Bab 27. Hasrat Terpendam

1127 Kata
“Nyonya kenapa? Kok mukanya merah? Nyonya sakit ya?” tegur Erna saat melihat Tantria masuk ke dapur membawa nampan. Tantria menoleh lalu menggeleng. Halim yang ikut mendengar jadi menghampiri untuk mengecek. “Nyonya sakit?” tanya Halim memperhatikan dengan seksama. “Enggak kok. Memangnya muka Tantri merah?” Tantria balik bertanya. Halim dan Erna mengangguk serempak. Tantria langsung memegang kedua pipinya lalu menatap keduanya dengan raut bingung. “Maaf, Nyonya.” Halim meminta izin untuk meraba kening Tantria. “Badan Nyonya sepertinya agak hangat. Coba duduk dulu ....” “Tapi Tantri merasa baik-baik saja kok, Halim,” sanggah Tantria. Halim masih sedikit memaksa Tantria untuk duduk lalu meminta Erna untuk membawakan termometer. “Ambilkan termometer untuk Nyonya Tantria,” perintah Halim. Erna langsung mengangguk dan bergegas pergi. Tantria jadi kebingungan dengan apa yang terjadi. Ia hanya menurut saja duduk di salah satu kursi di dapur. Halim lantas membantu Tantria menggunakan termometer sambil menunggu hasilnya. “Wah, demam ini.” Halim menunjukkan hasilnya pada Erna. Erna terperangah lalu memegang tangan Tantria. “Nyonya kok gak bilang sedang sakit.” “Tantri gak tahu, sungguh. Kayaknya badan Tantri baik-baik saja,” jawab Tantria masih dengan kepolosannya. “Kalau begitu, Tuan Besar harus diberi tahu ....” “Jangan. Biar saja, Tantri istirahat di kamar saja,” ucap Tantria memotong cepat. Ia malah takut akan membuat Anthony marah jika ketahuan sedang sakit. “Kalau begitu, Tuan Muda Jayden dipindah ke kamar lain saja dulu,” ujar Halim langsung berbalik memanggil pengasuh Jayden. “Gak apa, Jayden masih tidur.” Tantria masih mencoba membela. “Jangan Nyonya. Nanti biar tabib Feng yang periksa. Kalau Tuan Muda masih bersama Nyonya bisa ketularan.” Erna tetap melarang. Tantria pun hanya bisa duduk dan pasrah. Ia cemas pada apa yang terjadi tapi tidak bisa berbuat apa pun. Akhirnya Jayden dipindahkan ke kamar lain. Kamar itu sesungguhnya sudah dipersiapkan menjadi kamar Jayden kelak. Hanya saja Tantria masih belum mau berpisah kamar dengan anaknya. Jayden tampak tenang kala dipindahkan. Sementara Tantria tidak diizinkan menyentuh atau menggendong Jayden sementara waktu. Erna dan pengasuh Jayden akan merawat bayi itu selama ibunya sakit. Demam Tantria mulai naik semenjak ia beristirahat di kamarnya. Tabib Feng pun datang dan berita tentang Tantria akhirnya sampai ke telinga Anthony dan Grizelle. “Dia sakit apa?” tanya Anthony dengan kening mengernyit. Padahal baru beberapa jam yang lalu Tantria baik-baik saja bahkan membawakan minuman saat ia latihan. “Sepertinya dia kelelahan, Tuan. Tapi kita bisa memanggil dokter untuk pemeriksaan darah. Takutnya demam berdarah atau malaria,” jawab Tabib Feng. Anthony mengangguk paham dan setuju. “Biar aku yang jaga Jayden.” Grizelle menawarkan diri untuk menjaga Jayden pada Anthony. Anthony langsung mengangguk dan segera berjalan menuju pesawat telepon untuk menghubungi dokter keluarga. “Jay, sini main sama Mami ya? Jayden lapar?” sapa Grizelle menggendong Jayden yang baru saja bangun tidur. Jayden menurut dan tidak rewel. Meskipun tanpa Tantria, seluruh anggota keluarga Lin memperlakukannya dengan sangat baik. “Nyonya Tantria sudah tidur. Demamnya juga sudah mulai turun. Nanti setelah ada hasil tesnya, baru saya kabarkan kembali,” ujar dokter keluarga yang datang memeriksa Tantria sekaligus mengambil sampel darahnya untuk di tes. “Terima kasih, Dokter.” Anthony hanya diam saat masuk ke kamar Tantria. Beberapa pelayan dan Halim masih berada di sana. “Malam ini kalian jaga Tantria bergantian ya. Kalau ada apa-apa langsung laporkan padaku. Atau Hendri juga akan berjaga,” ujar Anthony memberikan perintah pada Halim dan para pelayan. “Baik, Tuan Besar,” jawab Halim sedikit membungkuk. Hendri yang baru saja datang hendak masuk ke kamar Tantria tapi bertemu Anthony yang akan keluar kamar. “Bos, bagaimana Nyonya Tantria? Dia sakit apa?” tanya Hendri dengan raut cemas. “Sejauh ini hanya demam karena kelelahan. Aku hanya berharap dia cepat sembuh. Dokter juga sudah membawa darahnya untuk di tes, nanti dihubungi untuk hasilnya katanya.” Hendri masih diam mendengarkan. Matanya mengintip sekilas ke arah kamar tapi tangan Anthony dengan cepat menutup pintunya. “Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?” Hendri kembali mengusulkan. “Tantria tidak mau.” “Lalu Tuan Muda Jayden?” “Sepertinya ada di kamarnya bersama Grizelle. Ayo kita lihat!” Hendri mendampingi Anthony berjalan ke arah kamar Jayden yang baru. Anthony langsung mengumbar senyuman kala melihat Jayden sedang bermain dengan mainannya diawasi oleh Grizelle dan Belinda. “Mana anak Papa? Sudah bangun?” sapa Anthony berjalan ke arah Jayden. Jayden mendongak dan tersenyum lebar dengan mulut tanpa gigi yang lucu. “Bagaimana Tantria, Qin?” tanya Grizelle pada Anthony yang ikut duduk di lantai. “Oh, dia sudah tidur. Dokter baru pulang memeriksa. Sejauh ini dia hanya demam tinggi saja,” ujar Anthony menjelaskan. Tangannya memegang salah satu mainan balok dan memberikannya pada Jayden. Belinda juga tampak kompak bermain dengan sang adik. “Kok bisa ya? Padahal tadi pagi dia baik-baik saja,” ujar Grizelle lagi. Anthony ikut mengangguk. “Aku juga gak tahu.” “Bos, saya keluar sebentar!” Hendri lantas menyela untuk pamit pada Anthony yang langsung mengangguk. Hendri pun melangkahkan kakinya keluar meninggalkan Anthony dan Grizelle yang mengobrol sambil bermain bersama anak-anak mereka. Hendri lalu kembali ke kamar Tantria tapi tidak memiliki keberanian untuk masuk. Ia sempat ragu dan mondar-mandir di depan pintu kamar. Sampai pintu terbuka dan Halim keluar. “Pak Hendri?” “Bagaimana Nyonya Tantria?” tanya Hendri sedikit mendekat. “Sudah gak apa-apa, Pak. Nyonya juga sedang istirahat.” Hendri tidak mengangguk dan hanya melemparkan senyuman tipis saja. Ia masih belum bisa tenang sebelum bisa melihat Tantria langsung. Masalahnya dia tidak mungkin sembarangan masuk ke dalam. “Saya mau kembali ke dapur dulu,” sambung Halim pamit. Hendri hanya mengangguk sekali dan membiarkan Halim pergi. Akan tetapi, Hendri masih berada di depan pintu ragu untuk memutuskan tindakannya. Tantria terbangun malam hari dengan lampu remang di kamarnya. Ia duduk perlahan dan melihat tidak ada siapa pun di kamarnya. Tantria yang merasa haus lalu turun dari tempat tidurnya untuk berjalan keluar. Namun setelah menutup pintu Tantria kaget kala melihat Anthony sudah berdiri bersandar di depan. “Mas Anthony,” sebut Tantria masih memegang pegangan pintu. Anthony tampak aneh. Ia mengenakan kemeja tapi dasi kupu-kupunya sudah lepas. Kancing kemejanya juga sudah lepas dua tingkat. Wajahnya sedikit terluka seperti habis berkelahi dan hal itu membuat Tantria makin bingung. “Apa kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Anthony melemparkan pertanyaan membingungkan. Kening Tantria menggeleng dengan raut polosnya. “Enggak, Mas.” Anthony mendekati Tantria yang makin menempelkan punggungnya ke pintu. Semakin lam tubuh Anthony makin dekat sampai akhirnya wajahnya nyaris menyentuh ujung hidung Tantria. Mata Tantria spontan membesar. “Kamu salah, Tantri. Kamu berbohong padaku,” bisik Anthony dengan pandangan tajam. Ujung rambut hitam Anthony separuh menutupi mata tajamnya. Jantung Tantria melompat-lompat karena posisi yang diberikan oleh Anthony.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN