"Eh, tumben si Vira kelihatan anteng dan gak banyak tingkah gitu?" Rafan mencondongkan tubuh, berbisik ke arah Dika yang duduk di depannya.
Dika mengangguk beberapa kali hingga pipinya yang tambun itu ikut bergerak, mengamati Alvira yang kini sedang menelungkupkan wajahya ke meja. "Iyeh. Kita godain aja yok!"
Kedua cowok itu bangkit secara bersamaan, berjalan mengendap-endap ke arah bangku milik Alvira yang hanya berjarak dua meja dari samping kiri.
"Gue lagi gak mood digangguin, ya. Enyahlah kalian berdua!"
Suara lantang Alvira menggema memenuhi ruangan. Rafan dan Dika yang hampir menepuk pundak Alvira langsung mematung. Keduanya saling berpandangan dengan alis berkerut bingung.
Kenapa Alvira bisa tahu keberadaan mereka ketika cewek itu dalam posisi membelakangi mereka seperti ini?
"Kok tau? Diem-diem ternyata lo cenayang ya?" suara cempreng Rafan terdengar setelah hening beberapa saat. Dirinya langsung membalik kursi di depan Alvira dan mengambil duduk di sana.
"Bau kalian udah kecium dari tadi. Busuk." Alvira menjawab ketus, masih menelungkupkan wajahnya tanpa mau repot-repot menatap dua cowok itu.
Rafan mengendus kedua ketiaknya bergantian, "Sialan lo. Gue bau minyak telon gini lo kata sampah. Hidung lo gak minta di kolokin emang."
"Kalau gak punya kolokan gue kasih deh," Dika menimpali dengan nada polos. Rafan hanya memutar bola mata dan mengalihkan atensinya lagi pada Alvira.
"Eh, katanya ntar abis pulang sekolah ada tawuran sama anak Baladewa."
Alvira langsung menegakkan tubuh. Netranya terbuka lebar dengan tangan terangkat menepuk dahi. "Gue hampir lupa, gila." Buru-buru Alvira membenahi buku-bukunya dan berdiri. "Lo ikut gak?"
Jika sudah berhubungan dengan tawuran seperti ini, maka Alvira dan Rafan akan jadi partner in crime yang kompak.
Rafan menggeleng, lalu melirik Dika sekilas. "Nanti gue nyusul sama Dika. Gue harus ngadep bu Endah dulu soalnya."
Alis milik Alvira menukik tajam, bibirnya tersungging mengejek, "Ah, cemen lo. Masa sama bu Endah gak berani? Udah jam pelajaran terakhir juga."
"Gue terancam dikeluarin, b**o!"
Tawa Alvira menggelegar. Akhirnya~ setelah setahun lebih satu kelas dengan Rafan, Alvira bisa mendengar cowok itu berkata demikian. Biasanya Rafan selalu tidak ambil pusing jika diancam dikeluarkan dari sekolah dan tetap mengulangi perbuatan yang sama. Kenakalan Rafan memang sampai puncaknya ketika naik kelas XI. Dan kemarin~ orang tua cowok itu dipanggil kepala sekolah untuk menghadap.
"Ketawa aja sepuas lo." Rafan melenggang pergi. Tak lupa menyeret tangan besar Dika untuk keluar kelas mengikutinya. Meninggalkan Alvira yang kini masih memegang perut kegelian.
Tawa Alvira terhenti saat punggung dua cowok itu sudah tak terlihat. Baru saja dirinya hendak keluar kelas sambil menenteng tas, langkah Alvira langsung terhenti saat melihat dua sahabatnya sudah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Ia menghela napas malas dan mundur selangkah.
Ana melotot kejam, "Mau tawuran lagi, kan? Gak boleh!"
"Gue udah lama gak tawuran An, kali ini aja ya? Please?" Alvira berujar dengan nada membujuk. Kedua tangannya ia tangkupkan ke depan seolah memohon.
"Gue gak mau lo kemapa-napa Vir, lo tau kan kalau tawuran itu bahaya?" Ana mencoba tidak terpengaruh dengan tatapan serupa anak kucing milik Alvira.
Alvira menegakkan tubuh. Membenahi tas punggungnya yang sedikit melorot. "Tapi selama ini gue baik-baik aja, An. Gue bisa jaga diri. Karena sampai kapan pun, gue adalah Alvira Anindya. Bukan cewek lemah itu."
Setelah mengucapkan itu, Alvira segera berlalu, melewati Ana dan Griya begitu saja. Karena memang sampai kapan pun, Alvira akan tetap jadi Alvira Anindya.
Ana menatap punggung sang sahabat dengan sorot sendu. Nyatanya~ Ana hanya khawatir dengan keselamatan Alvira. Dirinya tidak ingin cewek itu mengulang kesalahan yang sama dengan sahabat mereka dulu, Ayana.
Ayana meninggal dunia karena tawuran...
Dan Ana~ tidak mau jika Alvira mengalami hal yang sama.
***
Alvira berjalan mengendap-endap, netranya mengedar awas untuk memindai situasi. Suasana yang lenggang pada jam pelajaran seperti ini memudahkannya untuk melarikan diri.
Tujuannya adalah pintu besi kecil di parkiran belakang sekolah. Pintu itu mengarah langsung pada pembuangan sampah dan jalan gang kecil, tempat yang paling aman untuk melarikan diri karena tidak ada cctv yang terpasang di sana.
Rencananya, Alvira akan menunggu Mas Agus-tukang kebun sekolah membuka pintu itu untuk membuang sampah. Lalu kemudian, ketika ada kesempatan, dirinya akan kabur lewat jalur itu. Dengan selamat sentosa seperti yang biasa ia lakukan.
Baru saja hendak menuju tempat persembunyian, lagi-lagi sebuah suara berat menginterupsinya. Suara seseorang yang membuat Alvira ingin melarikan diri tadi malam. Siapa lagi kalau bukan... Adreno?
"Mau kabur?"
Alvira berdecak sebelum membalikkan tubuh. Rasanya ingin memaki cowok itu sekuat tenaga. Kenapa Adreno selalu hadir dimana pun Alvira berada? Apa cowok itu selalu mengikutinya?
Alvira benar-benar tidak suka dengan kehadiran Adreno. Apalagi semenjak kejadian cowok itu memeluknya semalam. Alvira benci saat menyadari jantungnya mulai berdegup tak beraturan saat berada di dekat cowok itu.
Kenapa efek seorang Adreno tiba-tiba berubah mengerikan?
Alvira takut jika dirinya tidak segera menjauh dari Adreno, ia akan benar-benar jatuh pada perangkap cowok itu. Dan Alvira~ tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi.
"Gak usah ikut campur, bisa?" Alvira mendesis marah. Bara kebencian mulai ia pupuk sekuat tenaga untuk mencegah perasaan anehnya pada si ketua OSIS agar tidak semakin berkembang. Dan lagipula~ Adreno sudah punya pacar, kan? Cewek bergaun biru semalam?
Kenapa dia tetap keras kepala dan mengganggu ketentraman Alvira?
Adreno maju dua langkah, Alvira refleks mundur hingga menyentuh tembok di belakangnya. Jarak mereka kini hanya tersisa sejengkal. Cowok itu tersenyum manis, "Kenapa kamu selalu bersikap sinis pada saya? Apa saya pernah merugikan kamu, Alvira?"
Kenapa? Alvira~ juga tidak tahu alasan yang sebenarnya. Selama ini, Alvira yang selalu bersikap anti dan sinis pada cowok itu, menentang semua yang Adreno lakukan dan katakan. Cowok itu memang tidak pernah merugikan Alvira. Tapi~ kehadirannya yang terus mengganggu membuat Alvira tidak nyaman.
"Pergi dari hidup gue. Dan gue gak akan sinis sama lo," balasnya final. Ada setitik rasa tidak rela sedetik setelah perkataan itu terucap. Tapi Alvira mengabaikannya.
Mungkin~ jika Adreno menjauh darinya, hidup Alvira akan kembali lagi seperti dulu. Tidak akan ada jantung yang berdegup kencang, tidak ada lagi yang mucul secara tiba-tiba, dan yang paling penting~ tidak ada Adreno.
Apa Alvira sanggup dengan segala perubahan itu?
Alvira terkesiap saat sebuah tangan dingin menyentuh dagunya. Ia mendongakkan wajah dan menemukan manik kelabu itu menatapnya dengan sorot tak terbaca. "Jangan harap saya akan melakukannya, Alvira. Karena kamu~ tidak akan pernah lepas dari hidup saya jika saya tidak mengizinkannya." Adreno berujar dingin, cengkeraman di dagu Alvira semakin kencang hingga membuat cewek itu meringis.
Lalu, dua detik kemudian, Adreno melepaskan jemarinya dan bergerak mundur satu langkah. Seolah tidak pernah terjadi apapun sebelumnya, Adreno tersenyum kecil. "Kamu~ akan ke Baladewa kan? Saya ikut."
Alvira menggerjab, mengembalikan orientasi. Kemudian alisnya terangkat seolah mengejek, "Seorang Adreno Yudhistira, ketua osis yang diagung-agungkan se-SMA Pandhawa ini mau ikut gue tawuran?" cewek itu menggeleng dramatis. "Sulit dipercaya."
Alis Adreno menukik tajam,"Bukannya saya hanya 'sekedar' ketua OSIS? Bukan kepala sekolah atau waka kesiswaan kan?" cowok itu tersenyum menyeringai, membalikkan kata-kata Alvira waktu itu.
Alvira melotot, merasa kalah dengan argumen Adreno kali ini. Ia mendengus jengkel. "Terserah lo! Tapi jangan deket-deket sama gue."
Tangan Alvira terangkat untuk mendorong d**a Adreno agar menjauh. Tapi nyatanya cowok itu lebih sigap dan menarik tangan Alvira ke dalam genggamannya, menyeret cewek itu mengikutinya.
"Apa sih?" Alvira mencoba berontak, tapi tenaganya kalah jauh dengan cowok itu.
Kemudian, setelah mereka sudah berjalan beberapa langkah, mata Alvira terbelalak kaget saat melihat sebuah motor sport warna putih sudah terpakir rapih di depan gerbang parkir yang kini terbuka lebar.
Bagaimana bisa?
"Naik." Alvira menggerjab saat di tangannya sudah terdapat sebuah helm dengan warna... pink?!
Apa tadi?
Pink????
"Hanya itu yang bisa saya temukan di gudang sekolah, Alvira. Pakai sendiri atau saya akan memakaikannya ke kepalamu dengan paksa."
***
Alvira sibuk menggerutu sepanjang perjalanan. Bibirnya tidak berhenti merapalkan makian untuk Adreno. Setelah memaksanya untuk memakai helm sialan ini, cowok itu malah sengaja melajukan motornya dengan kecepatan tinggi hingga mau tidak mau, Alvira harus berpegangan pada pinggang cowok itu.
Cowok itu memang sengaja ya? Dan kenapa jantung Alvira malah berdebar tak karuan dengan posisi seperti ini?
Adreno itu~ benar-benar sialan.
Alvira mengalihkan pandangannya dari punggung tegap Adreno ke samping kiri, menatap jajaran pepohonan yang berbaris rapih, menghalangi panas matahari siang ini dengan daun-daunya yang rindang.
Tidak seperti SMA Pandhawa yang berlokasi di pusat kota, gedung SMA Baladewa terletak di pinggiran kota, jauh dari kantor polisi dan tempat sejenisnya. Tempat ini lumayan sejuk karena banyak pepohonan yang masih terjaga keasriannya. Di sini juga tidak banyak bangunan-bangunan tinggi menjulang.
Laju motor mulai memelan hingga kemudian berhenti total. Adreno memarkirkan motornya di bawah pohon rindang, tepat di samping bekas gudang yang tidak terpakai. Tempat ini~ selain tidak terlalu jauh dari lokasi tawuran, juga merupakan tempat paling aman untuk bersembunyi karena letaknya yang cukup stategis dan terpencil.
Angin sejuk berhembus pelan, menyapa mereka pertama kali. Alvira segera turun dari motor dan membuka helm laknat yang menyesaki kepalanya sedari tadi. Gumaman lega langsung lolos dari bibirnya sedetik setelah helm itu terlepas.
Akhirnya!
Cewek itu merogoh tas punggung, mengambil slayer hitam yang biasa ia gunakan untuk samaran, tak lupa dengan jaket kulit warna senada untuk menyembunyikan badge sekolah yang terpasang di bahunya.
Saat hendak memakai benda itu, tangan Alvira berhenti di udara ketika tanpa ia prediksi, Adreno sudah mengambilnya cepat. Alvira hendak protes, tapi terlambat saat melihat cowok itu sudah mengikatkan slayer hitam milik Alvira hingga menutupi mulutnya.
Alvira menggeram, kedua tangannya terangkat ke udara untuk menjangkau miliknya. Tubuh tinggi Adreno tidak menguntungkan Alvira sama sekali. "Itu punya gue, pea! Balikin!"
Perkataan Alvira terhenti berikut pergerakan tangannya saat merasakan sebuah benda bulat kembali menyesaki kepalanya.
"Kamu pakai helm itu saja. Biar saya pakai saputangan kamu."
Sialan.
Kini Alvira bisa melihat mata cowok itu berbinar jahil menatapnya. Dan Alvira yakin jika dibalik slayer miliknya yang kini menutupi sebagian wajah cowok itu, ada senyum mengejek yang ditujukan pada dirinya.
Kaki Alvira refleks menendang tulang kering cowok itu kuat. "Gak sudi. Balikin gak?!" ujarnya kesal sambil berusaha melepas helm laknat yang masih menempel di kepalanya.
Adreno meringis. Kemudian, tangan besarnya menepuk puncak helm pink itu agar tetap menempel di kepala Alvira. "Jangan dilepas, kamu lebih terlihat cantik kalau pakai helm ini."
Cewek itu mengaduh. Matanya menyipit sinis dengan bibir mencebik marah. "Lo itu~ emang bener-bener sialan ya? Make helm warna pink terang dan banyak lope-lope norak gini lo anggep gue cantik? Mati aja sana!"
Adreno terkekeh. Tidak mau memancing kemarahan Alvira lebih lama lagi, dirinya mengalihkan pembicaraan. Ia melirik ke bawah. "Kamu yakin mau pakai rok?"
Alvira mengalihkan pandangan ke arah rok pendeknya. Ia meringis, lupa dengan helm laknat yang masih terpasang di kepalanya, ia berujar. "Ya mau gimana lagi? Gue lupa kalau ada tawuran hari ini," kemudian ia mendelik, menatap Adreno dengan sorot menuduh. "Gara-gara lo juga sih!"
"Kok saya?"
"Kan lo yang nganterin gue kemaleman!"
Adreno hanya tertawa singkat. Kemudian merogoh sesuatu dari saku celananya, sebuah kotak kecil berwarna hitam. Alvira mengerutkan kening saat cowok itu mengambil sebuah benda bening dari dalam sana dan menempelkannya bergantian pada kelopak matanya.
Kini, Adreno tampak berbeda dengan bola mata berwarna hitam pekat. Alvira menggerjab, seperti teringat dengan seseorang. Tapi~ siapa? Rasanya, Alvira seperti pernah melihat mata dan penampilan seseorang yang seperti ini.
Ia menggigit bibir, merasa ragu dengan pemikirannya. "Lo pake soflens?" akhirnya pertanyaan tidak penting itu yang keluar dari mulutnya. Alvira bodoh.
"Warna mata saya terlalu mencolok," Adreno menggedikkan bahu. Kemudian mengambil jaket merah menyala yang sedari tadi ia sampirkan di samping kemudi motor dan memakainya cepat. Tak lupa, cowok itu juga menangkupkan tudung jaket ke kepalanya.
"Ayo, kita sudah hampir telat."
"Tunggu!" Alvira terbelalak. Kini, ia tahu siapa sosok yang mengganggu pikirannya sedari tadi. Alvira ingat sekali dengan jaket merah menyala berlambang tengkorak warna hitam di bagian tudung kepala itu. Tidak salah lagi.
"Ternyata si Max itu elo????!" Alvira memekik dengan mulut terbuka lebar. Jadi selama ini~ Adreno itu...
Musuh bebuyutannya ketika tawuran? Bagaimana bisa selama ini Alvira tidak sadar?
Alvira benci sekali dengan sosok Max yang selalu hadir di arena tawuran dan menjadi pihak lawan. Max itu sangat sulit untuk dikalahkan. Gerakannya seringan bulu tapi mampu mengenai sasaran pada bagian vital hingga korbannya langsung lumpuh dan tidak sanggup melawan. Max sudah terkenal sebagai dewa tawuran di kalangan anak-anak bandel semacam Alvira.
Tidak pernah ada seorang pun yang tahu identitas cowok itu walau sudah menyelidiki sekuat tenaga. Max itu cepat sekali menghilang seiring dengan kedatangannya yang juga tiba-tiba.
Jadi selama ini... Max itu Adreno? Alvira benar-benar tidak menyangka jika cowok baik-baik semacam Adreno ternyata juga~ berandalan.
Dan~ kemana perginya masker merah darah yang selalu Max kenakan untuk menutupi identitasnya?
"Kamu berlebihan sekali." Adreno berujar tenang. Tersenyum kecil, ia menepuk puncak helm pink yang Alvira kenakan beberapa kali. "Kamu tidak mengenal saya dengan baik, Alvira. Jadi~ jangan kaget jika suatu hari nanti menemukan sesuatu yang mengejutkan dari saya."
Alvira hanya berkedip saat diperlakukan seperti itu oleh Adreno. Keterkejutan rupanya masih menyelimuti dirinya. Lalu kemudian, saat cowok itu sudah menghilang dari pandangan, Alvira menepuk kening seolah tersadar.
"Adreno sialan! Tunggu pembalasan gue ya!"
***
Suasana sudah sangat ramai saat Alvira sampai di arena tawuran. Para peserta dari kedua kubu sudah saling berhadapan dengan berbagai perlengkapan pendukung. Rata-rata dari mereka menggunakan balok kayu dan batang bambu kering.
Tawuran seperti ini~ entah kenapa sudah memliki hukum tidak tertulis yang mengikat setiap anggotanya. Tidak ada benda tajam atau salah satu dari kelompok yang dicurangi akan memanggil pihak berwajib.
Alvira menjadi salah satu anggota tim Gatotkaca, dan lawannya adalah anak Baladewa sendiri. Dan karena Adreno datang bersama Alvira, mau tak mau cowok itu harus jadi satu tim dengannya. Alvira tersenyum menyeringai. Lihat saja nanti. Alvira~ akan mencari celah agar bisa memukul cowok itu sekuat tenaga!
Alvira bisa mendengar banyak geraman protes di kubu Baladewa saat melihat Adreno bersandar dengan tenang di bawah pohon mangga, tepat di wilayah Gatotkaca. Alvira meringis. Jika sudah seperti ini~ mereka sudah tahu pasti jika kemenangan akan langsung berpihak pada Gatotkaca.
Cewek itu mengedarkan pandangan, mencari Reyhan; sepupu sekaligus ketua geng Gatotkaca yang memintanya untuk membantu menyelesaikan tawuran kali ini. Alvira sebenarnya malas sekali jika berhubungan dengan sepupu biadapnya itu.
Tapi~ mau bagaimana lagi? Tawuran seperti tidak terjadi setiap hari, dan Alvira harus memanfaatkan situasi sebaik mungkin. Tangannya sudah terasa gatal karena sudah terlalu lama tidak melayangkan pukulan pada cowok-cowok b******k yang ia temui. Lalu saat merasakan bahunya ditepuk, ia menoleh.
"Lo hebat Vir, bisa bawa Max masuk ke kubu kita." cowok bersurai merah terang mengkurir senyum puas. Ia melirik Adreno yang masih setia bersandar tanpa tepengaruh apa pun.
Alvira berdecak. "Bukan gue yang bawa dia, tapi dianya sendiri yang maksa ikut gue."
"Oh ya?" Reyhan mengangguk singkat. Kemudian, sudut bibirnya sedikit terangkat ke atas menahan tawa. "Lo kelihatan lebih feminim pake helm itu Nyet. Gue suka. Jadi pacar gue mau gak?"
Alvira menepuk bahu cowok itu kencang. "Sialan lo!"
Reyhan meringis sambil memegangi lengan, belum sempat mengeluarkan protes, dirinya sudah terdorong ke depan saat anak-anak sudah memulai aksinya tanpa dikomando.
"Anjing! Gue belum suruh mulai kenapa pada mulai duluan sih?" cowok itu menggeram marah sebelum akhirnya ikut berlari dan menyerang anak Baladewa.
Alvira sendiri langsung bertindak saat seorang anggota Baladewa melintas di depannya. Tidak tanggung-tanggung, Alvira melayangkan tinjunya pada cowok bersurai gondrong itu hingga terjerembab ke tanah.
Bibir Alvira tersungging sombong. Baginya, cowok lemah semacam itu memang harus segera di habisi supaya tidak banyak tingkah. Setelah menendang pinggang anak Baladewa yang masih meringis, ia segera berlari untuk mencari mangsa lain.
Alvira~ selalu membenci makhluk berjenis kelamin laki-laki. Baginya~ mereka itu tidak lebih dari sampah. Sering kali mempermainkan hati wanita dan membuangnya ketika puas, apa itu tidak bisa disebut b******n?
Jantung Alvira mulai memacu tak terkendali. Sesuatu mulai bergolak di dadanya ketika dirinya teringat kembali dengan isak tangis sang mama ketika ayahnya memilih pergi.
Satu per satu musuh berhasil ia pukul mundur seiring dengan deru napas yang mulai memendek.
Pukul. Tendang. Injak.
Alvira menyeringai puas. Keringat mulai bercucuran di balik helm pink yang ia kenakan, pun dengan seluruh tubuhnya yang mulai memanas terbakar sinar matahari.
Alvira hendak mengahampiri seseorang yang akan menghantam punggung Reyhan dengan kayu sebelum tubuhnya dibalikkan dengan paksa ke belakang. Alvira menggeram marah. Tinjunya sudah hampir mendarat, tapi kemudian, Alvira membelalakkan matanya saat menyadari sosok itu.
"Elo?"
Sosok tinggi itu mengukir sebuah serigai jahil, "Hallo... Alvira... kita bertemu lagi."