Bab 35. Masa Lalu Yang Mencengkram

1097 Kata
Langkah Hendri berhenti di depan rumah yang menjadi targetnya. Sepi tanpa ada satu pun yang melintas. Ini adalah kesempatannya, Hendri pun mengeluarkan senjata revolver laras pendek yang menjadi andalannya selama ini. “Kenapa pintunya gak terkunci? Itu mobil siapa?” gumam Hendri saat melihat ada kejanggalan. Hendri menolak sedikit pintu gerbang yang memang sudah terbuka dan matanya seketika terbelalak. Seorang pria tergeletak di atas rumput halaman depan rumah itu tak bergerak. Gelap malam dan remang bias cahaya lampu telah menyamarkan darah yang mengalir ke tanah dan paving blok yang melapisi halaman. Barulah setelah Hendri mendekat, ia bisa melihat dengan jelas jika pria itu sudah mati. Ia tengkurap tak bernapas dengan kedua tangan mengulur ke atas tubuhnya. “Dia ...” Hendri membalikkan tubuh pria tersebut dan terbelalak. Pria yang hendak ia bunuh bernama Michael sudah mati lebih dulu. Ia tertembak di kepalanya dengan mata masih terbuka. Bulu kuduk Hendri langsung bergidik. Seketika ia berdiri dan memeriksa sekeliling. Ini jelas adalah jebakan. Hendri akan dijadikan kambing hitam sesaat lagi. Hendri pun segera masuk ke dalam. Keadaan rumah cukup kacau meski belum terlihat ada korban. Lampu rumah sudah menyala dan pintu depan menganga terbuka tanda jika seseorang sudah mendobrak masuk dan mungkin menghabisi seluruh keluarga. Hendri tetap memeriksa dengan baik ke lantai dua. Betapa terkejutnya ia saat masuk ke sebuah kamar. Seorang wanita tergeletak bersimbah darah. Seorang anak berusia nyaris seumuran Jayden sedang duduk di dekat kepala wanita itu. Hendri bernapas cepat melihat Wilda Gotardo yang merupakan istri Michael sudah meninggal. Tragisnya, sang anak duduk di dekat jasad ibunya seperti sedang menunggu ibunya bangun. Dari kejauhan terdengar suara mobil yang mendekat dan kemungkinan besar itu adalah Polisi. Dengan cepat Hendri mengambil keputusannya. Ia mendekati anak itu dan menggendongnya. “Siapa nama kamu, Nak?” tanya Hendri pada anak kecil itu. Telapak kakinya berdarah dan Hendri belum menyadarinya. “Joona,” jawabnya pelan. "Kamu ikut aku ya, kamu tidak aman di sini," ujar Hendri lagi lalu membawa anak itu keluar dari rumah tersebut lewat jalan belakang. Anak kecil bernama Joona itu begitu penurut dan tidak berteriak sama sekali. Ia dibawa ke dalam mobil Hendri yang langsung tancap gas untuk kabur. Hendri tidak bisa kembali ke rumahnya atau ke Golden Dragon saat ini. Ia harus menghilang lebih dulu. Saat tiba di sebuah taman di pinggir jalan, Hendri menghentikan mobilnya. Ia memeriksa Joona yang duduk manis di sebelahnya. Joona mengenakan jumpsuit teddy bear yang lucu dan menggemaskan. “Kaki kamu kenapa? Apa ada yang sakit?” tanya Hendri saat melihat bercak darah di telapak kaki anak itu. Joona menggelengkan kepalanya. “Nama lengkap kamu siapa? Siapa nama orang tua kamu?” “Arjoona. Nama Mamaku Wilda.” Arjoona menjawab dengan lugu. Wajahnya membuat Hendri tidak tega jika harus meninggalkan anak itu di jalanan. Ia langsung teringat pada Jayden. Mungkin mereka seumuran. “Apa kamu punya kerabat? Bibi ... Paman?” Arjoona menggeleng. “Om siapa?” Arjoona balik bertanya. Hendri menoleh pada Arjoona lagi dan berpikir. Seharusnya Hendri yang menghabisi ayah Arjoona bernama Michael tapi sekarang ia malah menyesal telah menerima pekerjaan itu. terlebih saat ia tahu bahwa pembunuhan tersebut hanyalah jebakan. “Kamu gak perlu kenal siapa Om. Yang jelas malam ini, kamu akan tinggal sendiri. Om harus bawa kamu ke tempat lain,” ujar Hendri di antara kecemasannya. Arjoona hanya diam saja. Ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Hendri mencari akal untuk mengurus masalah Arjoona yang mendadak yatim piatu malam ini. Ia membersihkan telapak kaki Arjoona dan mampir ke mini market membelikan makan lalu sepatu untuk Arjoona. Hendri juga membelikan pakaian ganti untuk Arjoona. “Kita mau ke mana?” tanya Arjoona selesai makan dan berpakaian. “Ke rumah baru kamu.” Mobil Hendri sesungguhnya berjalan tanpa tujuan. Hari sudah berganti siang dan kasus pembunuhan itu pasti akan menghebohkan seisi kota bahkan se Indonesia. Hendri sedang memantau berita di luaran. Ia belum kembali dan Arjoona masih berada bersamanya. “Permisi, Mas. Numpang tanya. Apa ada panti asuhan anak-anak di sekitar sini?” tanya Hendri pada salah satu pedagang asongan yang melintasi mobilnya. “Oh di perempatan depan ada, Mas. Belok kanan masuk gang!” tunjuk pedagang tersebut. Hendri tersenyum lalu mengangguk. Sebagai bayaran, Hendri membeli air mineral dan roti dari pedagang tersebut. Keduanya diberikan pada Arjoona yang baru saja bangun dari tidurnya. Setibanya di depan panti asuhan tersebut, Hendri turun bersama Arjoona. Ia menggandeng Arjoona yang tampak gugup dan takut. “Jangan takut, tempat ini akan merawat kamu dengan baik,” ujar Hendri memberikan janjinya. Ia tersenyum pada Arjoona yang pasrah. Hendri akhirnya memberikan Arjoona pada panti asuhan tersebut meski hatinya ragu. Ia menepisnya dengan memberikan sejumlah uang yang cukup banyak pada pemimpin panti asuhan. “Jangan sampai anak itu kekurangan apa pun. Aku akan kembali dan memberikan uang bulanan untuk biaya hidup Arjoona. Jaga dan rawat dia!” ucap Hendri pada pimpinan panti asuhan. Pimpinan panti asuhan itu tertawa dan mengangguk. Ia bersalaman dengan Hendri sebagai tanda mengikat perjanjian. Meski nyatanya, takdir yang lebih buruk akan menghampiri Arjoona di masa depan. “Kita akan bertemu lagi. Kamu akan tinggal di sini mulai hari ini. Sampai jumpa,” ucap Hendri lalu mengusap kepala Arjoona di depan panti asuhan sebelum ia berjalan ke mobilnya. Hendri sempat menoleh sekali pada Arjoona yang diam saja menatapnya. Hatinya tak tega dan hampir saja mengurungkan niatnya. Hendri dengan cepat menepisnya, ia pun segera masuk ke mobilnya. Hendri meninggalkan Arjoona di tempat itu dengan janji akan kembali. Janji yang tidak pernah dilakukan oleh Hendri di masa depan dan ia akan menyesalinya begitu lama. Berita kematian pengusaha Michael Kim masuk menjadi tajuk utama sebuah koran dan sampai ke tangan Anthony. Sambil mengepalkan tangannya, Anthony mencoba menghubungi anggota preman yang ia sebarkan di Jakarta. “Mana Hendri?” “Pak Hendri belum ketemu, Bos. Tapi tersangkanya sudah ada!” kening Anthony mengernyit. “Siapa?” “Kabarnya kekasih istrinya pengusaha itu. Rupanya wanita itu anaknya Abimanyu Gotardo, pemilik Gotardo Grup. Dan suaminya itu adalah CEO Kim Corporation, Micheal Kim. Yang bunuh istrinya Michael Kim kabarnya Vincent Winthrop, anaknya Gerald Winthrop!” “Apa!” Anthony sampai kaget dan berdiri. “Bagaimana bisa begini?” suara Anthony ikut meninggi. “Gak tahu, Bos. Sepertinya kita dijebak!” Anthony mengeraskan rahangnya dan berang bukan main. Hendri masih menghilang dan kini masalah mereka jadi terlibat dalam kasus pembunuhan pemilik perusahaan. “Kurang ajar! Cari Hendri dan sembunyikan dia. Aku gak mau sampai Hendri tertangkap sama Polisi. Kamu dengar?” bentak Anthony pada anak buahnya. “Siap Bos!” Anthony pun memutuskan sambungan telepon itu dan melemparkan ponselnya yang berbadan cukup besar. Ia tidak menyadari jika Tantria melintas dan sempat mendengar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN