Someone From The Past

2953 Kata
Alvira bersedekap, netranya menatap kosong pada deretan lampu jalan yang terlihat seolah bergerak mengikuti laju mobil.   Alvira tidak tahu kenapa dirinya bisa terbujuk rayuan Adreno dan mengikuti cowok itu pergi. Kenapa? Apa karena selama ini dirinya tidak pernah berbuat baik pada cowok itu? Alvira menyetujui tawaran Adreno bukan karena rasa kasihan saja kan?   Tanpa sadar, Alvira menggeleng. Bukan, ini bukan tentang rasa kasihannya pada cowok itu. Dirinya bahkan tidak peduli dengan luka yang cowok itu derita. Melainkan~   Melainkan apa? Alvira mengerutkan kening saat merasakan desiran aneh mulai merambat di dadanya, persis seperti yang ia alami beberapa menit lalu, saat melihat manik abu tertempa sinar perak rembulan itu menatapnya sendu.   Perasaan macam apa ini? Alvira merasa marah pada dirinya sendiri. Cewek itu tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dirinya terlalu membenci makhluk berjenis laki-laki hingga membuatnya tidak betah berlama-lama dengan mereka.   Tapi kenapa dirinya malah terjebak di dalam mobil bersama Adreno? Dan mengenai perkataan terakhir cowok itu tadi~ apa maksudnya? Adreno... mengkhawatirkannya? Atas dasar apa? Alvira ingin bertanya tapi akal sehatnya melarang.   "Ada apa?"   Alvira menaikkan alis saat melihat Adreno menempelkan ponselnya ke telinga dengan raut wajah serius. Jika dilihat dari samping seperti ini, kenapa cowok itu terlihat lebih... seperti remaja pada umumnya? Kemana raut wajah menjengkelkan dan datar yang selalu cowok itu tampilkan?   Alvira hampir terlonjak saat tiba-tiba saja Adreno meliriknya dari ekor mata sambil menaikkan alis. Buru-buru ia mengalihkan pandangan.   "Ya, saya ke sana sekarang."   Adreno mematikan ponsel, menaruhnya pada saku celana sebelum mengalihkan atensinya lagi pada Alvira yang kini sudah mengalihkan wajahnya ke jendela mobil.   "Saya harus ke rumah Raja sekarang," Adreno berujar, membelokkan mobilnya ke kiri untuk menuju rumah sang sepupu.   Alvira menoleh dengan dahi berkerut tidak suka. "Terus gue gimana?" ia bersedekap, melayangkan tatapan sinis, "kalau dari awal emang gak niat nganterin gue, kenapa maksa? Maksud lo tuh apa sih?"   Cowok itu mendesah. Raut wajahnya tampak lelah. Harusnya sejak awal Adreno tahu jika menghadapi seorang Alvira memang tidak pernah mudah. Kenapa cewek itu tidak diam saja dan menurutinya?   "Hanya sebentar, setelah itu saya antar kamu pulang. Lagipula, rumah Raja lebih dekat dari sini. Hanya sebentar, Alvira." Adreno kembali fokus pada jalan raya di hadapannya. Suasana tampak ramai walau di jam malam seperti ini.   "Turunin gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!"   "Turun saja kalau bisa," balas cowok itu datar, menghiraukan Alvira yang kini sibuk mendorong pintu mobil sambil menggerutu. Cewek di sampingnya ini kenapa keras kepala sekali?   "Sialan. Buka gak kuncinya?"   Tetap diam. Adreno membiarkan cewek itu bertingkah semaunya. Dirinya sibuk mempercepat laju mobil saat memasuki area hutan karet yang lumayan lebat sebelum kemudian sampai di rumah Raja.   "Lo b***k ya?" tangan Alvira terangkat untuk memukul bahu cowok itu keras. Tapi kemudian, ia meringis saat melihat Adreno mengerutkan kening menahan sakit.   Kenapa Alvira bisa lupa jika luka cowok itu belum benar-benar kering? Ceroboh. Dari dulu~ Alvira memang selalu seperti itu. Kapan dirinya tidak membuat orang lain terluka?   "Maaf, gue... lupa," bisiknya, pelan. Alvira beringsut mundur dan kembali menenggelamkan punggungnya ke sandaran kursi, meggigit bibir bawahnya kuat dan mengalihkan pandangan.   "Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa kamu pukul." Adreno membalas santai, sedikit bergurau, mengukir senyum kecil yang sayangnya tidak Alvira lihat. Cewek itu terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.   Adreno mengerutkan kening saat tidak mendapat tanggapan ketus seperti biasanya. Ia melirik Alvira yang tengah menempelkan pipinya pada kaca mobil dengan pandangan menerawang. "Kenapa diam? Merasa bersalah, Alvira?"   "Berisik lo! Gue pengen cepet-cepet pulang tau gak? Ada di deket lo kayak gini bikin perut gue mual, pengen muntah." Alvira menjawab tanpa mengalihkan pandangan, dengan nada sinis seperti biasa.   Adreno menaikkan alis, "Kamu mabuk darat? Tidak biasa naik mobil mewah, ya?" ujarnya polos, sengaja untuk memancing kemarahan Alvira.   Tidak seperti dugaannya, Alvira hanya diam. Masih sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga kemudian, cewek itu berujar,   "Kebanyakan bacot lo."   Adreno sedikit tertegun. Satu detik setelahnya, tawa cowok itu menggema, memecah keheningan di dalam mobil yang terasa tidak biasa.   Alvira itu~ memang cewek ajaib. Di keadaan serumit apapun, ia tidak pernah lupa untuk melemparkan makian dan ucapan sinis pada Adreno.   ***   "Mau kemana?" Adreno bersedekap saat melihat Alvira langsung berjalan gusar setelah keluar dari mobil, hampir melewati gerbang rumah Raja yang terbuka lebar. Sedang Adreno sendiri sudah berdiri di ambang pintu mobil.   Alvira menghentikan langkah, berbalik hanya untuk melemparkan tatapan tidak bersahabat. "Pulang."   "Memangnya kamu tahu jalan pulang?"Adreno kembali berujar, ada senyum sinis terpatri di wajahnya. Cowok itu menahan tawa saat melihat wajah Alvira berubah pias.   Ternyata~ letak rumah Raja yang berada di daerah yang jauh dari prmukiman membuat Adreno memiliki banyak keuntungan. Melihat raut cewek itu, Adreno yakin jika dia tidak tahu jalan pulang.   "Gunanya mulut itu apa kalau bukan buat nanya?" Alvira berujar keras kepala, kemudian berbalik dan berjalan menjauh. Egonya terlalu tinggi jika harus menuruti perkataan Adreno. Cowok itu memang harus ditentang supaya tidak besar kepala dan bertingkah semaunya.   Mentang-mentang dia anak orang kaya dan menjabat sebagai ketua OSIS, semua perkataannya harus selalu dituruti?   Alvira berdecak. Tanpa sadar, langkahnya sudah semakin jauh. Cewek itu seketika mematung saat menyadari keadaan sekitarnya.   Jalan ini begitu sepi, gelap tanpa penerangan sama sekali. Angin dingin yang berembus sedikit kencang menerbangkan ranting-ranting pohon di sisi jalan kesegala arah, tampak melambai-lambai mengerikan. Alvira yang hanya mengenakan dress selutut tanpa lengan mulai menggigil. Kaki pendeknya yang terbalut sepatu converse lusuh masih terus merangkah, tidak tahu sudah berapa meter dirinya berjalan.   Sebenarnya~ Alvira sekarang sedang berada di mana? Dan kenapa tidak ada orang sama sekali yang bisa ia tanyai? Suasana hening yang terasa mencekam membuat Alvira bergidik. Bulu kuduknya meremang.   Dan lagipula~ Adreno itu kenapa tega sekali membiarkannya pulang sendirian? Dalam keadaan tengah malam dan tanpa uang sama sekali? Alvira ingin menendang wajah cowok itu rasanya.   Alvira mengangkat tangannya menutupi wajah saat sebuah cahaya menyilaukan matanya. Dari kejauhan, tampak sebuah mobil sedang melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Seulas senyum langsung terbit di bibir.   Akhirnya Alvira akan selamat!   Dengan semangat dirinya melambaikan tangan, hendak menyetop mobil itu dan meminta pertolongan. Tapi kemudian, sebelum sempat mobil itu benar-benar berhenti di depannya, seseorang menutup mulutnya dan menyeretnya ke belakang.   Apa lagi ini? Dan sudah berapa kali Alvira berada dalam posisi seperti ini?   ***   "Adreno! Gue tahu kalo itu lo! Lepasin gak? Gue mau pulang!" Alvira membentak marah, sedang tangan dan kakinya memberontak sekuat tenaga. Jantungnya berdegup kencang penuh antisipasi. Di saat seperti ini~ dirinya tidak bisa berbuat banyak. Alvira takut jika ia nekat melawan, dirinya akan semakin membuat luka cowok itu bertambah parah.   Dan lagipula, kenapa Adreno suka sekali mengerjainya seperti sekarang?   Suasana yang gelap membuat Alvira tidak bisa memindai situasi. Yang ia tahu, tempat ini begitu sempit dan lembab, seperti sebuah gang kumuh yang tidak terawat dengan tembok-tembok rapuh yang membentenginya.   "Gue bukan Adreno, Nona manis."   Tubuh Alvira membeku bersamaan dengan cekalan ditangannya yang telepas. Mendadak, kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin dengan raut wajah berubah pias.   Suara yang terdengar berat dan agak serak itu sudah pasti bukan milik Adreno. Dan lagipula~ kenapa Alvira baru sadar jika harum tubuh mereka berbeda? Lelaki ini punya aroma lemon segar, sedangkan Adreno punya aroma musk bercampur mint yang menenangkan.   Jika lelaki ini bukan Adreno, lalu siapa?   Alvira segera berbalik. Sosok bertubuh tinggi nan tegap itu telah bersandar di tembok, mengangkat sebelah kakinya sambil menyulut sebatang rokok. Ia memakai pakaian serba hitam, tampak menyaru dengan kegelapan sekaligus terlihat mengerikan.   Dan dari pencahayaan yang hanya bermodalkan sinar perak rembulan, walaupun sedikit samar, Alvira bisa melihat bola mata berwarna biru gelap milik lelaki itu. Begitu mencolok serupa kelereng yang bercahaya. ***   Adreno menatap kepergian Alvira dengan sorot tak terbaca. Dirinya ingin melihat seberapa besar keberanian cewek itu. Tidak tahu jalan dan dalam suasana sepi seperti ini, berapa lama Alvira akan bertahan dan memutuskan untuk kembali?   Adreno sebenarnya tidak tega, dirinya benar-benar khawatir dengan keadaan cewek itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tipe seorang Alvira jika tidak ditindak sedikit keras, akan selalu bertingkah semaunya. Dia harus mau belajar kompromi dan menghargai orang lain.   Biarlah, lima menit lagi, Adreno akan mengikuti cewek itu dalam diam, seperti yang biasa ia lakukan. Hanya sebentar. Cewek tangguh seperti Alvira tidak akan diam saja jika diserang kan?   Adreno menatap ke sekitar. Kenapa suasana rumah tampak sepi? Apa Raja belum sampai? Ah, kenapa Adreno baru ingat jika ia menyuruh sang sepupu mengantar Griya pulang lebih dulu?   Cowok itu mengambil ponselnya di saku celana, hendak menghubungi Raja sebelum sebuah suara menginterupsi kegiatannya, membuat seluruh tubuh Adreno mendadak beku.   "Reno... itu kamu?"   Suara itu terdengar begitu lembut mengalun, seumpama gemericik air menenangkan di tempat hening nan sejuk. Masih tetap sama seperti yang Adreno dengar terakhir kali. Sudah berusaha menghindar sekuat mungkin, kenapa sosok itu tiba-tiba muncul lagi?   Ternyata~ kekhawatiranya semenjak kedatangan Kaivan terbukti sudah. Karena dimana pun Kaivan berada, gadis bermanik arang itu akan selalu mengikuti, serupa bayangan dan pemiliknya.   Adreno memejamkan mata, sejenak untuk menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba bertedak tak seirama. Bukan jenis debaran dipenuhi rasa cinta yang menggebu-gebu, tapi lebih kepada~ rasa was-was. Bagaimana pun keadaannya, dan sejauh apa pun dirinya menjauh, yang namanya masa lalu pasti akan terus membayang, serupa teror mengerikan yang akan terus menghantui selama ia belum bisa berdamai.   Menoleh.   Adreno melihat sosok itu berdiri dengan tenang. Dress selutut berwarna biru lembut yang ia pakai sedikit berkibar tertiup angin, pun dengan surai panjang yang membingkai wajah manisnya,  mencuat ke segala arah.   Wajah menawan itu masih sama, begitu polos dan cantik. Hanya saja~ bola mata yang berwarna serupa dengan milik Alvira itu menyorot sendu, penuh kerinduan sekaligus rasa bersalah.   Adreno berkedip, tersadar. Buru-buru ia menormalkan ekspresi wajahnya hingga berubah kaku. Menipiskan bibir, ia berujar dengan nada dingin, "Kenapa kamu kemari?"   Gadis itu mendekat, mengulurkan tangan seolah hendak merengkuh. Tanpa sadar, kaki Adreno bergerak mundur. "Jangan mendekat," ujarnya gusar. Adreno tidak pernah sanggup jika harus menghadapi gadis itu lebih lama lagi.   Bayang-bayang masa lalu seolah tergambar begitu jelas di wajah itu, bergerak bagai sebuah film lama yang diputar ulang. Napas Adreno terengah seiring dengan kepalanya yang berdenyut nyeri. Dorongan untuk melarikan diri terasa mendesak, membuat cowok itu hampir terhuyung.   Tidak, Adreno tidak akan membiarkan gadis itu tahu kelemahannya.   Tiba-tiba saja, Adreno teringat dengan keadaan Alvira yang mungkin saja sedang berada dalam bahaya. Seketika itu, ia mendongak setelah menyembunyikan raut wajah piasnya dengan tatapan datar.   "Saya harus pergi. Dan kamu~ jangan pernah menampakkan diri lagi di depan saya," ujarnya dingin.   Berbalik, ia melangkah menjauh, berlari semakin cepat seolah dikejar. Menghiraukan teriakan gadis itu menggema di belakangnya, Adreno masih terus berlari. Pikirannya kini mulai penuh dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Alvira.   Apa Alvira baik-baik saja sekarang? Kenapa Adreno bodoh sekali dengan membiarkan cewek itu pergi sendirian? Adreno tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika ada hal buruk yang menimpa Alvira.   ***   "Lo yang namanya Alvira, kan?" lelaki itu meniupkan asap rokoknya ke udara. Masih dengan posisinya yang setengah bersandar, ia menatap Alvira tajam dengan alis menukik.   Alvira menyerit tidak suka, mengibaskan tangannya ke depan wajah untuk menghalau asap rokok agar tidak terhirup olehnya. Tapi nyatanya, sia-sia. Alvira masih bisa mencium aroma tembakau itu meski samar. "Gue gak sudi jawab kalo lo nanya sambil ngerokok. Mending gue pergi daripada ngadepin cowok aneh kayak lo."   Alvira melayangkan tatapan sinis sebelum berbalik.   "Oke, fine. Gue buang rokoknya."   Alvira menyentak sebuah tangan besar yang hendak menyentuh jemarinya. Ia mendesis, menoleh dan mendapati cowok itu sudah berdiri di sampingnya.   Kenapa cepat sekali?   Alvira mengerutkan kening. Jika dilihat dari dekat seperti ini, kenapa cowok itu tidak terlihat seperti seorang penjahat? Wajahnya tampak tegas dengan surai hitam yang dibuat acak-acakan, tapi ada gurat-gurat jenaka yang membuat lelaki itu terlihat bersahabat. Sepertinya~ laki-laki ini hanya berbeda beberapa tahun dari Alvira.   "Lo sebenernya siapa sih?" Alvira berbalik. Mengalihkan seluruh atensinya pada cowok itu.   "Gue?" cowok itu menunjuk dirinya sendiri. "Gak penting lo tahu siapa gue. Yang gue gak habis pikir, kok Adreno mau susah payah nemuin gue cuma buat cewek sinis dan jelek kayak lo?"   Wajah Alvira berubah merah. Jari tengahnya langsung mengacung tepat ke wajah cowok itu. Cowok di sampingnya ini kenapa menyebalkan sekali? Dan kenapa dia mengenal Adreno? Apa cowok itu adalah salah satu antek-antek si ketua OSIS?   Alvira menggeram, "Lo? Makan nih!" tanpa peringatan, kaki Alvira terangkat untuk menendang cowok itu sekuat tenaga. Tidak merasa kesusahan karena dirinya sudah terbiasa.   Cowok itu meringis sambil memegangi perut. Dirinya tidak menyangka jika cewek di depannya ini akan bertingkah nekat dengan menendangnya. Alvira itu~ ingin cari mati, ya?   "Lumayan." cowok itu berdecih, tatapannya berubah mengejek, "tapi~ tendangan semacam itu gak bakalan bikin gue mati."   Alvira menggeram, aura kemarahan tampak jelas menyelimuti matanya. Kali ini Alvira hendak melayangkan tinju, tapi dengan sigap cowok itu menahannya, sedikit memplintir jemari Alvira hingga membuat cewek itu meringis. "Lepas!"   Bukannya mengabulkan permintaan Alvira, cowok itu malah mengamati Alvira tanpa berkedip. Mengulas senyum tipis, ia mengangkat tangannya untuk merapikan surai Alvira yang mencuat nakal. Tapi belum sempat ia menyentuh, seseorang memukul rahangnya keras hingga membuatnya terhuyung mundur.   "Jangan sentuh dia." sebuah suara menjawab dingin. Alvira berkedip, pandangannya kini terhalangi oleh punggung tegap seseorang, ia menurunkan pandangan dan menemukan sebuah tangan menggenggam jemarinya erat.   Alvira mengerutkan kening, mengenali surai hitam milik seseorang itu, juga dengan kehangatan khas yang melingkupinya. Kemudian, Alvira bergumam dengan nada sedikit ragu, "Adreno..."   Adreno tidak menoleh, tidak juga menanggapi pertanyaan Alvira. Dirinya tetap memandang sosok bermanik biru gelap yang kini sudah berdiri tegak, mengukir senyuman mengejek.   Sudah tiga tahun tahun berlalu, kenapa raut wajah sinis Kaivan masih tetap terlihat menyebalkan?   Kaivan melirik keberadaan Alvira sebelum berujar, "Jadi emang itu kan, cewek yang lo maksud? Kemarin Raja bilang kalau lo berusaha keras buat jagain dia, tapi nyatanya apa? Lo malah biarin dia jalan sendirian, tengah malam. Gimana kalau bukan gue yang nemuin dia? Apa lo siap liat cewek lo mati?"   Kata-kata itu diucapkan dengan nada santai namun menusuk. Adreno menegang di tempatnya berdiri, tanpa sadar mengeratkan genggamannya pada jemari Alvira, seolah menyalurkan perasaan bersalah yang kini menggerogoti dirinya tanpa ampun.   Perkataan Kaivan memang benar adanya. Adreno tidak bisa mengelak. Dirinya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika bukan Kaivan yang menemukan Alvira?   "Saya memang bersalah. Tapi lain kali~ saya janji, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi." Adreno berujar tenang, berhasil mengendalikan diri.   Kaivan menelusuri penampilan Adreno seolah menilai, lalu saat melihat seseorang yang baru saja datang dari kejauhan, sudut bibirnya terangkat, nyaris mengeluarkan tawa. "Jadi karena dia?" ia menggedikkan dagu ke arah belakang Adreno. "Masih belum bisa move on, eh?"   Pelan, Adreno menoleh ke belakang, diikuti Alvira yang juga merasa penasaran. Di sana~ sudah berdiri sosok gadis cantik dengan gaun biru muda selutut, surai hitam kelamnya yang menjuntai tertiup angin. Tepat di sebelahnya, Rajawali menepuk bahu gadis itu menenangkan.   Adreno merapatkan tubuh Alvira ke dekatnya penuh antisipasi. Rahangnya menegang, bibirnya berujar dengan nada dingin. "Kenapa kamu mengikuti saya?"   Gadis itu melepaskan rangkulan Raja. Sorotnya semakin sendu saat Adreno menolaknya untuk kedua kali. "Aku minta maaf," bisiknya lirih, ia meremas jemarinya yang mulai bergetar, "kumohon maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk..."   "Cukup!" Adreno memotong dengan suara keras. "Tolong pergi dari hadapan saya!" sambungnya lagi. Alvira meringis saat jemarinya dicengkeram semakin kuat.   Adreno belum siap jika harus menghadapi masa lalunya lagi. Dia~ hanya belum siap untuk kembali mengoyak luka lamanya yang belum mengering sempurna.   "Semuanya, kita balik." Suara Kaivan terdengar setelah hening beberapa saat. Dirinya langsung menarik Raja dan gadis bergaun biru itu agar mengikutinya menuju mobil milik Raja yang sudah terparkir rapi di ujung gang.   Tapi sebelum memasuki mobil, Kaivan membalikkan tubuh dan berujar, "Gue lagi ngelacak keberadaan mereka. Nanti kalau ada info lagi, gue hubungin lo." Kaivan mengedipkan matanya jahil sebelum benar-benar menghilangkan tubuhnya di balik pintu mobil.   Alvira merasakan tangannya sedikit terbebas sedetik setelah mobil itu bergerak pergi. Aura mencekam yang sedari tadi melingkupi juga telah hilang. Cewek itu mengalihkan atensinya pada Adreno.   Dan~ cowok itu sedang mengusap wajahnya seolah terbebas dari beban yang sedari tadi menghimpitnya.   "Lo gak apa-apa?" Alvira berujar hati-hati. Nyalinya sedikit ciut saat mendengar kemarahan Adreno dan raut wajah garang cowok itu.   Ternyata~ seorang Adreno bisa terpancing emosi juga, ya? Alvira pikir, cowok itu hanya bisa memasang wajah datar saja.   Kelopak mata Adreno terbuka, ia menggerjab beberapa kali seolah sedang menegaskan diri. "Kamu, bertanya keadaan saya?" ujarnya, dengan nada seolah tak percaya.   Alvira berdecak, "Sialan lo. Gue juga punya rasa kemanusiaan kali."   Adreno terkekeh pelan. Raut tegang yang sedari tadi melingkupinya sudah hilang tak berbekas, digantikan ekspresi malaikatnya seperti biasa.   Alvira tidak akan bertanya tentang siapa Kaivan dan gadis bergaun biru itu. Dirinya cukup tahu diri dengan posisinya saat ini. Walaupun Alvira sendiri merasa penasaran. Sebenarnya~ apa yang terjadi di antara mereka?   Memikirkan jika Adreno tidak segera menyusulnya karena cewek bermanik hitam tadi~ membuat hatinya tercubit, pelan seperti akan terbelah. Siapa sebenarnya cewek itu? Mantan kekasih Adreno, kah?   Dan, kenapa Alvira ingin marah dan memaki cowok itu? Alvira mengerutkan kening.   Tidak, ini mulai tidak benar.   "Tangan kamu memar." Alvira menggerjab, ia menundukkan pandangan dan menemukan cowok itu sedang menulusuri pergelangan tangannya dengan gerakan seringan bulu.   Alvira meringis saat memar berwarna kemerahan itu terasa berdenyut saat ditekan Adreno dengan jarinya. "Sakit, b**o!" ujarnya, menyentak tangan Adreno agar menjauh. Tapi Adreno berhasil menariknya kembali. Alvira mendengus.   "Saya tidak akan minta maaf karena saya tidak menyesal melakukannya." Adreno mengusap bekas memar itu perlahan, seolah dengan melakukan itu, dirinya bisa meringankan sakit yang cewek itu derita.   Adreno tidak menyesal karena berkat kekuatan dari jemari Alvira yang ia genggam, Adreno bisa menggendalikan dirinya, tidak lagi terlihat tak berdaya di hadapan Kaivan maupun gadis itu.   Alvira~ cewek judes sekaligus pemarah ini... kenapa bisa menjungkir balikkan hidupnya sampai sedemikan rupa? Yang bahkan hanya dengan menggenggam jemarinya saja bisa membuat Adreno merasa dirinya mampu melawan masa lalu?   Manik kelabu itu menghujam dalam. Adreno menangkup kedua jemari Alvira dengan tangan besarnya. Bibirnya melengkung membentuk seutas senyuman. Kemudian, sebelum sempat Alvira mencerna apa yang terjadi, dirinya sudah tertarik ke dalam dekapan Adreno. Ia mencoba berontak, tapi, tubuhnya malah membeku sedetik setelah cowok itu berbisik serak di telinganya,   "Thank you, Alvira. You saved my life."   ****    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN