Bab 17. Kesulitan Tak Bertepi

1098 Kata
Pandangan Anthony sedikit terpaku pada Tantria yang kemudian menundukkan wajahnya. “Nanti aku minta salah satu pelayan untuk menemani kamu ya?” Grizelle kembali menyela sekaligus bersikeras. Tantria hanya menanggapi dengan senyuman dan anggukan. Anthony tidak lagi tersenyum. Ia tidak suka dengan cara Grizelle menanggapi kehamilan Tantria. “Ya sudah, terserah kalian saja,” sahut Anthony dengan nada datar. Ia membuang muka dari Tantria dan Grizelle. Tantria yang merasa bersalah tidak bisa bicara selain hanya menunduk saja. “Aku mau keluar sebentar, ada urusan sebentar. Nanti malam aku baru pulang,” ujar Anthony sambil berdiri dari kursinya. Otomatis Tantria juga berdiri bersamaan dengan Grizelle. Bedanya Grizelle bisa mengapit lengan Anthony dan pergi bersamanya. Anthony bahkan tidak menyentuh teh yang dibawakan oleh Tantria. Sampai Anthony dan Grizelle keluar berdua, Tantria masih berdiri di posisinya. Ia menoleh pada cangkir dan teko keramik yang dihidangkannya tadi. Hendri yang mengekori Anthony sempat berhenti sejenak menoleh ke belakang melihat Tantria yang membereskan kembali teko dan cangkir ke dalam nampan. Hendri tidak bicara apa pun. Ia berbalik lagi dan pergi mengikuti Anthony. Tantria keluar dari ruang tersebut membawa kembali nampan berisi teko dan cangkir. “Hati-hati, Qin!” ucap Grizelle mencium pipi Anthony yang tersenyum tipis. Anthony masuk ke dalam mobil dikawal oleh Hendri seperti biasa. “Hen, tolong awasi Tantria saat ia akan belanja nanti. Minta satu orang menemani,” perintah Anthony tiba-tiba. Hendri sedikit tersenyum dan mengangguk. “Oh iya, Bos. Kemarin saya mengurus ijazah milik Nyonya Tantria. Saya baru tahu kalau ulang tahun Nyonya Tantria adalah minggu depan, Bos. Minggu depan tanggal 15,” ujar Hendri sedikit melihat ke belakang. “Oh ya?” Anthony sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Hendri mengangguk masih mengulum senyumannya. Anthony pun ikut mengangguk dan mengalihkan pandangannya keluar. Tidak ada pembicaraan lain selama di dalam mobil sampai Anthony tiba di salah satu tempat karaoke. Sebagai pemimpin kelompok preman yang juga menerima orderan dari pengusaha maupun penguasa, Anthony sedang melakukan pembicaraan dengan sebuah kelompok. “Apa kabar, Anthony? Ayo, kita masuk dan bicara,” ujar salah satu tamu yang sedang menunggu kedatangan Anthony. “Aku gak bisa lama. Soalnya aku punya urusan lain.” Anthony dengan angkuh berdiri dan kedua tangan masuk ke saku celana. Hendri berdiri di dekat pintu bersama tiga orang anggota Golden Dragon. “Sudah, duduk dulu. Kita minum-minum. Ayo, kamu tinggal pilih mau ditemani sama perempuan yang mana. Semuanya cantik-cantik, haha!” Anthony hanya menyeringai dan akhirnya mengalah. Ia duduk di salah satu sofa dan dua orang pemandu karaoke yang cantik datang dan siap melayaninya. Anthony tak peduli dan hanya menatap dua tamunya yang sedang minum ditemani oleh masing-masing dua orang perempuan. “Jadi bagaimana dengan perjanjiannya. Aku dapat berapa persen?” tanya Anthony tanpa basa-basi. Salah satu tamu lantas tertawa dan Anthony masih mencoba bersabar. “Gampang itu. Yang penting kamu habisi dulu si Rony itu. Kalau dia mati, semua urusan soal proyek itu bisa kita dapatkan dengan mudah.” Anthony mencebik sinis dan menggeleng. “Polisi seharusnya tidak menjadi urusan kita. Kalau Kapolres itu masih mau duduk di jabatannya, dia pasti mau kerja sama, iya kan?” sahut Anthony merujuk pada seseorang bernama Rony. “Kamu pikir, si Rony itu bakalan tergiur dengan uang? Aku sudah coba menyuap dia. Yang ada aku malah diusir dari kantornya!” Giliran Anthony balik tertawa. “Dasar bodoh! Kalau mau nyuap Polisi jangan di kantornya. Ya jelaslah dia menolak. Ajak dia ke tempat-tempat seperti ini. Dia pasti tidak akan menolak,” ujar Anthony menjelaskan. “Ah, sama saja. Rony itu terkenal religius. Dia itu penghuni tetap gereja Katolik.” Yang lain ikut menyeletuk. “Bilang saja kalian tidak becus bekerja. Belum selesai sudah sewa perempuan segini banyak!” Anthony mulai terlihat berang. Ia mendelik pada salah satu wanita yang duduk di sebelahnya. Wanita itu mencoba menyentuh Anthony yang memang tidak gemar main perempuan. “Jangan pegang-pegang. Atau aku bisa mematahkan tanganmu nanti,” ucap Anthony mendelik tajam dan ketus. Wajah tampannya memang menarik semua wanita yang ada di ruangan tersebut. Namun sikapnya yang tidak bersahabat membuat wanita-wanita itu takut. “Jangan galak-galak, Anthony. Mereka gak bermaksud jelek kok,” Dengan kesal, Anthony mengeluarkan revolvernya. Para wanita itu langsung memekik panik. Mereka berdiri untuk bergegas pergi. Sayangnya pintu dijaga oleh orang-orang Anthony. “Anthony, sabar dulu. Jangan bertindak seperti itu.” Anthony menyeringai dan mendengkus kesal. Ia menodongkan moncong revolvernya ke arah salah satu tamu yang sudah mengangkat tangan. “Aku gak suka sama orang yang banyak ngomong tapi sedikit bekerja. Aku sudah membayar kalian untuk menjadi perantara. Kenapa sekarang Polisi malah jadi terlibat? Apa kalian sudah bosan hidup ya?” bentak Anthony dengan wajah garang. Ia tidak segan menembak jika memang harus. “Maaf, Anthony. Kami gak bermaksud untuk melakukan itu.” “Aku minta proyek pembangunan hotel itu jatuh ke perusahaanku. Kalau dalam tempo dua minggu aku belum dapat jawaban, jangan salahkan aku kalau nasib kalian akan seperti Ardi Wibisono. Apa kalian mengerti?” Anthony kembali mengancam. Kedua tamunya yang juga pengusaha dari perusahaan lain terpaksa mengangguk. Anthony adalah preman Lin yang berkuasa di seluruh kota. Kabarnya para pejabat tinggi di lembaga eksekutif juga menggunakan jasanya. Sehingga hal itu membuat Anthony semakin leluasa menekan orang lain untuk melakukan yang diinginkannya. “Dua minggu. Jangan habiskan uang hanya untuk bersenang- senang sementara pekerjaan kalian belum selesai!” sahut Anthony lagi. Ia mengambil salah satu gelas kosong dan menuangkan wiski ke dalamnya. Sambil minum dengan sebelah tangannya, Anthony memerintahkan Hendri untuk melepaskan seluruh wanita yang tertahan tak bisa keluar. Setelah seluruh wanita yang menemani ketiga laki-laki itu keluar, barulah Anthony terkekeh. “Ayo, minum!” Anthony menaikkan gelasnya pada dua orang lainnya untuk melakukan tos. Dua pria itu takut-takut melakukan tos yang sama. Meskipun demikian, Anthony dan kedua temannya itu akhirnya ikut tertawa. “Bos, gak apa-apa?” tanya Hendri memastikan Anthony yang sedikit mabuk saat keluar dari klub malam. Anthony menggeleng sedikit tersenyum. “Hen, aku mau beli kado buat Tantria. Kira-kira, apa hadiah yang cocok untuk dia menurut kamu?” tanya Anthony sedikit menyeret cara bicaranya. Terlihat jelas jika Anthony sedang mabuk tapi Hendri masih terus meladeninya. “Nyonya Tantria pasti akan menghargai apa pun pemberian dari Bos. Dia bukan wanita yang banyak menuntut.” Anthony tersenyum mengiyakan. Punggungnya ia sandarkan di sisi mobil sambil menarik udara agak panjang ke dalam paru-parunya. “Kamu benar. Aku jadi merasa bersalah tidak menghabiskan teh yang ia sajikan tadi sore. Padahal aku ingin menikmatinya tapi aku kesal karena dia malah tidak punya rasa manja padaku. Dia kan sedang hamil, harusnya dia meminta perhatian kan.” Hendri hanya tersenyum dan menarik lengan Anthony membopongnya masuk ke dalam mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN