Bab 42. Perpisahan Tak Terelakkan

1267 Kata
Setelah mengawasi Jayden latihan, Anthony hendak kembali ke ruang kerjanya. Ia sedang memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan paspor bagi beberapa anggota keluarga Lin yang akan ikut bersama ke Singapura. Anthony juga berencana membawa Tantria. “Qin, kamu sudah selesai?” tegur Grizelle pada Anthony yang sedang berjalan melewati ruang tengah. “Latihannya sudah. Kamu baru pulang?” Grizelle tersenyum lalu mengangguk. “Apa benar kita semua mau ke Singapura?” Anthony mengangguk. “Suasana masih agak kurang baik belakangan ini, jadi aku hanya jaga-jaga saja. Apa kamu sudah minta surat pindah sekolah untuk Belinda dan Jayden?” Grizelle mengangguk lagi. “Tantria bagaimana?” Anthony menoleh sesaat pada Grizelle lalu mengatupkan bibirnya dan tersenyum. “Uhm, sebaiknya aku ikut bawa saja.” Grizelle langsung cemberut dan bermuka masam. Ia tidak mau jika Tantria ikut. Anthony sampai menghentikan kalimatnya. “Aku kan gak mungkin tinggalin dia sendirian,” gumam Anthony dengan suara rendah cenderung merayu. Grizelle tetap mengernyit meski tidak menggelengkan kepalanya. “Nanti Jayden bagaimana? Siapa yang akan mengurus?” tanya Anthony lagi masih sabar. “Kan ada pengasuh dan pelayan juga,” sahut Grizelle akhirnya bicara. “Nanti aku pikirkan. Yang jelas paspor dan semua surat-surat penting dibawa, jangan ada yang tinggal.” Anthony memberikan perintah. Grizelle tersenyum lebar mengira jika rencananya membuat Tantria tidak bisa pergi bisa berhasil. “Iya, Qin!” Grizelle lalu mendekat dan mencium bibir Anthony yang langsung tersenyum. Grizelle kemudian pergi meninggalkan Anthony yang masih menatapnya sesaat sebelum ia juga berbalik pergi menuju dapur. Anthony ingin meminta Tantria membawakannya kopi agar ia bisa bicara. Tak diduga, ternyata di depan pintu dapur, Anthony melihat Hendri dan Tantria duduk di satu meja yang sama dengan sebuah syal di atas meja. Tantria tampak tersenyum pada Hendri yang otomatis membuat Anthony sedikit mengernyitkan keningnya. “Apa-apaan ini!” Anthony bergumam dengan rasa kesal yang ia rasakan tiba-tiba. Begitu ia ingin masuk, Halim menegurnya. “Tuan Besar? Tuan Besar perlu apa biar saya ambilkan,” ujar Halim buru-buru menawarkan untuk membantu Anthony. Anthony terkesiap dan memilih menggelengkan kepalanya. “Uhm, gak. Tolong minta Nyonya Tantria menyiapkan kopi untukku, antar ke ruang baca sekarang!” perintah Anthony dengan sikap dingin seperti biasanya. Halim langsung mengangguk. “Baik, Tuan Besar.” Halim segera masuk ke dalam dan Anthony pun memilih berbalik pergi. Bergegas ia masuk ke ruang baca dengan hati resah. Anthony kemudian berkacak pinggang sambil mondar-mandir di ruang tersebut. Beberapa kali ia malah mengusap wajahnya. “Huff, aku gak bisa biarkan ini. Gak mungkin Tantria suka sama Hendri. Dia itu ... dia itu Istriku!” ucap Anthony masih bolak-balik menyugar rambutnya. Tak berapa lama, pintu diketuk dan Anthony buru-buru duduk di sofa. Ia mengambil buku lalu melipat kaki dan pura-pura membaca. “Masuk!” ucapnya singkat sebagai tanda. Tantria masuk ke dalam membawakan secangkir kopi untuk Anthony, Tak lupa ada beberapa penganan ringan yang menemaninya. Tantria berjalan dengan baik lalu berlutut dan menyajikan kopi tanpa menaikkan kepalanya sama sekali. “Ehem!” Anthony mendeham keras. Tantria masih memindahkan piring berisi penganan tanpa peduli pada Anthony. Anthony jadi makin kesal. Tantria memang seperti gunung es. “Kamu mau ke mana?” tukas Anthony dengan sikapnya yang ketus. Tantria menoleh sesaat pada Anthony sebelum menundukkan wajahnya lagi. “Tidak ada, Mas,” jawab Tantria masih berlutut di samping meja. “Aku mau ke Singapura minggu depan. Bagaimana dengan kamu?” tanya Anthony dengan dalih ingin mengajak langsung tapi tak berani. “Tantri ....” gumam Tantria tak mengerti lalu ia menggeleng. Raut wajahnya begitu polos dan membuat Anthony jadi iba. “Kamu bagaimana sih, kamu itu ... ah!” gerutu Anthony begitu kesal. Bayangan Tantria tersenyum lebar pada Hendri membuat Anthony jadi makin kesal. Ia harus mengenyampingkan perasaan tapi tidak bisa. “Ya sudah, terserah kamu mau pergi atau gak!” Anthony mengambek. Ia berdiri dan langsung pergi meninggalkan Tantria yang masih duduk di lantai tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. “Mas Anthony kenapa?” gumam Tantria bertanya pada dirinya. Ia menoleh pada cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Bukankah tadi ia meminta kopi? Suasana di luar rumah Lin perlahan mulai mencekam. Demo-demo besar mulai menjalar dari daerah ke ibukota. Anthony sudah mendapatkan peringatan dari salah satu menteri untuk segera pergi. Kerusuhan mungkin akan pecah dan etnisnya akan menjadi korban. “Bos, sepertinya kita harus segera pergi,” ujar Hendri pada Anthony. Anthony masih menonton berita-berita soal demo mahasiswa. Keningnya mengernyit dan ia sedang berpikir. “Kita harus tetap menjaga semua aset kita di sini. Setelah demo berakhir, kita akan kembali,” ujar Anthony mematikan televisi. “Kalau begitu, biar saya yang menjaga ....” “Hen, itu sama dengan bunuh diri. Kalau aku ninggalin kamu, saat terjadi kerusuhan kamu bisa gak selamat.” Hendri pun terdiam. “Lalu?” “Kamu ikut. Kamu, Jayden, Belinda, Grizelle. Ikut denganku.” “Nyonya Tantria bagaimana?” Anthony diam masih mempertimbangkan. Ia ingin membawa Tantria tapi selain menghindari berdebat dengan Grizelle, Anthony sesungguhnya ingin menjauhkannya dari Hendri. “Ga ikut,” jawab Anthony singkat. Seketika kening Hendri mengernyit. “Lho, kenapa?” “Karena ... karena aku ingin Tantria tetap di sini. Kita ga akan lama kok, Jayden juga akan kembali. Dia perlu kamu latih secara khusus, Hen.” “Tapi Jayden kan pasti akan membutuhkan Ibunya, Bos!” Anthony tetap menggelengkan kepalanya untuk menolak. “Justru itu yang akan jadi masalah kalau Tantria ikut. Aku sedang melatih kemandirian Jayden sebagai calon pemimpin keluarga ini dan Golden Dragon. Jika Ibunya ikut ke mana pun, kapan Jayden bisa mandiri?” pungkas Anthony memberikan alasannya. Hendri pun hanya bisa diam saja. Ia tidak berhak protes atas apa yang diinginkan oleh Anthony untuk penerusnya. “Saya cuma khawatir dengan Nyonya Tantria, Bos. Kita semua pergi dan dia hanya tinggal sendiri di sini, apa gak berbahaya? Maksudnya, kalau ada apa-apa bagaimana?” ujar Hendri lagi. Anthony makin kesal tapi tidak bisa marah pada Hendri. Jika sudah seperti ini, Anthony pun dilema. Ia jadi merasa bersalah meninggalkan Tantria. “Nanti biar aku pikirkan seperti apa pengawalan yang cocok dan siapa saja yang tinggal. Yang jelas lusa kita berangkat!” ujar Anthony memberikan perintahnya. Malamnya, Anthony mengumpulkan semua pelayan dan memberikan pengumuman. Ia berdiri dan bicara di depan mereka. “Beberapa dari kita akan pergi. Aku sudah mempersiapkan tiket dan seluruh dokumen perjalanan. Salah satu yang akan pergi adalah Jayden karena dia dan Belinda akan bersekolah di sana. Untuk sementara waktu yang tidak berangkat, akan menjaga rumah ini,” ujar Anthony memberikan pengumuman. Tantria tertegun mendengar hal tersebut. Ternyata yang pernah diucapkan Jayden benar adanya. Anthony lalu membacakan nama-nama yang akan tinggal dan itu termasuk Tantria. Tangan Erna memegang lengan Tantria yang menoleh padanya lalu tersenyum. “Kalian yang berjaga harus bisa menjaga Nyonya Tantria dengan baik. Jika ada apa-apa, sembunyikan dia. Aku akan tetap mengawasi. Akan ada polisi dan tentara yang datang jika sewaktu-waktu perusuh datang. Ingat, jangan menampakkan diri kalian. Situasi ini akan semakin memanas dan akan semakin buruk jika kita melawan, mengerti!” “Mengerti, Tuan Besar!” Mata Anthony sempat melirik pada Tantria yang masih tertegun mencoba mencerna. Setelah memberikan pengumuman, Anthony memanggil Halim. “Halim, kamu bisa tinggal kan?” “Bisa, Tuan Besar. Lebih baik saya di sini saja menjaga Nyonya Tantria,” ucap Halim dengan yakin. Anthony pun mengangguk. “Baik kalau begitu, kamu pastikan jangan ada yang masuk ke rumah, siapa pun. Aku akan pasang jebakan tikus untuk kamu ketahui. Jangan biarkan Nyonya Tantria pergi keluar untuk berbelanja. Minta pelayan yang lain, yang non Cina. Sekarang, kamu dan dua orang pergi ke supermarket. Borong semua bahan makanan untuk persediaan.” Halim mengangguk yakin lalu berbalik pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN