Bab 34. Getar Cinta

1122 Kata
Anthony Lin bahkan tidak menaikkan pandangannya kala Tantria mengantarkannya teh herbal. Ia menahan getar di hatinya tiap kali wangi tubuh Tantria tercium dari jarak tak begitu jauh. Biasanya Anthony menarik napas agak panjang untuk menikmati wanginya. “Ini tehnya, Mas,” ujar Tantria yang mengantarkan teh herbal ke ruang santai. Ia meletakkan teh tersebut dengan sikap tubuh yang membungkuk seperti biasa. Anthony melirik dengan ekor mata ada dan tak sengaja melihat belahan d**a Tantria dari balik pakaian dress babydoll rumahan yang dikenakannya. “Ehem ... aku mau bicara sebentar soal Jayden.” Anthony membuyarkan pandangannya pada Tantria yang tak disadari oleh istrinya tersebut. Tantria kembali menegakkan tubuhnya dan berdiri menunggu apa yang ingin diucapkan oleh Anthony. “Kamu gak boleh terlalu memanjakan Jayden. Dia sudah besar dan harus mandiri. Gak ada waktu bermain lagi.” Tantria hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya. Anthony pasti tidak suka melihat jika Jayden masih suka bermanja pada Tantria. “Aku tahu dia baru masuk ke sekolah dasar, tapi dia bukan seperti anak-anak lain yang punya waktu bermain longgar. Kamu harus bisa mendidik dia dengan baik. Dia calon pemimpin Golden Dragon,” imbuh Anthony makin tegas. “Baik, Mas. Maafkan kelakuan Jayden. Dia memang masih suka manja,” ujar Tantria mengaku dengan suara lembutnya. Anthony hanya diam sesaat menelan ludahnya. Hati kecilnya tidak tega melihat Jayden harus menanggung beban yang berat dari kecil. “Ya sudah. Kamu boleh kembali.” Suara Anthony sedikit melunak. Tantria separuh membungkukkan tubuhnya memberikan salam sebelum berbalik dan pergi. Anthony langsung separuh melempar dokumen yang ia sedang baca lalu menunduk untuk mengurut keningnya. “Huff, aku harus bagaimana?” gumam Anthony pelan. Jika pagi dan siang hari, Jayden akan bersekolah serta berlatih ilmu bela diri. Maka di malam hari Jayden akan mengerjakan PR. Ia sangat pintar dalam pelajaran Matematika dan tingkat berhitung Jayden sudah melebihi siswa di tingkat empat. “Coba kamu kerjakan yang ini. Ini namanya segitiga sama kaki,” ujar Tantria sedang mengajarkan Jayden mengerjakan beberapa soal dari buku lain. Jayden begitu penurut dan mengerjakannya dengan baik. Tantria adalah orang yang selalu mengawasinya setiap hari. “Ma, kok Papa galak banget sama aku? Kok Papa gak galak sama Kak Linda?” celetuk Jayden saat ia sedang menulis. Tantria tertegun menatap Jayden. Ia tersenyum lalu membelai kepala Jayden. Ia mendekat ikut mengecupnya pelan. “Papa gak galak, Sayang. Papa kamu itu baik lho orangnya. Hanya saja Papa harus memastikan masa depan kamu berjalan dengan baik, Sayang. Kamu kan calon pemimpin Golden Dragon. Kamu harus kuat seperti Papa,” ujar Tantria masih terus membelai kepala putranya. “Berarti kalau aku gak menjadi pemimpin Golden Dragon, apa Papa bakalan marah, Ma?” Tantria hanya mengulum senyuman dan memilih mendekap Jayden dari belakang. “Biarpun satu dunia ini marah sama kamu, Mama gak akan pernah marah sama kamu. Kamu adalah anak kebanggaan dan kesayangan Mama. Gak ada lagi yang lain selain kamu.” Jayden menoleh lalu tersenyum. “Gak ada Adek lagi, Ma?” Kedua alis Tantria naik bersamaan lalu tersenyum dan menggeleng. Jayden langsung mengerucutkan bibirnya. “Kok kamu bicara begitu?” “Soalnya teman-teman Jayden yang lain punya Adik.” “Tapi kan kamu juga Adik. Kamu adiknya Kakak Linda. Iya kan?” Jayden menyengir dan kembali melanjutkan menulis. Selesai belajar, Jayden harus segera tidur. Ia sudah bersiap dengan menyikat gigi serta mencuci kaki. Tantria mengawasinya dengan baik dan menemaninya sesaat sampai tertidur. Setelahnya barulah Tantria keluar untuk kembali sebentar ke dapur atau masuk ke kamarnya. Setelah mematikan lampu kamar Jayden, Tantria keluar dari kamar berniat untuk masuk ke kamarnya. “Nyonya?” Tantria berhenti di depan pintu lalu berbalik. Hendri datang mendekat dan Tantria pun tersenyum seperti biasanya. “Apa Jayden sudah tidur?” Tantria tersenyum lalu mengangguk. “Kalau begitu saya mau berangkat dulu.” Kening Tantria mengernyit. “Pak Hendri mau ke mana?” “Ada yang harus kerjakan malam ini. Tapi ... firasat saya gak enak.” Hendri lalu menundukkan wajahnya. Ia menarik napas berat lalu membuang muka ke samping. “Memangnya apa yang mau dilakukan? Apa Mas Anthony menyuruh sesuatu?” Hendri hanya menatap saja pada Tantria tapi tidak menjawab. Wajah teduh Tantria membuatnya jauh lebih baik meski masih memiliki kecemasan. “Apa Pak Hendri mau minum teh dulu?” Tantria akhirnya menawarkan hal lain. Hendri tersenyum tanda mengiyakan dan Tantria pun membalas. “Sebentar, biar Tantri buatkan.” Hendri menunggu teh buatan Tantria di samping koridor di depan taman. Setelah bersandar di dinding beberapa saat, barulah Tantria datang. “Ini, ada teh hijau.” Tantria memberikan secangkir teh tersebut pada Hendri yang menerimanya. Hendri memejamkan mata kala menghirup wangi teh yang menenangkan. “Terima kasih, Nyonya.” Hendri berujar sebelum menyesap tehnya perlahan. Rasanya begitu pas. Hangatnya juga tidak membakar ujung lidah. “Saya hanya berharap yang saya lakukan tidak akan membuat masalah baru. Atau mungkin saya hanya terlalu paranoid.” Hendri sedang mencurahkan isi hatinya lalu menyesap minumannya lagi. “Tantri hanya berharap pekerjaan Pak Hendri bisa selesai dengan baik sesuai dengan keinginan Mas Anthony. Apa Pak Hendri harus lembur?” Tantria bertanya dengan kepolosannya. Hendri tersenyum lalu mengangguk. “Kalau Nyonya punya kesempatan kedua, hidup sebagai orang lain dan tidak berada di rumah Lin, apa yang akan Nyonya lakukan?” Tantria sedikit tertegun mendengar pertanyaan Hendri yang begitu dalam. Ia tidak pernah terpikirkan akan melakukan apa jika takdir tidak membawanya ke rumah Lin. “Tantri gak pernah berpikir hal lain, Pak Hendri. Rasanya kalau Tantri tidak bertemu dengan Mba Grizelle dan Mas Anthony, entah seperti apa hidup Tantri saat ini,” ujar Tantria makin sendu di tengah kalimat. Ia menundukkan wajahnya dan hal itu membuat Hendri sangat ingin menyentuhnya. Hendri menggenggam tangannya sendiri dan melepaskan napas panjang. “Iya, mungkin rumah ini memang takdir yang paling baik untuk Nyonya. Saya pikir juga begitu,” ujar Hendri menimpali. Tantria pun tersenyum kala menatap Hendri. Hendri menyerahkan kembali cangkir itu dan ujung jemarinya sempat menyentuh ujung jemari Tantria. “Tapi jika takdir berbicara lain, jika itu saya. Saya pasti ingin bertemu denganmu di tempat berbeda dan waktu yang berbeda pula. Mungkin dengan begitu garis tanganku akan lebih baik.” Hendri melebarkan senyumannya pada Tantria yang tertegun tak mengerti. “Selamat malam, Nyonya Tantria.” Hendri pun berjalan melewati Tantria yang berbalik terus menatap punggungnya sampai ia pergi berlalu. Hendri menarik napas panjang kala memasukkan persneling dan menjalankan mobilnya. Ia melintasi jalan di malam hari dengan beban cinta di hatinya untuk Tantria. Semakin lama, Hendri semakin menyadari jika dirinya telah jatuh cinta di waktu yang salah. Rasa cintanya semakin besar dan semakin menyiksa dari waktu ke waktu. Mobil Hendri berhenti di ujung sebuah jalan dalam gelap malam. Ia mengenakan penutup wajah dan menggunakan sarung tangan. Malam ini ia harus menghabisi seorang pria yang ternyata adalah seorang ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN