Bab 43. Masa-Masa Suram

1120 Kata
“Kamu harus jaga diri di sana. Jangan nakal dan nurut sama Mami Grizelle. Kamu harus berlatih yang rajin sampai akhirnya kamu bisa menjadi seperti yang diharapkan oleh Papa kamu,” ujar Tantria memberikan nasihat pada Jayden sambil memasukkan pakaiannya ke dalam koper. “Kok Mama gak ikut sih? Terus nanti aku sendirian di sana,” ujar Jayden melirih sedih. “Mama kan harus di sini menjaga tempat ini. Kalau Mama juga ikut, nanti siapa yang menjaga rumah?” balas Tantria dengan lemah lembut. Sedianya Tantria begitu sedih harus melepaskan Jayden pergi sementara waktu. Bahkan ia tidak tahu kapan Jayden akan kembali pulang ke Indonesia. Namun apa yang bisa ia lakukan selain pasrah menerima? Anthony dan keluarga Lin adalah orang yang mengatur hidup serta takdirnya kini. “Kan ada penjaga, Ma.” Tantria masih tersenyum menenangkan lalu membelai kepala Jayden. “Kita gak boleh bergantung pada orang lain, Jay. Kamu akan dewasa dan hidup sendiri. Mulai dari sekarang, kamu harus belajar mandiri. Nanti kalau berpisah sama Mama gak kaget lagi,” ujar Tantria mengusap rambut Jayden. Jayden hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. Tantria yang nyaris meneteskan air mata langsung memeluk Jayden. Ia tidak ingin Jayden menyaksikan air matanya. Tantria bahkan tidur satu ranjang dengan Jayden sebelum ia berangkat besok. Seluruh keluarga Lin kecuali Tantria akan berangkat ke Singapura. Suasana kota mulai mencekam dan kabar tentang kerusuhan mulai terdengar. Keesokan harinya, Jayden sudah siap untuk berangkat. Belinda sudah masuk ke dalam mobil bersama ibunya Grizelle. Tantria mengantarkan Jayden ke mobil yang sama. Jayden lalu berbalik memeluk Tantria yang tak kuasa menangis. Anthony dan Hendri sempat melihat ke arah Tantria yang dipisahkan sekali lagi pada anaknya. Jayden ikut menangis seakan ia tidak akan melihat ibunya lagi. “Baik-baik ya, Sayang.” Tantria mencium pipi, kening dan hidung Jayden sebelum melepaskannya pergi. Hendri yang akan menjaga Jayden selama di Singapura. “Titip Jayden, Pak Hendri,” ucap Tantria meneteskan air matanya. Hendri ikut pilu meski memilih tersenyum. “Iya, tentu. Jika ada apa-apa, langsung telepon saya.” Hendri memberikan sebuah kartu yang berisi nomor teleponnya di Singapura. Tantria mengangguk dan menunduk. Hendri lalu membungkukkan tubuhnya pada Tantria sebagai tanda hormat. Ia berbalik masuk ke dalam mobil menyusul Jayden. Anthony lalu menoleh pada Tantria yang kemudian membungkukkan tubuhnya memberikan salam pada suaminya tersebut. Tanpa bicara, Anthony langsung berbalik pergi masuk ke dalam mobil. Anthony dan keluarganya tiba di Singapura dengan selamat. Sementara keadaan kota harus diisolasi karena kerusuhan besar akhirnya terjadi. Beberapa objek vital termasuk rumah Anthony Lin dijaga ketat oleh aparat dan koneksinya. Tantria dan para pelayan serta pengawal asal Indonesia bertahan di dalam. Mereka tidak keluar untuk meminimalisir datangnya orang yang tak dikenal. “Jayden bagaimana ya kabarnya?” gumam Tantria saat melihat berita siaran langsung saat kerusuhan besar diliput berita utama di seluruh televisi. “Tuan Muda pasti baik-baik saja. Yang penting kita semua di sini selamat.” Tantria hanya bisa menoleh pada Halim yang tersenyum dibalik rasa cemasnya. Ia terus setia menemani Tantria. Saat malam hari, Tantria kerap terjaga apabila mendengar suara-suara dari luar tembok pagar pembatas yang tinggi. Kadang-kadang suara orang-orang bisa membuat Tantria cemas bukan main. Jika sudah begitu, Tantria memilih berlutut lalu berdoa. “Tuhan Yesus Yang Maha Kasih, berikan keselamatan bagi keluarga ini di mana pun kami berada. Jangan tinggalkan kami, jauhkan kami dari banyaknya niat jahat. Ya Tuhan, saat ini kami umatMu menghadap hadiratMu yang kudus. Kami mohon perlindungan serta kasih setiaMu yang besar dalam hidup kami. Ya Tuhan, semoga apa yang kami doakan ini, Engkau mendengar dan memberikan kami kekuatan untuk melawan rasa takut. Ajarilah kami untuk tidak gentar menghadapi sesuatu dan bantu kami untuk sepenuhnya berserah hanya kepadaMu. Tuhan, saya serahkan anak saya padaMu. Jagalah dia, jagalah Mas Anthony, Mba Grizelle, Belinda dan Pak Hendri. Berkatilah Jayden, jadikan dia anak yang berbudi luhur dan selalu mengingat jalan Tuhan sebagai penyelamatnya. Terima kasih, Tuhan, biar hanya di dalam namaMu kami telah berdoa dan mengucap syukur. Haleluya, amin.” Tantria lalu menyematkan salib dengan rasa khusyuk dan penuh penghayatan. Perasaannya mulai tenang meski belum bisa tidur. Jika sudah begini, Tantria akan masuk ke kamar Jayden untuk hanya sekedar melepaskan kerinduan dengan memeluk bantal dan gulingnya. Suasana mulai jauh lebih baik setelah kericuhan beberapa hari ini. Akan tetapi, Tantria tidak bisa keluar rumah. Keadaan masih mencekam. Kota sudah dikuasai oleh aparat. Sisa-sisa kerusuhan menyebabkan banyak kerugian di mana-mana. Etnis Tionghoa terpaksa lari atau bersembunyi demi menyelamatkan diri. Sedangkan di rumah Lin hanya tertinggal Halim yang memiliki darah peranakan. “Kita harus bisa saling menjaga satu sama lain. Jangan sampai ada yang keluar dari rumah ini. Kita bertahan dulu dengan makanan yang ada. Kalau memang situasi aman, sesekali taman di sapu kalau keadaan aman. Jangan buka gerbang ya,” ujar Tantria memberikan petunjuk pada seluruh pelayan. Tanpa Anthony dan Grizelle, Tantria adalah orang terdekat yang berhak mengatur rumah tersebut. Ia mengatur semua pelayan dengan berbagi tugas. Jika ada pelayan yang ingin pulang kampung maka diperbolehkan. Ada beberapa pelayan yang mengundurkan diri sampai menyisakan hanya empat pelayan termasuk Erna. Pengawal yang menjaga juga berkurang meski masih aman mereka masih berjaga. “Nyonya kita harus tahu keadaan di luar. Biar saya yang keluar sekalian berbelanja. Persediaan makan kita makin menipis!” ujar Erna melapor pada Tantria. “Jangan, Er. Kamu kan sendirian?” “Saya bisa ajak teman, Nyonya.” Tantria berpikir sekali lagi. Ia juga harus keluar rumah untuk mengetahui keadaan tapi bisa jadi berbahaya jika ada yang menangkap atau menculik. “Sebaiknya kita suruh satu pengawal saja yang keluar. Jangan Nyonya atau yang lain,” sahut Halim memberikan usul. Tantria pun langsung mengangguk setuju. Sementara di Singapura, Jayden berlatih dengan keras sambil menyelesaikan sekolah dasar. Hendri melatih Jayden menyelam serta berenang. Karena itu, tubuhnya yang masih usia anak-anak terbentuk berotot dengan sendirinya. Tidak hanya itu, Jayden diajarkan berkelahi langsung dengan anak-anak yang berusia lebih tua darinya. “Jay, sini!” Grizelle memanggil Jayden yang sedang lewat di taman samping rumah mereka. Jayden segera berlari menuju Grizelle yang tersenyum padanya. “Mami minta tolong ya. Tolong belikan beberapa makanan dan jajanan buat Belinda.” Jayden mengangguk patuh. Ia diberikan uang yang cukup. “Aku pergi dulu, Mi.” Grizelle tersenyum melihat lincahnya Jayden tumbuh menjadi remaja. “Hei, anak kecil! Mana uangmu, hah!” salah satu anak di pasar itu mendorong Jayden. Jayden sedang membeli sate dan snack telur untuk Belinda. Ia diganggu oleh kakak kelasnya yang tidak mengetahui siapa Jayden yang sesungguhnya. “Jangan ganggu aku. Ganggu orang lain saja!” Jayden melawan. Ia menepis tangan anak itu tapi masih belum berhenti. Jayden yang tidak suka disentuh langsung berbalik memelintir lengan anak tersebut lalu menendang salah satu temannya. Dengan cepat menggunakan celana pendek dan jersey bola, Jayden melawan satu persatu anak-anak itu. “Tuan Muda!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN