannya ke lantai, kini hanya tersisa Cd Venus yang menutupi bagian bawahnya.
“Jangan Om tolong Om,” Venus menggigit bibir bawahnya, dia semakin terisak karena Gustof tak jua mau mengendurkan pegangannya. Sementara tangannya masih sibuk mencari celah di bawah. Gustof terlihat mempermainkan emosi Venus, Ketika memantapkan diri untuk memasuki liang Venus dengan jarinya, Venus terjatuh.
Dilemaskan dengkulnya hingga tangan kiri Gustof tersentak.
Gustof tersenyum licik, dia ikut berjongkok dihadapan Venus yang bahunya bergetar karena tangis. Venus menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa? Bukankah rasanya nikmat? Saya yakin bisa membuat kamu ketagihan.” Gustof berusaha membuka tangan Venus, Venus yang terduduk semakin mengkerut ketakutan.
Venus dapat merasakan helaan nafas di pucuk kepalanya, Gustof sedang menikmati aroma rambut Venus yang harum, dengan sisa Tenaganya, Venus menyundul hidung Gustof, dengan sangat keras.
Hingga lelaki itu terjungkal kebelakang dan memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah.
“Kamu!!!” sentak Gustof menyeka darah itu dengan tangannya, Venus segera bangkit kemudian berlari dan mencari remot yang tergeletak tadi.
Ditekannya tombol berwarna hijau, dan terdengar suara clik, di daun pintu itu. Diapun berlari keluar. Terdengar suara Gustof menelepon seseorang “Matikan Lift!!” teriaknya, Venus segera menekan tombol panah kebawah lift tersebut.
Namun naas lampu lift tersebut mati. Venus pun kelimpungan mencari jalan keluar, dia segera melirik ke tangga darurat dan berlari melalui tangga itu.
Gustof masih mengejarnya, mereka saling kejar di tangga darurat itu. Sesekali Venus mendorong pintu di tiap lantainya. Namun pintu-pintu tersebut terkunci. Sepertinya Gustof telah mengunci pintu-pintu itu.
Venus jatuh tersungkur hingga lututnya robek terkena besi tangga, dia tak sempat mengaduh. Yang diinginkan hanyalah lepas dari pria itu.
Sampai akhirnya dia menghentikan langkahnya di pintu bertuliskan lantai 1, sepertinya Gustov sudah tak mengejarnya atau remote controlnya tak mampu menjangkau pintu tersebut. Dengan sekuat tenaga Venus membuka pintu besi itu.
Pintu tersebut berhasil terbuka, namun pemandangan yang dilihatnya sungguh diluar logika. Karena di kejauhan terlihat Gustof sedang menginstruksikan sesuatu kepada pihak keamanan.
Venus segera menghela nafas bersender ke tembok. Dia hanya bisa melewati lobbi yang sudah pasti mereka akan melihatnya. Atau mungkin.... dia harus mencari pintu keluar lain agar mampu terlepas dari Gustof dan kesialannya.
***