Alvira berjalan cepat, diikuti Adreno di belakangnya. Cewek itu kembali ke belakang aula, menuju ruang serbaguna yang hendak ia datangi sebelum kejadian penyekapan oleh si ketua OSIS tadi. Dalam hati ia berharap agar Griya tidak melakukan hal bodoh kali ini.
Saat melewati belokan pertama,Alvira bisa melihat gerak panik Ana di depan pintu. Tapi rupanya cewek itu tidak sendirian, ada seorang cowok bersurai cepak yang bersandar tenang di tembok koridor.
"Griya mana?" Alvira bertanya panik, Ana menoleh dengan tatapan cemas yang tidak ditutup-tutupi.
"Di dalem sama Raja."
"Terus gunanya Radit di sini apa kalau gak bisa nolongin Griya?" Alvira berujar sinis, melirik Radit yang masih setia bersandar dengan tenang. Merasa dirinya disebut, cowok itu menoleh.
"Dia udah coba ngomong sama Raja tapi gak digubris, mau dobrak pintu tapi gak berani ngerusak properti sekolah juga." Ana menggedikkan bahu, menyuarakan alasan yang Radit lontarkan padanya tadi.
"Alah, alasan!" Alvira melayangkan tatapan tajam pada Radit yang kini balas melihatnya dengan alis terangkat, "bilang aja lo mau berduaan sama Ana. Ya kan? Gue udah bisa nebak otak playboy lo!" lanjutnya telak. Radit langsung berdiri tegap, tampak salah tingkah.
Ah, acara modusnya mudah sekali ditebak ya? Bukannya sudah jelas jika sebagai salah satu donatur di sini, Raditya bisa saja merusak pintu ruang serba guna tanpa mendapat masalah?
"Pintunya sudah saya buka." Adreno berujar datar, semua pandangan langsung mengarah pada sang ketua OSIS yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Di tangan cowok itu tergenggam banyak sekali kunci dengan gantungan tengkorak.
Kenapa mereka melupakan fakta jika Adreno adalah pemegang kunci sebagian besar ruangan di SMA Pandhawa?
"Kenapa gak bilang dari tadi!" Alvira berdecak kesal, menghentakkan kaki sebelum mengikuti Adreno yang sudah masuk lebih dulu. Ana dan Raditya menyusul dari belakang dengan langkah panik.
Sebenarnya~ apa yang sedang dilakukan dua makhluk beda jenis itu di ruangan serba guna?
***
Adreno berjalan cepat menyusuri koridor. Setelan jas yang tadi membalut tubuh tegapnya sudah ia sampirkan ke bahu, menampakkan kaus putih polos yang tengah ia kenakan.
Tepat di depannya, Alvira melangkah lebih dulu dengan gerakan panik. Dalam hati Adreno sedikit memuji sifat Alvira yang mementingkan teman-temannya, ia bahkan rela tidak membawa skateboardnya ke sekolah karena ingin segera sampai.
Adreno tahu jika cewek itu selalu menunggangi skateboard kesayangannya saat pergi ke sekolah. Mungkin karena itu Alvira jadi sering datang datang terlambat. Adreno tidak tahu, entah sejak kapan dirinya mulai memeperhatikan Alvira diam-diam. Mungkin sejak mereka bertemu di gang kotor bersama para penjahat itu? Atau malah sejak tatapan pertama mereka saat Alvira dihukum? Entahlah.
Alvira~
Cewek itu sedikit terlihat berbeda malam ini. Dress peach tanpa lengan yang ia pakai membuat penampilannya berubah hingga 180 derajat. Dengan surai kecokelatan yang ia kuncir tinggi, Alvira tampak lebih manusiawi dan manis.
Alvira itu, kenapa selalu bisa membuat dirinya khawatir? Apalagi saat melihat cewek itu berjalan sendirian di koridor sekolah tadi.
Kenapa cewek itu tidak sadar dengan bahaya yang mungkin saja mengancamnya?
Adreno masih dalam proses pencarian mengenai dalang dari pemberontak yang menghadangnya seminggu lalu. Rencananya besok pagi ia akan menemui Kaivan untuk membicarakan masalah ini. Kegiatan OSIS benar-benar menguras waktu dan tenaganya. Dan Raja~ malah sibuk mencari masalah baru.
Adreno menghentikan langkah saat melihat Alvira berjalan panik ke arah Ana di depan ruang serbaguna. Di samping mereka, ada Raditya yang sedang bersndar santai di tembok koridor.
Adreno hanya menaikkan alis saat melihat ketiga orang itu mulai berdebat. Dalam hati cowok mencibir tingkah Raditya yang sangat kekanakan.
Hanya karena ingin berdua saja dengan Ana, cowok itu sampai hati membiarkan Raja mengurung Griya di ruangan serbaguna. Atau itu memang rencananya? Reno tahu betul apa isi kepala Radit hanya dengan melihat tingkahnya saja.
Adreno mengeluarkan kunci dari saku celananya, memilahnya sebentar, memilih kunci yang tepat untuk ruangan serbaguna. "Pintunya sudah saya buka," ujarnya datar saat pintu itu sudah berhasil terbuka.
"Kenapa gak bilang dari tadi!" Reno hanya menaikkan alis saat mendengar Alvira berdecak, kemudian melangkah masuk untuk mencari keberadaan Raja.
Ruang serbaguna ini lebih mirip seperti ruang pertemuan dengan banyak kursi dan meja yang telah tertata rapih, lemari besar di sudut ruangan, dan seperangkat alat elektronik untuk melakukan presentasi.
Adreno mengedarkan pandangan. Tatapannya langsung bertemu dengan manik biru milik Raja yang kini balas menatapnya datar. Adreno mengulas senyum menyeringai saat melihat Griya tertidur dengan nyaman di pundak cowok itu.
"Menikmati, hm?" Adreno berujar datar, tapi kenapa sekarang Rajawali terlihat salah tingkah?
"Loh, kok Griya malah enak-enakan tidur sih?" Alvira mucul dari balik pintu, berdecak kesal dengan wajah membrengut. Raja melayangkan tatapan tajam pada Vira, menyuruh cewek itu memelankan suara, yang dibalas dengan cibiran.
"Alah, percuma dong gue capek-capek ke sini. Orang yang dikhawatirin malah enak-enakan tidur kayak koala."
Adreno menahan tawa saat melihat raut wajah Alvira yang berubah merah dengan bibir mengerucut. Rambut yang tadinya tertata rapih kini sudah berubah berantakan karena tangan cewek itu yang tidak bisa diam.
"Tau ih si Griya. Pengen gigit aja rasanya." Ana menimpali dengan kesal, Radit yang berdiri di bekangnya terkekeh.
"Jangan gigit Griya An, gak enak bekasnya Bang Raja. Gigit bibir gue aja yang lebih manis." Radit berujar dengan nada menggoda, sedang Ana memalingkan wajah dan menendang tulang kering Radit kuat-kuat.
Radit meringis. Tidak menyangka jika tendangan seorang Ana bisa sesakit ini.
"Gue mau pulang aja deh, gak guna juga di sini. Lo urus Griya ya Bang Jaja. Awas kalo enggak." Alvira mengacungkan jari telunjuk seolah mengancam, kemudian berbalik meninggalkan Raja yang menatapnya dengan sorot keberatan.
Adreno melemparkan kunci ruang serbaguna ke hadapan Raja ketika Alvira, Ana, dan Radit sudah menghilang di balik pintu. "Antar dia pulang. Besok kumpul di tempat biasa. Sepertinya Kaivan sudah tidak sabar untuk segera bertemu saya."
Setelah mengatakan itu, Reno bergerak pergi, meninggalkan Raja yang kini menghela napas lelah sambil menatap Griya yang masih tertidur dengan sorot tak terbaca.
***
"Pulang dengan siapa?"
Alvira menghentikan langkah, menoleh ke arah Adreno yang kini sudah berdiri menjulang dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana. Cewek itu menaikkan alis, nyatanya kedekatan mereka satu jam lalu tidak cukup untuk membuat sikap Alvira berubah ramah.
"Bukan urusan lo. Gue bisa pulang sendiri," ujarnya ketus, seperti biasa.
Adreno mendesah, entah kenapa ia merasa malas untuk meladeni sikap ketus cewek itu. "Alvira, bisa kita sedikit berdamai hari ini? Saya sedang malas berdebat."
"Siapa juga yang ngajakin lo debat? Kalo mau debat mah sana, ke gedung DPR!"
Adreno tidak menanggapi. Dengan langkah tegap, ia berjalan mendekati Alvira yang kini mematung. Cowok itu mengulurkan tangan, "Sekali ini saja, Alvira. Biarkan saya mengantar kamu."
Alvira mendengus, melipat kedua tangannya di depan d**a. "Lo kenapa maksa sih Ren? Gue bukan anak kecil yang harus lo ikutin kemana pun."
"Dan kenapa kamu tidak mengerti juga, Alvira? Saya mengkhawatirkan kamu." tangan yang sedari tadi Adreno ulurkan kini mulai berani menyentuh surai milik Vira yang mencuat nakal. Sorot abu itu berubah sendu.
Kenapa cewek ini tidak sadar-sadar juga jika dirinya sering Adreno perhatikan?
***