Venus tak menyangka akhirnya saat itu tiba juga, saat dimana akhirnya Ramon menghubungi nomornya. Dan setuju untuk bersama dengannya seharian penuh.
“San, tolong transferin dong seratus lima puluh juta ke rekening Ramon, nih nomornya!” Venus yang sedang di make up oleh penata riasnya menyodorkan handphone ke Susan. Wanita berkacamata itu terkejut, matanya melebar sementara tangannya mengepal menahan marah.
“Buat apaan? Kamu beli sesuatu sama dia?” Venus membuka matanya yang telah diberi eyeliner tebal, menatap ke cermin. Wajahnya terlihat semakin cantik dengan riasan itu. Kini penata rias mulai menata rambutnya.
“Beli waktu dia,” seringainya lebar. Susan membuang wajahnya kesamping. Kesal.
“Enggak! Kerjain aja sendiri!” Dia menghentakkan kakinya dengan kasar, lalu meninggalkan Venus yang manyun.
“Kenapa tuh anak?” kernyit Venus, Tangannya segera mengutak atik handphone dan mengirim screen shoot bukti transferan ke nomor Ramon. Peduli amat dengan Susan. Yang penting dia bisa bersama Ramon meski hanya semalam.
Venus memakai gaun indah berwarna putih yang membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Sosoknya terlihat menonjol diatas panggung yang sudah di dekorasi dengan sedemikian rupa.
Saat ini dia sedang menjadi bintang tamu di sebuah acara penghargaan bergengsi di tanah air. Suaranya merdu dan jernih, membuat penonton ikut terhanyut dalam setiap bait nada yang dinyanyikan.
Deretan bangku yang diisi artis-artis itu mendadak sunyi, terpukau dengan penampilannya. Sesekali Venus melambaikan tangan mengikuti irama, yang langsung diikuti oleh para hadirin seperti hipnotis.
Mata Venus menangkap wanita berkacamata yang berdiri di pojokkan meski kesal, dia tak bisa meninggalkan Venus sendirian. Dan dia tahu itu.
***
Berkali-kali Venus mengamit lengan Ramon, yang langsung di hempaskan begitu saja oleh Ramon. Mall bukan pilihan yang cocok untuknya. Dia sangat benci sebenarnya menghabiskan waktu di mall apalagi sampai harus menemani belanja makhluk yang disebut wanita itu.
Namun Venus memaksa untuk menemaninya berkeliling, membeli beberapa pakaian. Dan perlengkapan wanita lainnya. Sehingga Ramon menyanggupinya, kalau tidak? Dia tak akan mendapatkan sisa uang dari perjanjiannya.
Toh perjanjian itu mengharuskan dirinya menghabiskan waktu seharian penuh bersama. Beberapa pasang mata menatap Venus dan Ramon bergantian, mengagumi keduanya. Dan beberapa orang terang-terangan mengambil foto serta ada yang mulai membuat kericuhan karena memang Venus sangat terkenal.
Ramon menarik tangan Venus masuk ke dalam sebuah distro, dia mengambil Topi dan kacamata hitam yang langsung dipakaikan ke kepala Venus, sementara tangannya dengan cepat mengambil sebuah jaket besar dan memakaikannya ke tubuh Venus.
Wajah venus memerah ketika Ramon menyeletingkan jaket itu karena jarak wajah mereka yang dekat.
“Jangan Ge-er! Gw Cuma males jadi bahan gosip media murahan aja! Klo penampilan lo kayak tadi, gak nyampe sepuluh menit juga wartawan bakalan dateng!” Ramon menarik topi hingga menutupi keningnya, lalu menoyornya pelan.
“Bayar sana!” Sementara dia langsung mengalihkan pandangan, berpura-pura melihat-lihat tas. Venus mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan kasir toko menggunting tag harga untuk segera menghitungnya.
“Udah ayo!” Venus berjalan sambil mendengus kesal, dengan begini tentu tak akan banyak yang curiga padanya.
Sebenarnya dia biasa menyamar jika ingin berbelanja atau liburan. Tapi saat ini hatinya sangat ingin membuka penyamaran itu, dia ingin menjadi Venus seorang wanita biasa yang bisa menjalani hidup normal, bergandengan tangan dengan orang yang disayanginya.
Menikmati makanan atau minuman sambil jalan, tertawa riang tanpa perlu memikirkan pendapat orang lain terhadapnya. Tanpa takut diliput media yang selalu mengerubunginya seperti lalat.
Ramon menarik tangan Venus yang hampir menabrak seorang wanita di depannya, Venus hanya membungkuk minta maaf, dia terlalu lama melamun tadi sehingga tak memperhatikan orang yang berlalu lalang di depannya.
Dia langsung mengangkat wajahnya, menghadap Ramon. Ketika tahu, lelaki itu bahkan tidak melepaskan pegangannya ketika mereka telah jauh dari wanita yang hampir ditabraknya tadi.
Tangan sebelah ramon terangkat dan mendorong topi Venus kembali agar wanita itu menunduk lagi. Sementara tangan Venus yang sebelah memegangi pipinya yang dia yakin sudah berwarna merah sekarang.
“Itu Venus kan?” lirik beberapa pengunjung toko sepatu yang disinggahi Venus, bahkan sudah menyamar seperti ini dia masih saja bisa dikenali!
“Minta foto bareng yuk, eh itu pacarnya ya?” bisik pengunjung lain menatap Ramon. Ramon mulai jengah dia mengetukkan sepatunya ke lantai marmer tersebut. Venus membuang nafas kesal. Diapun berjalan meninggalkan toko itu diikuti Ramon yang melirik sekilas ke beberapa pengunjung yang terlihat masih penasaran dan mengikutinya.
Mula-mula hanya sekitar lima orang, lalu di sepanjang jalan mulai banyak yang mengikuti mereka berdua, kerumunan itu semakin bertambah ketika Venus melangkahkan kaki ke lantai satu. Desas desus mulai muncul.
Ramon menarik tangan Venus dan berjalan secepat yang mereka bisa. Niat berbelanja diurungkan saja karena Venus sekarang lebih berniat melarikan diri dari kejaran para fans dan mungkin wartawan yang tak pernah puas memburu berita dirinya.
Venus mengendarai mobil hitamnya dengan gesit, dia mampu membelok secara tepat di tiap tikungan. Sementara Ramon membuang pandangan ke luar jendela tak tertarik pada wanita di sampingnya.
Sebenarnya Venus tak menyukai suasana sepi ini, dia sudah berkali-kali mengajak Ramon ngobrol santai, tetapi lelaki itu hanya menjawabnya dengan sangat singkat. Sampai pada akhirnya Venus memilih untuk menyetel saluran radio di mobilnya.
Tepat ketika itu sebuah saluran radio memutar lagunya. Dan saat music berhenti, terdengarlah kicauan sang pembawa acara yang membicarakan dirinya. mereka berkomentar tentang siapakah lelaki yang dekat dengan Venus saat ini? Kehidupan pribadinya yang seperti apa? Dan tentang kekaguman mereka terhadap Pak Freddy ayah Venus yang terlihat menyayanginya.
Stir mobil jadi sasaran cengkraman Venus ketika nama pria tua itu disebut, dia segera mematikan Radio. Sementara Ramon menoleh ke arahnya yang wajahnya mendadak mengeras menahan amarah.
Venus sadar Ramon sedang memandang wajahnya, diapun segera mengerjap dan mengganti ekpresinya, menjadi ekspresi hangat dan ramah, tidak kaku seperti tadi.
“Hmmm, gw kurang suka denger berita tentang keluarga.” Venus berusaha memecah kesunyian, meskipun dia terlihat sekuat tenaga menelan ludahnya yang mendadak tercekat di kerongkongan.
Ramon hanya menaikkan sebelah alisnya, dan melihat pemandangan keluar yang dia tahu bahwa dari tadi Venus hanya memutar-mutar kendaraan itu saja.
“Sebenernya lo mau kemana sih? Ini udah malem dari tadi muter-muter gak jelas!” Ramon mulai bosan dengan keadaan tidak mengenakkan ini.
“Pertanyaan bagus! Kita mau ke hotel, kuyyy!” kerling Venus, Ramon hanya mendengus melihat perempuan aneh disampingnya.
Perempuan yang justru membayarnya sangat mahal hanya untuk mengotori dirinya sendiri. Sebegitu bodohkah Venus? Ahhh mungkin dia memang sudah sering melakukan hal ini. Ramon berasumsi sendiri, dia pun menutup mata dengan tangannya. Mencoba mengenyahkan semua fikiran itu.
Biar bagaimanapun dia telah menerima uang muka atas dirinya. sekarang dia tak lebih hina dari apa yang dilakukan Venus.
***
Ramon menyerahkan kunci hotel bintang lima ke tangan Venus. Yang duduk di lobby, lengkap dengan topi dan kacamata hitam penyamarannya. Sedari tadi dia terlihat memandangi patung kuda di hadapannya.
Venus memilih Hotel dengan ornamen patung-patung yang terlihat sangat artitistik dan mewah. Karena dia sangat suka dengan segala furniture hotel ini. Dan dia tahu bahwa pemilik hotel ini adalah Olivia Witjaya ( a.k. a Thea – Baca i’m not pelakor :D ). Yang sangat menjunjung tinggi privasi tamu hotel serta kinerja karyawannya tidak dapat diragukan lagi.
Dia sengaja meminta Ramon yang memesan karena tidak mau membuat kericuhan kembali. Mungkin para karyawan hotel dapat menyembunyikannya, namun tidak dengan tamu lain yang bisa saja menyebarkan gosip di social media atau apapun tentang dirinya yang berduaan di hotel dengan seorang pria.
Di sampingnya tergeletak tas sport berisi pakaian ganti. Sementara Ramon sepertinya tidak membawa persiapan sama sekali. Padahal dia sangat tahu bahwa memang Venus membayar dia untuk ini.
Venus berdiri mengambil kunci hotel dan sebelah tangannya berniat menarik tas itu, namun Ramon segera mencegah dengan mengulurkan tangan untuk mengambil tas Venus yang terlihat berat, entah isinya apa?
Lift berhenti di lantai paling atas. Venus segera membuka kunci berupa akses card yang hanya perlu di tap pada alat berwarna hitam yang terletak samping pintu kamar. Dia masuk duluan. Menyusul Ramon yang memastikan bahwa tak ada orang yang mengikuti mereka kesini.
Didalamnya terlihat kamar yang sangat mewah, dengan sofa dan lcd TV besar. Lengkap dengan satu springbed yang terlihat nyaman dengan nuansa cream kecoklatan. Yang dapat menimbulkan rasa hangat tersendiri.
Pemandangan diluar hotel terlihat lebih menakjubkan karena mereka berada di ketinggian seratus meter diatas permukaan tanah. Lampu-lampu dari kendaraan dan gedung-gedung lainnya terlihat seperti titik-titik kecil.
“Gw mandi duluan!” Ramon berjalan ke kamar mandi dan meninggalkan Venus yang masih memandang ke jendela besar di hotel tersebut. Venus hanya mengangguk tanpa menoleh sedikitpun. Entah, wajahnya terlihat muram malam ini, tak seperti biasanya.
Ramon memandang walk in closetdihadapannya, terpampang berbagai cologne yang disediakan hotel. Diapun menyemprot di bagian tubuh, dan memperhatikan wajahnya. Bajunya ditanggalkan dan dia hanya mengenakan kimono handuk milik hotel saat ini.
Matanya memandang nanar ke kaca yang memantulkan wajahnya. Dia tersenyum miring dan mendesah “Munafik!” lalu dia mengusap wajah dengan kasar. Meninggalkan tempat itu.
Venus bergegas masuk ke kamar mandi ketika mendengar knop pintu dibuka Ramon, dia bahkan tak mengucapkan sepatah katapun ketika melewati lelaki yang ditaksirnya itu. Sekilas nampak raut khawatir dari Ramon. Namun dia menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk menunggu di sofa.
Yang ternyata telah terdapat hidangan. Bahkan nampaknya Venus telah makan duluan tadi, terlihat dari piring kosong di sebelahnya.
Tanpa pikir panjang Ramon pun menyantap hidangan lezat itu sampai habis.
Sementara Venus membenamkan tubuh di bath tub. Sesekali menyabuni kulitnya yang mulus namun tetap wajahnya terlihat kaku tak seceria biasanya.
Merasa sudah terlalu lama berendam, diapun memutuskan untuk keluar. Memakai kemeja putih kebesaran, yang dia tahu suka dipakai wanita-wanita korea dan terlihat seksi. Sengaja melepas branya, dan tidak mengenakan celana basic sama sekali.
Samar terlihat lekuk tubuhnya, karena kemeja putih itu memang terlihat transparan. Setelah menyemprot parfum miliknya, diapun sedikit berdandan. Memakai riasan mata dan lipstik beraroma stroberry.
Tangannya menepuk dadanya pelan lalu mengepal, menyemangati diri sendiri. Lalu dia mengganti-ganti ekpresi senyumnya di cermin, berusaha mencari senyum yang pas yang bisa dia tunjukkan ke Ramon.
Setelah dirasa semuanya sudah pas, Venus segera keluar dari kamar mandi itu dan berjalan bak pragawati profesional menuju kasur hangat itu.
Dia langsung duduk dan berpose layaknya model majalah v****r yang sebenarnya dia sendiripun belum pernah mencoba pose itu. Kakinya disilang agar menampilkan paha mulusnya. Ramon memiringkan wajah dan berusaha tersenyum. Entah, namun senyumnya terlihat senyum mengejek.
Diapun duduk disamping Venus.
“Udah siap?” tanyanya dengan suara serak. Venus mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk.
***