Bab 44. Ujian Kesetiaan

1104 Kata
Dua pengawal Jayden dari Golden Dragon datang menginterupsi perkelahian yang nyaris terjadi di antara anak-anak itu. Jayden nyaris menghajar anak-anak yang mengganggunya. Akibatnya dia dianggap pengecut karena membawa orang dewasa. “Awas kau! Dasar pengecut!” teriak salah satu anak menunjuk pada Jayden. Jayden berhenti dan kembali tegak. Penjual makanan ringan langsung memberikan salam pada Jayden begitu tahu jika dia adalah bagian dari Golden Dragon. “Lain kali jika ada anak seperti mengganggu Tuan Muda Lin, maka usir mereka. Jika Tuan Muda Lin terluka, kau yang akan kena akibatnya!” ancam anggota Golden Dragon itu pada si penjual makanan. “Maaf, Tuan. Maaf ... aku tidak tahu jika ini adalah Tuan Muda Lin. Maafkan aku,” ujar penjual makanan itu membungkuk berkali-kali meminta maaf. Jayden nyaris menyela tapi dengan cepat salah satu pengawal membawanya pergi. Jayden berada dalam pengawasan ketat Anthony Lin. Ia tidak boleh makan sembarangan atau jajan di luar rumah. Maka ketika ia membeli makanan ringan seperti yang dilakukannya sekarang, pengawal itu langsung menyita. “Tunggu, itu untuk Kakak Linda!” tunjuk Jayden hendak merebut. “Maaf, Tuan Muda. Perintah Tuan Besar jelas bahwa tidak boleh jajan di luar apa lagi di pasar. Ayo kita pulang!” Jayden separuh diseret oleh para pengawal itu kembali ke rumah. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Tubuhnya masih kalah besar dibandingkan dengan anggota Golden Dragon yang dewasa. “Hiyatt ... hiyattt!” suara Jayden terdengar saat ia tengah latihan melakukan beberapa gerakan. Saat ada yang salah, sebuah sabetan rotan mendarat dengan baik di kakinya. “Aaahkk!” “Ulangi!” teriak Anthony membentak Jayden yang sudah terpincang karena sabetan yang cepat dari ayahnya. Jayden kembali memasang kuda-kuda, ia harus berlatih tendangan dan pukulan yang kokoh. Pagi hari ia akan bersekolah di salah satu sekolah swasta. Jayden pergi menggunakan bis sekolah dan berjalan kaki. Meski demikian, ia tetap diekori oleh para pengawal dari anggota Golden Dragon yang khusus dan memiliki posisi lebih tinggi. Suatu hari di bulan September, Jayden berkesempatan untuk menghubungi ibunya Tantria. Ia diberikan satu kali kesempatan untuk melepaskan kerinduannya. “Aku kangen Mama. Aku mau pulang,” lirih Jayden nyaris menangis. Sudah lima bulan lamanya ia pergi dan tak tahu kapan akan kembali. “Mama juga kangen sekali sama Jayden. Tapi untuk saat ini, kamu harus belajar dengan giat ya, Nak. Nanti setelah kamu lebih besar, kamu pasti akan pulang kemari.” Tantria menjawab sambil menahan air matanya. Jayden hanya bisa menundukkan kepala lalu meneteskan air matanya diam-diam. Punggung tangannya dengan cepat menyeka air matanya. Setelah berbicara beberapa hal, Jayden pun menutup panggilan tersebut. Hendri hanya bisa memandang Jayden saat ia menyeka cepat air matanya. Ia pun mendekat lalu memeluk Jayden agar tidak lagi bersedih. “Nanti jika keadaan sudah lebih baik, kamu pasti bisa pulang lagi ke Indonesia. Kamu harus berlatih dengan tekun dan baik untuk menjadi seorang penerus, hhmm?” Jayden mengangguk lalu kembali memeluk Hendri. Anthony menghela napas panjang. sesungguhnya ia cemburu dan kurang suka dengan kedekatan di antara Jayden dan Hendri. Posisi Anthony sebagai orang tua yang galak dan keras pasti akan diingat oleh Jayden seumur hidupnya. “Hen!” panggil Anthony untuk memisahkan Hendri yang sedang membujuk Jayden. Hendri langsung menoleh dan berdiri. “Masuk ke kamar!” perintah Hendri pada Jayden yang menuruti dengan menganggukkan kepalanya. “Iya, Bos?” “Ikut aku!” Anthony berjalan lebih dulu lalu Hendri yang mengikutinya. Di dalam ruang kerja, Anthony memperlihatkan perihal kasus pembunuhan yang melibatkan Hendri. Dokumen tersebut adalah dokumen yang membuktikan jika Hendri tidak bersalah tapi bukti-bukti penunjang belum lengkap. “Ini ....” “Bukti itu bisa membersihkan nama kamu. Tapi bukti foto-fotonya belum lengkap. Kabarnya ada polisi yang menyelidikinya. Hanya sekarang waktunya masih agak kacau. Pergantian kekuasaan membuat Indonesia sedang krisis,” ujar Anthony sambil menyalakan ujung rokoknya lalu menghembuskan asapnya perlahan. “Tapi jika saya gak kembali ke Jakarta, bagaimana caranya saya bisa mencari sisa buktinya, Bos?” “Kasih saja sama Polisilah. Biar mereka saja yang urus!” sahut Anthony sedikit cuek. Hendri tidak memiliki kecurigaan apa pun, baginya Anthony masih sama ingin melindunginya. “Saya pikir, biar saya pulang ke Jakarta dulu, Bos. Sekalian saya bisa melihat keadaan Nyonya Tantria di sana,” ujar Hendri memberikan sebuah permintaan. Anthony langsung memberikan tatapan tidak suka tapi Hendri terlalu polos untuk menyadarinya. “Untuk apa kamu pulang? Sudah di sini saja. Urusan kasus itu, biar nanti saja ditangani!” sahut Anthony dengan raut wajah cemberut tak suka. “Bukankah saya harus membersihkan nama?” “Iya, tapi jangan sekarang.” Anthony kembali merokok dan ia tampak stres. Untuk beberapa saat mereka terdiam satu sama lain. “Bos, apa gak sebaiknya Nyonya Tantria dibawa saja kemari? Kasihan Tuan Muda,” ujar Hendri kembali mengusulkan. Saat ia menyebut nama Tantria, d**a Anthony rasanya panas. “Jayden harus mandiri, Hen. Kalau dia dekat sama Ibunya terus lalu kapan dia akan jadi dewasa!” sahut Anthony dengan nada tidak suka. “Bukan begitu, Bos. Jayden kan masih anak-anak ....” Anthony langsung menggelengkan kepalanya. “Dia sudah 13 tahun, dia bukan anak-anak lagi. Sebentar lagi dia akan memasang tato pertama. Aku gak mau Jayden jadi anak manja!” “Mungkin jika ibunya di sini, dia bisa lebih bersemangat, Bos,” sahut Hendri mencari alasan yang tepat. “Ada apa sih sama kamu? Kenapa kamu sebut nama dia terus? Apa yang kamu rasakan, Hen!” pungkas Anthony tiba-tiba menginterogasi Hendri. Hendri terkesiap dan langsung merasa tidak nyaman. “Apa maksud Bos bicara seperti itu? Apa yang Bos pikirkan?” Anthony terdiam dan makin dilema. Terlalu kentara jika dirinya memang cemburu pada Hendri. Hendri mungkin sudah menyadarinya. “Hendri kamu sadar betul seperti apa posisi Tantria di keluarga ini. Aku gak mau orang jadi berprasangka buruk sama kamu dan dia. Apa kamu tahu jika sudah ada bisik-bisik selama ini, kalau hubungan kamu dan Tantria terlalu dekat?” Hendri terdiam memandang Anthony. Ia pun menundukkan kepalanya tak berapa lama kemudian. Hendri menyadari jika segelintir orang memang pasti akan menggosipkannya dengan Tantria. “Apa ada pelayan yang bergosip, Bos?” Hendri balik bertanya. “Bukan itu masalahnya. Jika mereka bicara, dan masalah ini terdengar oleh orang luar, reputasiku dipertaruhkan. Jangan sampai ... aku mengira jika kamu memang memiliki perasaan lain pada Tantria.” Kali ini Anthony lebih menegaskan posisinya sebagai penguasa rumah Lin sekaligus suami Tantria Purnama. “Saya mengerti, Bos. Saya tahu posisi saya dan gak mungkin saya memiliki perasaan selancang itu pada Nyonya Tantria. Saya ga akan berani,” ungkap Hendri sambil menatap mata Anthony. Anthony menarik napas panjang ikut menunduk. “Saya bisa pastikan jika akan setia sampai mati dan tidak ada yang bisa menggoyahkan pendirian saya sama sekali.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN