Bab 21. Saat Sang Pangeran Datang

1207 Kata
Malam ini Tantria merasa resah dan gelisah. Ia sudah tidak bisa tidur dan sedikit merasa berat bernapas. Dari berbaring menyamping, Tantria akhirnya bangun. Ia terus mengelus perutnya. Bayinya tidak tenang semalaman. “Kamu kenapa, Sayang? Kenapa kamu gak berhenti bergerak?” tanya Tantria bergumam lembut. Tidak ada siapa pun di kamarnya. Ia selalu tidur sendirian tanpa suami meski statusnya adalah istri. Rasa mulas itu datang kembali dan Tantria pun meringis. Ia sudah mengalami mulas selama dua jam belakangan dan tidak teratur. “Aduh, aku mau buang air.” Tantria berusaha berdiri dan berjalan pelan ke kamar mandi. Dengan susah payah Tantria buang air kecil lagi dan lagi. “Aduh.” Tantria makin meringis. Ia terpaksa kembali berdiri setelah membersihkan dan berjalan keluar kamar. Kali ini keringat mulai keluar dan Tantria berencana ingin berbaring. Mungkin keadaannya akan lebih baik. Belum sempat berbaring, ia merasakan rembesan cairan dari balik pahanya. “Kok malah pipis di sini?” gumam Tantria terengah. Ia jadi kebingungan. Dalam keadaan sendiri, Tantria akhirnya keluar kamar. Ia harus meminta bantuan Erna untuk membersihkan lantai karena Tantria sudah tidak sanggup menunduk. Dengan langkah separuh menyeret, Tantria berjalan ke kamar Erna di samping koridor dekat kamarnya. Sementara di balkon lantai atas, Anthony sedang merokok sendirian usai berhubungan dengan Grizelle. Waktu sudah lewat pukul satu pagi dan ia malah tidak bisa tidur usai melepaskan hasratnya yang membutuhkan banyak tenaga. Grizelle sudah terlelap sedangkan Anthony masih merokok di luar balkon. Mata Anthony yang sedang memandang ke depan, kemudian menangkap sesosok orang yang berjalan ke arah kamar-kamar pelayan. Matanya memicing dan kening mengernyit hendak mengidentifikasi siapa yang sedang mengetuk pintu. “Tantri?” gumam Anthony langsung mematikan ujung rokoknya. Ia segera masuk kamar menyambar salah satu kaos dan memakainya cepat sambil berjalan ke luar kamar. Perasaan Anthony tidak enak saat melihat Tantria tidak biasanya berjalan ke arah kamar pelayan seperti itu. “Nyonya? Nyonya ada perlu apa?” tanya Erna sambil mengucek matanya. “Maaf, Erna, Boleh Tantri minta tolong untuk mengepel lantai kamar? Ini ... Tantri jadi pipis seperti ini.” Tantria menunduk dan roknya sudah basah oleh air ketuban yang tidak disadarinya sudah mulai pecah. “Lho, kok bisa basah begini? Nyonya kenapa?” Erna sedikit kaget. Tantria yang polos hanya bisa menggeleng lemah. Ia sudah terlalu lelah berjalan dari kamarnya ke kamar Erna dengan perutnya yang besar. “Tantri?” tegur Anthony pada Tantria yang masih berdiri separuh bersandar ke dinding. Tantria menoleh ke samping dan Anthony separuh berlari menghampirinya. “Ada apa? Kenapa kamu di sini?” tanya Anthony memberondong dengan pertanyaan dengan rasa cemas yang terlihat jelas. Tantria cukup kaget dan bingung. Bagaimana Anthony bisa datang menemuinya? Seingat Tantria, ia sudah berjalan sesenyap mungkin dan tidak membangunkan orang-orang di dalam. “Gak apa, Mas.” “Maksudnya?” Anthony tiba-tiba langsung memekik saat melihat Erna malah berjongkok di depan pintu. “Kenapa kamu di bawah?” “Maaf, Tuan! Sepertinya ketuban Nyonya sudah pecah. Kakinya basah semua!” ucap Erna sambil berdiri. Mata Anthony langsung terbelalak. “Apa? Kamu mau melahirkan?” pekik Anthony pada Tantria yang masih polos diam saja. Tantria malah kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia tidak mengerti. “Tantri ....” “Panggil Halim, Hendri dan tabib Feng! Siapkan semuanya, mobil, peralatan dan isi tas Nyonya Tantria dengan pakaian ganti. Cepat!” tunjuk Anthony memerintahkan pada Erna. Erna yang jadi ikut panik hanya bisa mengangguk. Sedangkan Tantria jadi kebingungan. Benarkah dia akan melahirkan? “Ayo kita ke dalam. Ayo, pelan-pelan!” Anthony membuang canggung dan memegang tangan Tantria mengajaknya berjalan pelan kembali ke dalam. Tantria tidak bicara apa pun selain rasa gugup yang melandanya. Ia masih belum mengerti bagaimana Anthony bisa menemukannya. “Apa kamu masih sanggup berjalan?” Tantria mengangguk pelan. “Kita akan ke rumah sakit sebentar lagi, tahan dulu ya,” ujar Anthony lagi. Tantria masih diam saja. Saat hendak di dudukkan ke sofa, Tantria menolak. “Jangan, Mas. Nanti sofanya kotor. Ini belum dibersihkan.” Tantria menengok ke arah bawah dan Anthony jadi ikut membungkuk melihat paha Tantria yang sudah basah. “Sebentar!” Anthony menyambar salah satu taplak meja yang menurutnya cukup lembut lalu menggelarnya di atas sofa. Barulah Anthony menarik Tantria untuk duduk. “Ini taplak mejanya ....” “Sudah jangan dipikirkan. Kamu akan melahirkan, Tantri. Jadi kamu harus tenang, uh ....” Anthony berdiri dan memegang kepalanya. Ia berusaha tidak panik tapi tidak bisa. Barulah beberapa detik kemudian Anthony ingat harus menelepon rumah sakit. “Iya, aku butuh ambulans sekarang! Sekarang, gak boleh sampai lebih dari lima menit, istriku mau melahirkan!” hardik Anthony pada petugas yang ia hubungi. Anthony berdecap beberapa kali dan akhirnya memutuskan panggilan. “Dasar orang-orang bodoh!” umpat Anthony karena ambulans perlu waktu datang ke rumahnya. Tantria hanya bisa diam saja menyaksikan Anthony yang bertindak di luar perilaku dinginnya selama ini. “Bos?” Hendri yang baru dibangunkan dari tidurnya oleh salah satu pelayan, separuh berlari menghampiri. “Hen, siapin mobil kita ke rumah sakit sekarang!” perintah Anthony pada Hendri yang baru tiba di ruang tengah. Ia mengangguk cepat lalu berbalik untuk menyiapkan mobil bagi Tantria. Di depan Tantria, Anthony berubah menjadi komandan yang mengatur semua orang demi persiapan melahirkan bagi Tantria. Ia yang dulunya sendirian kini merasa diperhatikan. Sikap Anthony begitu perhatian dalam kurun waktu kurang dari 15 menit ini. Tabib Feng sampai tergopoh-gopoh datang melihat kondisi Tantria. Ia mengangguk yakin pada Anthony. “Iya, nadinya bagus. Nyonya muda bisa melahirkan tidak lama lagi,” ujar tabib Feng pada Anthony. Anthony mengangguk paham. “Ayo, kita ke mobil!” “Apa tidak sebaiknya Tantri ganti baju dulu, Mas? Yang ini sudah basah,” ujar Tantria menyela dengan lembut. “Ayo aku antar ke kamar. Pegangan sama aku ya,” ujar Anthony memegang Tantria dibantu oleh Erna. Hendri mengawal di belakang. Tangannya menggantung berjaga-jaga jikalau Tantria bisa jatuh. Halim dan para pelayan lain ikut mengawal Tantria. Setelah Tantria selesai mengganti pakaian, Anthony kembali memegang Tantria untuk membawanya masuk ke dalam mobil. Hendri sudah mengurus semuanya agar Tantria bisa masuk ke rumah sakit swasta elite yang akan memberikannya perawatan terbaik. Anthony tidak mau mengambil risiko apa pun. Ia pun ikut satu mobil dengan Tantria. “Kasih tahu Nyonya Grizelle kalau Tantria akan melahirkan!” perintah Anthony sebelum berangkat pada Halim. Sepanjang perjalanan, Anthony terus memegang tangan Tantria meski tidak berani memeluknya. Banyak mata yang memandang mereka terutama para pelayan. Ia terpaksa menahan rasa cintanya pada Tantria yang mulai kontraksi. “Tahan ya, sebentar lagi kita sampai kok,” ujar Anthony pada Tantria yang hanya bisa mengaduh lembut. “Sakit banget ya?” tanya Anthony lagi dengan cemas. Tantria sempat meremas tangan Anthony lalu sadar dan meminta maaf. “Maaf.” “Gak apa. Remas saja!” ucap Anthony sedikit tersenyum. Saat Tantria mulai meneteskan air matanya, Anthony nyaris kelepasan. Erna juga ada di dalam mobil membuat Anthony tidak bisa melakukan hal tersebut. Pertolongan pada Tantria segera diberikan di saat yang tepat. Anthony terpaksa melepaskannya di depan ruang bersalin. “Tolong jaga dan temani dia,” ujar Anthony meminta pada Erna. Erna mengangguk dan langsung masuk ke dalam. Mata Anthony memandang berkaca-kaca pada pintu ruang bersalin yang sangat ingin ia masuki. Punggungnya menempel lesu pada dinding di depan ruangan tersebut dengan Hendri yang ikut menatapnya lalu menarik napas panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN