Bab 41. Paman Yang Pulang

1737 Kata
Tantria dan Halim akan mempersiapkan sedikit jamuan menyambut kedatangan Hendri di rumah Lin. Tantria bahkan sudah membuat daftar menu yang akan dimasak. “Apa lagi yang kurang ya?” tanya Tantria pada Halim sambil mencatat di bukunya. “Kayaknya ga ada, Nyonya. Biar nanti saya saja yang berbelanja,” ujar Halim menawarkan. Tantria tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Gak usah, Halim. Biar Tantri dan Erna saja yang pergi. Kamu atur semuanya di rumah saja. Sebentar Tantri ambil dompetnya dulu. Uangnya ....” Tantria merogoh dompet dalam salah satu laci. Ia akan memasukkan uang tunai untuk berbelanja di pasar. “Nyonya ... Nyonya, ada sesuatu yang penting ini!” Tiba-tiba Erna datang menemui Tantria dan Halim. Ia buru-buru masuk ke dapur menemui keduanya. “Ada apa, Erna?” “Itu lho, Nyonya. Kayaknya Pak Hendri gak pulang deh.” Tantria dan Halim saling berpandangan seraya mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?” keduanya serempak bertanya. “Iya, Tuan Besar membuat pesta penyambutan Pak Hendri di hotel, bukan di rumah,” sahut Erna dengan raut wajah tak enak. Pundak Tantria turun dengan rasa kecewa. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum. “Jadi, itu artinya kita gak bisa membuat pesta penyambutan untuk Pak Hendri kan?” sahut Halim memperjelas. Erna mengangguk separuh cemberut lalu melihat ke arah Tantria yang tersenyum. “Sudah, gak apa. Yang penting Pak Hendri sudah pulang. Iya kan?” ujar Tantria mencoba mengusir rasa kecewa. “Gak jadi deh kejutannya.” Tantria tergelak kecil melihat Erna yang cemberut. Ia pun menggeleng. “Gak apa-apa kan. Atau nanti kita buat saja kue yang enak untuk Pak Hendri. Jadi nanti ketika dia pulang, kita bisa tetap merayakannya,” ujar Tantria memberikan usulannya. “Begitu juga bisa, Nyonya,” sahut Halim ikut tersenyum. Seperti biasanya, Tantria tidak akan diajak untuk ikut menikmati pesta di hotel yang dibuat oleh Anthony. Jayden dan Belinda juga dilarang datang karena pesta tersebut adalah untuk orang dewasa saja. “Hendri! Selamat datang!” ucap Anthony dengan heboh memeluk tangan kanannya tersebut. Hendri yang baru datang dengan pakaian rapi mengenakan jas ikut memeluk Anthony. Ia begitu semringah diberikan pesta penyambutan yang luar biasa. “Selamat ya!” Grizelle pun memberikan ucapan selamat dengan bersalaman. “Terima kasih, Nyonya. Sebenarnya gak perlu harus sampai seperti ini. Saya kan hanya bebas dari penjara saja,” ujar Hendri merendah. “Grizelle yang mengusulkan padaku. Aku pikir ga ada salahnya. Kamu kan sudah pergi selama lima tahun, hahaha!” “Saya benar-benar berterima kasih, Nyonya Besar. Ini adalah sebuah penghargaan yang luar biasa buat saya.” Hendri terus berterima kasih pada Grizelle yang tersipu. Pesta berlangsung meriah dengan makanan, minuman dan musik. Pesta pribadi tersebut dihadiri oleh beberapa orang pengusaha yang bekerja sama dengan perusahaan Anthony. Mereka minum dan tertawa dalam kumpulan tersebut. Anthony kini mengenalkan Hendri sebagai seseorang yang sudah mengalami pahitnya penjara. Hendri mulai dikenal sebagai preman yang berkuasa meski masih di bawah Anthony. “Hei, kamu gak takut kalau dia tiba-tiba bisa membelot ya,” celetuk salah satu kolega pada Anthony yang sedang minum. Hendri sedang mengambil minuman di bar dan tampak mengobrol banyak dengan seorang pejabat. “Maksudmu, Hendri akan mengkhianatiku? Huh, rasanya itu gak mungkin.” Anthony menjawab dengan rasa percaya diri. Ia kembali minum setelah tak lama kemudian. “Kamu gak pernah tahu sih rasanya dikhianati. Nanti kalau sudah merasakannya pasti menyesal.” Anthony hanya diam lalu menoleh pada Hendri yang masih bicara dengan serius pada pejabat tersebut. Dalam pesta tersebut, Hendri berusaha untuk bisa bicara dengan siapa saja. Seharusnya ia menikmati pesta dan tidak banyak minum. Akan tetapi, Hendri tetap merasa kesepian. Mungkin karena sebelumnya ia berharap Tantria datang bersama Jayden. Keduanya begitu dirindukan oleh Hendri selama ia dipenjara. Rasanya seperti merindukan istri dan anak sendiri. “Huff, aku mikirin apa sih,” gumamnya tidak jelas pada gelas minuman yang ia pegang. Hendri kembali menegak minuman tersebut sampai habis lalu meringis. “Kamu mau mabuk ya?” tegur Anthony yang juga sudah minum banyak. Hanya saja ia belum sepenuhnya mabuk. Hendri menoleh lalu turun dari kursinya. Anthony melarang dengan menggeleng. “Kali ini kamu gak kerja. Ini pesta untuk kamu, Hen. Nikmati!” ucap Anthony lalu menuangkan wiskey dalam botol. Hendri lalu membantu Anthony dengan mendekatkan gelasnya. Mereka akhirnya melakukan tos sebelum kembali menegak minuman tersebut. “Bagaimana kabar, Jayden, Bos?” tanya Hendri pada Anthony yang tiba-tiba berhenti minum. Ia menoleh sekilas pada Hendri yang kini bertanya tentang Jayden. “Dia baik-baik saja. Selama ini aku yang melatihnya.” Hendri mengangguk lalu sedikit berbisik pada Anthony. “Apa Bos sudah dengar tentang demo mahasiswa belakangan ini? Nilai tukar mata uang juga makin lama makin tinggi. Tadi saya sempat bicara sama salah satu petinggi. Dia bilang kemungkinan besar akan ada demo besar-besaran di kota ini paling lama enam minggu dari sekarang,” ujar Hendri masih dengan suara rendah agar tidak ada yang mendengar. “Apa yang bisa dilakukan mahasiswa itu? Aparat pasti akan memukul mundur mereka.” Anthony dengan santai masih menanggapi. “Kecuali yang bicara adalah mantan intelijen.” Anthony segera menoleh pada Hendri yang tampak serius. “Kamu mabuk, Hen.” Hendri menggeleng cepat. “Aku sengaja begini, agar tidak ada yang tahu pembicaraan kita.” Anthony tertegun menatap Hendri yang juga melakukan hal yang sama padanya. “Hen, ini serius.” Hendri mengangguk lagi. “Kita gak perlu cari dulu soal Winthrop yang penting sekarang adalah menyusun rencana yang terbaik.” Anthony tampak berpikir dan mengernyit beberapa saat. “Rumah di Singapura belum sepenuhnya selesai, tapi sudah bisa ditinggali,” ujar Anthony lalu meminum lagi minumannya. “Iya, kayaknya itu paling aman.” Anthony mengangguk pelan. “Apa kamu mendengar hal yang sama di penjara?” Hendri menaikkan kedua alisnya bersamaan. “Kurang lebih. Bandar-bandar besar sedang menyembunyikan barang-barang mereka. Sepertinya akan terjadi kerusuhan yang besar. Kalau rezim sekarang gak bisa menopang lagi, ga ada harapan lagi, Bos,” ujar Hendri ikut memberikan pendapatnya. Anthony mengangguk paham. Keduanya lalu menyusun sebuah rencana yang hanya diketahui oleh keduanya. Pesta yang terus berlangsung akan menjadi pesta terakhir kejayaan Anthony di Indonesia. Hendri baru pulang ke rumah Lin dua hari kemudian. Jayden adalah orang pertama yang datang dan memeluknya. “Paman!” pekik Jayden begitu bahagia saat Hendri datang. Ia masih latihan dengan peluh dan beberapa memar di tubuhnya. Hendri langsung memeluk dan mengecup kepala Jayden beberapa kali. “Kamu sudah besar! Kamu benar-benar tampan, anakku!” ucap Hendri yang meluapkan rasanya. Senyuman Anthony memudar begitu ia ikut mendengar yang diucapkan oleh Hendri. Semula ia menahan rasa cemburu karena Jayden tampak sangat bahagia saat Hendri pulang. Anthony bahkan sampai membuang muka ke arah lain. “Paman, gak akan pergi lagi kan?” tanya Jayden pada Hendri yang mengucek kepalanya sembari tersenyum. “Jangan pikir dengan kepulangan Paman Hendri, kamu bisa bebas dari latihan. Kamu akan tetap berlatih dengan keras, Jay!” pungkas Anthony menyela. “Iya, Pa.” Jayden menjawab dengan nada takut-takut. Ia akhirnya melepaskan sedikit pegangannya dari Hendri yang masih tersenyum. “Saya bisa kembali melatih, Jayden, Bos,” ujar Hendri menawarkan dirinya. Anthony hanya menyunggingkan senyuman kecil dan tidak mengiyakan. “Gak usah, Hen. Aku berencana kamu yang akan melatih Jayden secara khusus di Singapura. Untuk saat ini, biar aku saja yang tangani dia di sini,” ujar Anthony dan diberi anggukan oleh Hendri. Jayden hanya mendengar saja pembicaraan ayah dan paman Hendri tanpa menyela. Satu hal yang ia ketahui, sepertinya mereka akan segera pergi ke Singapura. Usai latihan, seperti biasanya Jayden akan langsung menemui ibunya. “Ma ... Mama!” panggil Jayden pada Tantria yang sedang ikut membersihkan sayuran untuk disimpan atau dimasak. “Jay, ada apa? kamu mau minum?” tanya Tantria masih duduk di kursinya. Jayden menggeleng segera. Tangannya masih memanggil sang Ibu. Tantria pun akhirnya mengalah dan berjalan ke arah Jayden. Dengan sikap yang mindik-mindik Jayden menarik tangan Ibunya ke tempat yang agak sepi. “Ma, apa benar kita mau ke Singapura?” tanya Jayden sedikit menengadah pada Tantria. Tantria kaget dan membesarkan matanya. “Hah? Masa sih? Kok Mama gak tahu. Kamu dengar dari mana?” tanya Tantria sedikit menunduk. “Dari Papa. Papa yang ngomong sama Paman Hendri tadi.” Tantria sedikit mengulum bibirnya lalu berpikir sejenak. Rasanya belum ada berita apa pun soal kepergian ke Singapura. “Mama gak tahu, Sayang. Mungkin yang dimaksud sama Papa kamu adalah liburan sekolah. Kamu dan Belinda diajak ke Singapura. Tapi Mama gak tahu.” Tantria mengaku sejujurnya pada Jayden. Jayden cemberut dengan memajukan bibirnya. Tapi ia mengangguk kemudian. “Ya mungkin saja sih, Ma.” Tantria ikut tersenyum lalu mengusap kepala anaknya. “Sudah jangan pikirkan hal seperti itu dulu. Kamu mandi dulu sebelum makan malam ya. Sup kesukaan kamu hampir selesai.” Jayden semringah dan mengangguk cepat. Ia pun berlari meninggalkan Tantria yang masih diam terpaku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Apa Jayden akan pergi lagi ke luar negeri seperti dulu? Setelah makan malam di dapur, Tantria membereskan piring-piring seperti biasanya. Jayden makan di ruang makan seperti biasanya menemani ayah, ibu pertamanya, serta Belinda. Hendri yang sudah pulang mencari kesempatan untuk bisa bertemu dengan Tantria setelah kepulangannya beberapa hari lalu. “Nyonya?” Tantria sedikit terkesiap dan langsung berbalik. “Pak Hendri. Pak Hendri butuh apa? Biar Tantri ambilkan?” Hendri tersenyum lalu menggeleng. “Gak kok. Hanya saja saya ingin memberikan sesuatu. Apa Nyonya sudah selesai?” Tantria menoleh ke arah piring-piring tersebut lalu meringis. “Gak apa. saya tunggu di sini saja.” Hendri pun langsung duduk di salah satu kursi meja makan di ruang dapur itu. “Pak Hendri mau minum kopi?” tawar Erna dengan ramah. “Boleh!” sahut Hendri dengan senyum lebar. Erna pun membuatkan kopi untuk Hendri dengan senang hati. sedangkan Tantria menyelesaikan mencuci piring di wastafel sampai selesai. Setelah semua selesai, Tantria akhirnya menemui Hendri yang sedang menikmati kopi sendirian. Tantria pun ikut duduk di depan Hendri yang kemudian mengeluarkan syal miliknya yang tertinggal di kantor polisi saat menjenguk Hendri lima tahun yang lalu. “Saya mau kembalikan syal ini. Ini tertinggal di kantor polisi kan?” ujar Hendri memberikan syal tersebut pada Tantria. Tantria sempat membuka mulutnya tak percaya. “Oh iya ....” Tantria begitu semringah mengambil syal tersebut. Ia mengangguk dengan senyuman penuh kebahagiaan. “Maaf kalau selama di penjara saya gak kembalikan. Soalnya di penjara dingin, jadi saya butuh selimut, hehe,” ungkap Hendri terkekeh kecil. “Apa syal ini membantu? Kenapa Pak Hendri gak minta dikirim selimut saja?” Hendri menggelengkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN