"Lo beneran gak mau ikut?" Alvira bertanya sekali lagi pada Rafan yang tampak ogah-ogahan di tempat duduknya.
Bel pulang sekolah sudah berdenting satu menit lalu, kelas dibubarkan lebih awal karena rapat bulanan. Murid-murid lain sudah tunggang langgang meninggalkan kelas sedari tadi.
Cowok itu bertopang dagu sambil menatap Alvira malas. "Enggak, Alvira sayang. Lo ini kenapa sih? Hobi banget bikin anak baik-baik macem gue ini ikutan tawuran?"
Rahang Alvira nyaris jatuh mendengarnya. Anak baik-baik dari comberan? Ini bocah minta digetok kepalanya. Padahal sudah beberapa kali Alvira pernah memergoki Rafan di arena tawuran.
Kalau bukan karena timnya kali ini kekurangan orang, dia juga enggak bakal sudi ngajak Rafan.
"Alah, bilang aja banci." Alvira berujar sinis. Mengambil tasnya dan keluar kelas sambil menahan dongkol.
Astaga, Alvira menyesal karena sempat membuang waktunya yang paling berharga buat ngomong sama Rafan. Alvira baru akan keluar gerbang ketika sebuah langkah kaki terdengar di belakangnya. Berbalik, ada Rafan yang masih memasang tampang bete.
"Gue mau ikut. Tapi lo tarik kata-kata lo yang bilang gue banci."
Dan, Alvira menyeringai sambil menepuk bahu Rafan keras. "Oke deh. Rafan yang gagah dan perkasah! Ikut gue!"
****
Sebenarnya, Alvira ikut tawuran cuma buat mengisi waktunya saja. Dia suka berkelahi, memasang kuda-kuda dan menghajar lawannya hingga terkapar. Apalagi jika lawannya adalah cowok-cowok b******k semacam Adreno. Alvira pasti akan memukul mereka dengan senang hati.
Kali ini Alvira dimintai bantuan oleh SMA Cendrawasih, dan mereka akan melawan SMA Taruna. Dari yang Alvira dengar, cowok-cowok di SMA Taruna itu cemen-cemen--tipe anak orang mami yang cuma modal tampang. Jadi Alvira positif thinking kalau timnya akan menang kali ini.
Alvira sedang memasang maskernya ketika Aldo--temannya di skater's jake--sekaligus orang yang memintainya bantuan datang dan menepuk bahunya pelan. Mereka bertos sekali dan tertawa.
"Jadi, lo bawa berapa orang?" tanya Aldo memulai percakapan.
Alvira menunjuk Rafan dan beberapa orang yang tengah bersiap di bawah pohon mangga. "Cuma sepuluh sih. Lumayan lah buat nambah personil."
"Gue emang enggak salah minta bantuan sama lo Al. Thankyou." balas Aldo lagi. Tersenyum lebar.
Alvira hanya mengibaskan tangannya tak acuh. "Gue sih positif kalo kita bakal menang. Asal enggak ada si dewa aja yang tiba-tiba nongol di kubu Taruna."
Aldo meringis. Dewa adalah sebutan buat orang yang mengaku dirinya sebagai Max, si cowok bertudung dan bermasker merah yang selalu tiba-tiba hadir di tengah tawuran. Si Max ini selalu mengikuti kubu manapun yang ia mau secara random--dalam artian tidak mau terikat pada suatu kelompok. Dan seringnya tim yang dimasuki Max akan menang telak.
Ya, setidaknya kalau ada tawuran seperti sekarang, yang mereka nantikan adalah kemunculan Max menjadi bagian dari kelompok mereka. Dan Alvira--sangat membenci Max karena dia cowok yang sombong. Ya gimana enggak sombong kalau diajak kenalan langsung lari kayak orang kecopetan?
"Berdoa aja supaya Max tiba-tiba mati dan enggak datang ke sini," Balas Aldo, yang segera diamini oleh Alvira.
Tapi nyatanya, harapan hanya sekadar harapan. Karena pada kenyataannya, Max tiba-tiba muncul di kubu Taruna dan membuat Cendrawasih--dengan terpaksa--mundur karena kalah kekuatan dan jumlah.
Max benar-benar sialan. Dan Alvira bersumpah--suatu saat nanti, akan membuat Max babak belur dengan tangannya sendiri.
****
Beberapa hari ini Alvira berhasil menghindar dari Adreno. Rasanya malas sekali jika harus melihat muka songong cowok itu. Apalagi setelah ia dipermalukan dengan ucapan bodohnya. Astaga. Alvira ingin mengetuk kepalanya jika mengingat kejadian laknat itu.
Dan lagipula~ Adreno pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi acara puncak dies natalis sekolah akan ke nanti malam, di aula sekolah, dengan berbagai persiapan yang sudah matang. Jadi kecil kemungkinan dia akan bertemu dengan Adreno.
Alvira berjalan mengendap-endap, melewati tembok belakang gedung untuk sampai dikelasnya dengan selamat. Untung saja, kelas cewek itu berada di dekat parkiran, jadi ia hanya harus menyebrangi dua kelas lain untuk mencapai kelasnya sendiri.
Dan... sampai kapan Alvira harus melakukan hal konyol seperti ini?
"Kalau kamu seorang pencuri, pasti kamu sudah mati dihajar warga sekarang. Tidak punya bakat bersembunyi sama sekali."
Tubuh Alvira seketika menegang. Bukankah itu suara... ia langsung berbalik dan mendapati sang ketua OSIS sedang bersedekap sambil menatapnya tajam.
Ya Tuhan, dari sekian banyak kemungkinan di dunia ini, kenapa dia harus bertemu Adreno lagi?
"Ngapain lo di sini?" Alvira memicingkan mata menyelidik, menyenderkan punggungnya ke tembok sambil bersedekap.
Ada yang sedikit berbeda dari sosok lelaki di depannya. Raut wajah itu tampak begitu lelah dengan kantung mata yang cukup tebal, tapi sama sekali tidak mempengaruhi wajah tampannya. Apa mungkin kesibukan mengurus acara puncak membuat cowok itu kurang tidur?
Alvira melirik perban di lengan cowok itu, masih terlihat sama seperti 3 hari lalu. Hey, kenapa ia malah memperhatikan penampilan Adreno?
"Ikut saya, bisa?" cowok bernetra abu itu maju tiga langkah hingga jaraknya kian dekat dengan Alvira.
Alvira memutar bola mata, "Gue ada ulangan matematika."
"Kamu pikir saya bodoh? Hari ini jam kosong, Alvira." dengan tatapan mencela, Adreno segera menarik lengan cewek itu agar mengikutinya.
"Lepasin b**o!"
"Kamu pikir, kamu sudah merasa menang karena berhasil menghindari saya selama tiga hari?" Adreno berkata di sela tarikannya yang semakin kuat, sama sekali tak terpengaruh dengan pemberontakan cewek di belakangnya.
"Tidak Alvira, saya sengaja membiarkan kamu menghindar," lanjutnya lagi. Kali ini Adreno mendorong cewek itu untuk duduk di kursi kayu lusuh di parkiran belakang, tepat di bawah pohon rambutan yang memasuki masa panen.
Adreno mencondongkan badan, mengurung tubuh Alvira dengan kedua tangannya sebelum berucap, "Kenapa menghindari saya? Malu karena saya tidak benar-benar menembak kamu?" ujarnya datar. Ia menaikkan alis saat melihat Alvira yang hanya diam dan memalingkan wajah. "Kamu...tidak berharap lebih pada saya kan?" Adreno melanjutkan ucapannya dengan nada rendah, menanti reaksi Alvira.
Alvira menoleh, menatap si ketua OSIS dengan pandangan marah. "Lo geer banget sih jadi orang! Siapa juga yang ngarepin cowok sombong kayak lo? Gak berguna!" kedua tangannya mendorong d**a cowok itu agar menjauh.
Adreno terkekeh, menaikkan sebelah alisnya menyeringai. "Lalu? Kenapa kamu menghindari saya?"
"Gue cuma... eh, gue gak ngehindari lo kok! Gak usah aneh deh!"cewek itu membalas salah tingkah. Bagaimana Adreno tahu jika selama ini Alvira sengaja menghindarinya? Apa tingkahnya terlalu jelas?
"Oh ya?" Adreno mengusap dagunya seolah percaya. Lalu ia kembali mencondongkan tubuh dan menyipitkan mata, "kalau begitu ikut saya. Kamu punya tanggung jawab untuk acara hari ini, Alvira."
****
Alvira mengerucutkan bibir sepanjang perjalanan. Tas punggungnya masih setia menempel di tubuh, bahkan ia tidak diberikan waktu untuk sekedar menaruh tasnya di kelas. Menyebalkan sekali.
Di depannya kini, Adreno berjalan tenang, mengecek satu persatu pekerjaan anak buahnya. Karena nanti malam adalah acara puncak, maka kegiatan pagi ini akan diisi dengan berbagai macam lomba. Dan seluruh pengurus osis sudah mendapat bagiannya sendiri-sendiri, sedangkan Adreno hanya menjadi penanggung jawab.
Lalu, apa yang Alvira lakukan di sini? Menjadi ekor si ketua OSIS? Kadang-kadang lelaki itu memang sangat menyebalkan ya? Harusnya tadi pagi Alvira tidak usah berangkat sekolah saja.
"Nah, Alvira, kemari." Alvira berkedip. Dilihatnya Adreno sedang menatapnya dengan dahi berkerut, sedang di depannya para pengurus OSIS sudah berjajar rapi menunggu instruksi.
"Apaan?" jawabnya dengan raut wajah bodoh. Alvira ini tidak paham ya?
"Tidak usah banyak bicara, bisa? Cepat kemari."
Dengan langkah pelan, Alvira mendekati cowok itu. Dirinya masih betanya-tanya, hal bodoh macam apa lagi yang akan akan Adreno lakukan padanya?
"Nah, semuanya. Hari ini Alvira akan menjadi tangan kanan saya. Dia akan mendampingi saya untuk mengawasi pekerjaan kalian hari ini. Bisa di terima?" Adreno berkata tegas saat Alvira sudah berdiri di sampingnya.
"Siap. Bisa," ujar mereka serempak.
Alvira berdiri kaku di tempatnya. Kepala Adreno tidak sedang terkena pukul kan? Kenapa dia jadi semakin gila?
***
"Lo kalau mau pingsan mending duduk dulu Nyet. Gak bakalan ada yang sudi buat gotong lo." Radit berjujar sinis, mengangkat kursi di depannya dan melangkah ke arah Alvira yang sedang tertunduk dengan bibir mengerucut.
"Ini mah bukan jadi tangan kanannya Adreno! Tapi jadi babunya dia! Anjuuuu! Pengen gue gelindingin tuh orang rasanya!" Alvira mengerang frustasi, kemudian duduk di atas meja.
Setelah pernyataan konyol Adreno tadi pagi, Alvira langsung cowok itu tarik ke kelas XII MIPA 4. Menemukan Radit, Choky, dan Raja yang sedang menangkat meja untuk kemudian di taruh ke setiap sudut ruangan. Nantinya, kelas ini akan dijadikan tempat lomba membaca puisi. Harusnya lomba itu di adakan di aula sekolah, tapi tempat itu sedang di siapkan untuk acara puncak nanti malam.
"Eh buruan, ambil sapu sana. Lombanya mulai 20 menit lagi tau." Choky-cowok dengan rambut sedikit gondrong itu berucap sambil mengusap peluh di dahi. Salah satu anggota OSIS ini memang yang paling rajin di antara semuanya. Jika ada event selalu memegang bagian perlengkapan.
Alvira memutar bola mata. "Gak sudi. Gue mau balik kelas," ujarnya malas. Cewek itu lalu mengambil tasnya yang tergeletak di bangku dan melangkah keluar.
"Eh, gak bisa gitu lah Nyet! Tanggung jawab lo!" Radit menaruh kembali kursi yang hendak ia angkat dan menghampiri Vira di ambang pintu.
"Apaan sih! Gue bukan anggota osis! Gak ikhlas gue di suruh-suruh kayak gini!" cewek itu mengenyahkan tangan Radit yang hendak menyentuh lengannya. Ia mendesis dan melotot kejam.
Raditya menaikkan alis, "Harusnya Reno yang bantuin kita di sini," ujarnya dengan nada rendah. Cowok itu menundukkan kepala untuk berbisik ke telinga Alvira sambil menyerigai. "Tapi~ lo tahu sendiri kan kalau dia gak bisa? Tau ini gara-gara siapa?"
Alvira memejamkan mata dan mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan segala emosi yang kian memuncak. Adreno segaja melakukan ini ya? Ingin balas dendam karena dirinya sudah melukai cowok itu? Sialan.
"Oke! Fine! Gue bantu," ujarnya final. Alvira melemparkan tas punggungnya ke sembarang arah dan menghampiri Choky yang tengah kesusahan mengangkat meja.
Radit terkekeh. Merasa senang karena keberhasilannya membuat seorang Alvira menjadi penurut. Ternyata cewek brandalan itu punya rasa tanggung jawab juga ya?
"Bang Radit! Vira di sini gak?"
Cowok itu menghentikan tawa, menatap gadis di depannya dengan pandangan aneh. Radit menoleh ke belakang dan berteriak ke arah Raja. "Ga, lo dicariin Griya!"
"Bilang aja gue udah lompat ke jendela." terdengar sahutan dingin Raja dari dalam.
Wajah Griya memanas, ia mengibaskan tangan tanda tidak setuju. "Gue nyariin Vira!" ujarnya kesal.
Radit terkekeh keras. "Dia gak ada. Balik kelas sana!" cowok itu menjulurkan kepala ke belakang Griya, mencari sesuatu. "Ana mana?"
"Ana gak ada. Balik ke kelas sana!" cibirnya dengan nada mengejek, meniru perkataan Radit sebelumnya.
"Sialan."
"Eh, itu bukannya Alvira?" Griya berucap girang saat melihat sang sahabat tengah mengangkat kursi dengan susah payah ke depan papan tulis. Segera ia mendorong tubuh Radit yang mengahalanginya untuk masuk.
Alvira yang mendengar suara cempreng Griya mematung di tempatnya. Dalam hati ia bersyukur sekaligus cemas, semoga saja Griya bisa menyelamatkannya dari neraka ini!
***
"Nanti malem lo harus dateng."
Griya berucap sambil melangkah riang, sesekali menyapa cowok-cowok yang ia anggap ganteng di sepanjang koridor. Sedang Alvira berjalan di sampingnya sambil sesekali menggerutu. Tak peduli jika kini ia menjadi pusat perhatian karena seragamnya yang setengah basah oleh keringat.
Alvira bersedekap, menatap lurus dengan pandangan tak terbaca, "Gak sudi," balasnya datar.
Sontak Griya mendahului langkah Vira dan memegang ke dua pundak cewek itu hingga langkah mereka terhenti. "Ya gak bisa gitu dong! Gue udah nyelametin lo dari Adreno kan?" Griya berujar tidak terima, menatap sahabatnya tajam.
Alvira balas melotot, "Lo datengnya telat, b**o. Nih, liat seragam gue udah basah," cibirnya sinis, menunjukkan kerah baju yang basah.
"Alah, gue gak mau tau! Pokoknya lo harus dateng!" katanya keras kepala. Griya menghentakkan kaki marah sebelum berbalik dan meninggalkan Alvira yang menatapnya dengan alis terangkat.
"Dasar tukang perintah, kekanakan, bloon, nyebelin," Alvira mengumpat sambil melanjutkan langkah, menatap punggung Griya yang mulai hilang ditelan koridor, "temennya siapa sih? Emang ada yang betah gitu temenan sama dia?" lanjutnya menertawakan diri sendiri.
Yah, walau bagaimana pun sifat Griya, cewek itu selalu ada dalam setiap keadaan, menemaninya dengan kata-kata konyol yang kadang tidak masuk akal. Dan yang paling penting, Griya bukan cewek munafik yang tiba-tiba menusuk sahabatnya sendiri dari belakang.
***
'Alvira! Cepetan kesini! Griya bikin masalah lagi!'
Suara panik Ana dari seberang telepon membuat Alvira bangkit duduk dengan waspada. Surai kecokelatan cewek itu terlihat berantakan dengan anak rambut yang mencuat ke berbagai sisi, juga dengan piama teddy bear yang ia kenakan pun tak kalah kacaunya.
Tadi pagi, Alvira pulang ke rumah dengan alasan sakit. Cewek itu tidak mau repot-repot menunggu hingga siang hanya untuk melihat pertandingan serta game konyol di sekolah. Baginya, hal paling nyaman di dunia ini adalah skate dan tempat tidurnya.
"Apa lagi sih? Gue ngantuk, tau gak?" ia berdecak, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7.30 malam. Harusnya Alvira ke lapangan skate malam ini, tapi tiba-tiba saja ia malas bertemu Reyhan; sepupu biadapnya yang sudah pasti berada di sana.
'Tu anak di bawa Raja ke ruang serba guna Vir, dan gue gak tau harus ngapain sekarang, gue bingung.'
Alvira bisa mendengar nada frustasi dalam suara Ana. Ia bisa menebak jika saat ini Ana sedang berjalan mondar-mandir sambil menggigit bibir. Buru-buru ia menjepit ponselnya diantara telinga dan bahu, mengambil kuncir spiral di atas nakas dan menggulung rambutnya dengan cepat. "Yaudah gue kesana. Tunggu 15 menit," ujarnya sambil menutup telepon.
Griya itu kenapa suka sekali membuat masalah? Jika saja cewek itu bukan sahabat Vira dari SD, sudah pasti ia tidak sudi datang ke sekolah malam ini. Buang-buang waktu saja.
Alvira langsung bergerak cepat, menggeledah lemari untuk mengambil pakaian yang sekiranya pantas untuk pergi ke acara puncak dies natalis. Dan pilihannya jatuh pada dress peach selutut, hadiah dari kakak sepupunya 3 bulan lalu.
Dengan cepat ia memakai dress itu. Mengambil sisir, merapikan rambut dan menguncirnya seperti ekor kuda. Kemudian memakai sepatu converse butut miliknya. Sederhana namun tetap cantik. Ah! Jangan lupakan pelembab bibir. Meski tomboy gini kan Alvira harus tetap peduli sama bibirnya.
Selesai.
Alvira menatap sendu papan skatenya di pojok kamar, bersebelahan dengan rak-rak sepatu miliknya. Ia menghela napas kesal, untuk saat ini terpaksa tidak menggunakan skateboardnya untuk menghemat waktu.
***
"Lo di mana?" Pandangan Alvira mengedar, halaman depan sekolah tampak sepi, hanya beberapa orang yang lewat karena semuanya pasti sudah berkumpul di aula sekolah.
'Gue ada di depan gedung serba guna sama Radit, si Raja ngunci pintunya dari dalem.'
Alvira berdecak dan mempercepat langkah, melewati koridor nan sepi dengan lampu temaram. "Gue ke sana," ujarnya sambil mematikan ponsel.
'Sreeekk'
Suara patahan ranting dan daun kering mengusik pendengaran Alvira. Cewek itu menghentikan langkah, menatap sekitarnya dengan waspada.
Koridor menuju gedung serba guna memang selalu sepi karena letaknya yang berada di belakang aula sekolah. Hiruk pikuk para siswa yang sedang berpesta di aula memang bisa terdengar dari sini, namun tetap saja Alvira hanya sendirian di belakang sini berbalut sepi. Jarak ruang serbaguna masih sekitar 100 meter lagi.
Saat tidak menemukan tanda-tanda seseorang, Alvira kembali melanjutkan langkah. Ia mengusap ke dua lengannya. Kenapa tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya berdiri? Apalagi dengan angin malam yang berhembus dingin menerpa. Alvira tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Hanya tinggal berbelok di ujung koridor sana dan Alvira akan segera sampai.
Baru saja hendak mempercepat langkah, seseorang menariknya ke belakang dengan cepat. Membungkam mulutnya bahkan sebelum sempat Alvira menjerit. Cewek itu meronta sekuat tenaga, jantungnya mulai berdegup memukul rongga. Bahkan saat ini isi telinga Alvira hanya detakan jantungnya saja.
Tubuhnya diseret ke belakang dengan paksa. Tangannya terikat ke belakang tubuh. Dalam keadaan darurat seperti ini, kemana keahlian taekwondo yang ia miliki?
Alvira menendang-nendang ke segala sisi, melepaskan cekalannya sekuat tenaga hanya untuk mendapati kenyataan bahwa kini, punggungnya di sandarkan paksa pada batang pohon yang keras dengan seseorang yang melingkupinya.
"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?"
Suara itu.. Sepertinya ia mengenalinya. Alvira mengerjab. Membuka matanya yang ternyata terpejam sedari tadi.
Siluet wajah seseorang menyapa penglihatan Alvira pertama kali. Jantungnya berpacu semakin keras saat menyadari siapa seseorang di depannya. Mulutnya terbuka lebar, pun dengan netranya yang menyorot penuh kemarahan. Apa yang sedang ingin dilakukan Adreno padanya?
Dua manik berbeda warna itu saling bersinggungan, menelusuri kedalamannya masing-masing. Yang satu penuh ancaman, sedang satunya lagi terlihat tenang tanpa riak. Di bawah pohon yang minim pencahayaan dan oksigen ini, Alvira nyaris kehabisan napas.
Wajah ini terlalu dekat, apalagi dengan iris abu-abu yang terbias cahaya perak rembulan. Cowok itu tampak berbahaya sekaligus menawan dalam waktu bersamaan. Alvira seperti tersihir hingga tidak mampu memalingkan wajah atau hanya sekedar berkedip.
Makhluk yang sedang menatapnya ini benar-benar Adreno si ketua OSIS sombong dan seenaknya itu kan? Kenapa ia tampak seperti seorang pangeran yang tersesat? Apalagi dengan setelan jas berwarna cream yang membungkus tubuhnya dengan begitu sempurna.
"Jangan menatap saya seperti itu, kamu membuat saya takut."
Suara berat Adreno menguar di udara, berhasil menarik kewarasan Alvira hingga ia berkedip tersadar. Dirinya langsung mengalihkan wajah saat melihat Adreno menatapnya begitu lekat. Dan kini, Vira bisa merasakan pipinya kembali menghangat--entah sudah berapa kali oleh orang yang sama. Untungnya suasana nan gelap di sekeliling mereka mampu menyamarkannya dari rasa malu.
Alvira mengambil napas dalam untuk mengendalikan diri. Setelah merasa lebih baik, tangannya yang sudah terbebas langsung mendorong bahu Adreno menjauh. "Lo apa-apaan sih? Gue hampir mati gara-gara lo!"
Adreno hanya menaikkan alis, mengabaikan kemarahan Alvira sepenuhnya. "Ikut saya. Di sini udaranya dingin." tanpa menunggu persetujuan Alvira, cowok itu langsung menarik jemari Vira untuk berjalan mengikutinya, melewati jalan setapak menuju aula sekolah.
Alvira ingin berontak, tapi kakinya seperti mati rasa, membuatnya sedikit bergetar ketika melangkah. Kejadian beberapa menit lalu menimbulkan goncangan yang cukup untuk membuatnya kehilangan orientasi.
Mereka sampai di bangku taman dengan payung besar sebagai pelindung. Tepat di depan kedua insan itu, berbaris dengan rapi lampu-lampu minyak yang kemarin Adreno pasang bersama rekan-rekannya, berada di kanan dan kiri jalan setapak menuju aula sekolah. Tampak romantis dengan riak temaram yang dihasilkan, sedangkan di atas lampu-lampu itu, tergantung payung beraneka warna dengan bias api yang memantul indah.
Hah, mereka sudah seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan saja.
Alvira segera melepaskan tautan tangan mereka saat menyadari suasana yang mendadak canggung. Ia memilih duduk untuk meringankan kakinya, di susul Adreno kemudian.
Cowok itu menyenderkan punggung dan memejamkan mata, tampak begitu lelah dengan seluruh kegiatan yang menguras tenaganya seharian ini. Sedang Alvira sedndiri malah terdiam, menatap jajaran lampu minyak di sekelilingnya.
"Ini yang dikerjain anak OSIS waktu itu kan? Bagus juga ternyata. Gue pikir mereka mau bikin pertandingan bambu runcing." Alvira terkekeh pelan, teringat kenangan beberapa hari lalu sekaligus terbawa suasana magis yang tercipta.
Di sini, di jalan setapak menuju aula sekolah begitu sepi tan tenang, diiringi dengan angin dingin yang berhembus lembut menerpa kulit. Ditambah lagi dengan pencahayaan yang begitu minim.
Dua insan itu terlihat begitu dekat, menipiskan batas tak kasap mata yang selama ini membentang.
"Kamu meragukan saya?" Adreno membalas, masih memejamkan mata.
Alvira memutar bola mata, mengejek. "Sombong," cibirnya kejam.
"Jangan keluar sendirian lagi, Alvira. Kamu tidak tahu kan dengan bahaya yang mungkin saja mengancam kamu?"
Alvira mengerutkan kening, menoleh. Cowok itu sudah menegakkan tubuh dan menatapnya serius. "Terserah gue lah. Gak usah sok peduli, gue bisa jaga diri," ujarnya datar, kembali membentangkan jarak di antara mereka.
"Bisa melindungi diri?" Adreno berucap dengan nada mengejek, "oh ya? Lalu kenapa tadi tidak bisa melawan saya?" sindirnya langsung. Alvira memalingkan wajah, geram.
"Gue cuma kaget doang kok," balasnya mengelak. Ingatannya langsung mengarah pada kejadian tadi, dan ia langsung meruntuki kebodohannya sendiri. Suasana koridor yang sepi dan udara yang menusuk dingin, nyatanya mampu menghilangkan kewaspadaannya.
Seketika mata Alvira terbuka lebar saat mengingat sesuatu, bukankah tujuannya ke sini untuk menyelamatkan Griya?
Cepat-cepat ia bangkit. "Gue harus pergi."
Adreno yang melihat gelagat cewek itu langsung bertanya, "Ke mana?"
"Bukan urusan lo," balasnya ketus. Ia hendak melangkah pergi sebelum lagi-lagi tangannya dicekal.
"Kamu tidak boleh pergi,"
Alvira menyentak tangan Adreno kasar, hanya untuk menyadari bahwa tindakannya berakhir sia-sia. Matanya berkilat penuh kemarahan. Memangnya siapa cowok itu sampai berani mengaturnya?
"Gue gak butuh ijin lo, Adreno," desisnya kejam.
"Saya tidak akan membiarkan kamu berkeliaran di sini sendirian," Adreno berucap datar, namun wajahnya menyiratkan keseriusan.. "Pergi dengan saya atau tidak sama sekali, Alvira," lanjutnya lagi. Kali ini merapatkan jarak mereka hingga Alvira tidak bisa mengelak.
"Terserah lo, ketua OSIS pemaksa!"
****