Seminggu berlalu sejak kepergian Friska, tidak hanya mengurus Ello yang sudah bersekolah di taman kanak-kanak, kehadiran Shareena, anak kedua Dewa dan Friska membuat rutinitas Tania sehari-hari berubah banyak.
Pada Ello, Tania berusaha menjelaskan sebaik mungkin bahwa Bundanya kini sudah berada di surga bersama Tuhan.
“Memangnya kenapa Bunda harus ke surga Kak Nia?” Pertanyaan itu pun meluncur dari mulut Ello setelahnya.
Dengan sangat hati-hati Tania pun menjelaskan bahwa Bundanya punya tugas yang harus dikerjakan bersama Tuhan. Karena itu ia tidak bisa turut serta membawa keluarganya.
“Nanti, kalau tugasnya sudah selesai, kalian bisa berkumpul lagi. Jadi selama itu Ello harus jadi anak baik dan penurut ya?”
Ello seperti bisa menerima penjelasan itu dengan baik. Di luar dugaan bahkan pria yang masih sangat kecil itu tetap bersemangat dan lebih mudah diurus daripada saat masih ada Friska. Tidak ada drama rutin di pagi hari yang biasanya terjadi saat bersiap ke sekolah.
“Biar Bunda tidak nangis, Kak. Bunda pernah pernah nangis waktu Ello nakal, Ello jatuh waktu main. Kalau Bunda nangis di sana, kan malu sama Tuhan.”
Tidak ada rengekan Ello juga omelan Friska lagi di rumah itu kini. Tania bersyukur karena pada dasarnya Ello bukanlah anak manja dan merepotkan, meringkan pekerjaan Tania yang tak bisa meninggalkan adiknya sama sekali. Meski di sisi lain hatinya terasa sakit melihat anak sekecil itu berusaha keras memahami keadaan.
Sudah tiga hari ini juga Ello di antar dan dijemput supir keluarga mereka ke sekolah. Menurut supir yang mengantar, Ello sering kali melamun jika diajak bicara saat di perjalanan.
“Mungkin masih bingung sama situasinya, Mbak. Biasanya kan ada Mbak Nia yang antar jemput dan ngajak ngobrol selama perjalanan.”
Tania tentu hafal, Ello bukanlah anak pendiam. Friska sering kali kerepotan dengan pertanyaan dan rengekan anak sulungnya itu, dan kepergian Friska jelas membawa banyak keceriaan Ello sebagai anak-anak.
Di sisi lain, Rena yang masih bayi, membuat Tania mulai kerepotan setiap kali menangis.
'Mungkin karena selama hidup ini aku tidak pernah punya bayi jadi susah menenangkannya,' batin Tania.
Mengetahui kesulitan Tania, Bu Maya, Asisten Rumah Tangga yang tugasnya hanya membersihkan rumah dan memasak menawarkan bantuan, bahkan bersedia menginap agar Tania bisa fokus mengurus Ello dan Rena saja.
Semua orang di rumah itu berusaha melakukan yang terbaik, beradaptasi dengan kenyataan dan kondisi baru pasca kepergian Friska. Hanya Dewa yang masih larut dalam kesedihan, waktu yang ia habiskan untuk pekerjaan jauh lebih banyak dibanding di rumah.
Bersyukur di tengah situasi tersebut, masih ada keluarga lain yang bertindak cepat untuk mencarikan ibu s**u untuk Rena.
Tania bertugas mengurus keperluan ASI bagi bayi yang belum pernah merasakan dekapan ibunya itu. Tugas yang awalnya mudah, kemudian terasa berat setelah Rena mulai sering rewel di malam hari. Sampai-sampai jam tidur Tania berkurang apalagi di saat Rena sedang demam seperti sekarang ini. Bu Maya tergopoh-gopoh menghampiri Tania yang memanggilnya.
“Gimana ini, Bu? Rena demam. Nia nggak tau sama sekali ngurus bayi begini."
“Tenang. Jangan panik Nia. Dibawa ke rumah sakit aja. Telepon Pak Dewa dulu tapi,” saran Bu Maya diangguki wanita itu.
Diantar supir, Tania pun pergi ke rumah sakit setelah menghubungi Dewa.
Rena berhasil ditangani dengan cepat. Bu Maya terpaksa menginap lagi untuk menjaga Ello selama Tania menjaga Rena di rumah sakit.
“Kak Nia!” seru Ello dengan riang menyambut pengasuh kesayangannya itu setelah beberapa hari tidak bertemu. “Aku mau liat adik Rena dong!” cicitnya.
Tania berlutut, mensejajarkan dirinya agar Ello bisa melihat adiknya lebih nyaman.
“Adik cantik, jangan sakit lagi. Kakak jadi sendirian.”
“Masa sendirian. Kan ada Bu Maya yang jagain,” sahut Tania seraya mengusap sayang kepalanya.
“Oh, iya. Aku lupa. Hehehe,” cengirnya menggemaskan.
“Bapak gimana Nia?”
“Pak Dewa?” Bu Maya mengangguk. “Gimana apanya, Bu? Nia kurang paham.”
“Selama kamu mengurus Rena di rumah sakit apa Pak Dewa menemani?”
Tania menggeleng. “Cuma sampai masuk ruang rawat dan kondisi Rena stabil. Setelah itu hanya mengecek sesekali sampai tadi pagi ngasih tau kalau Rena sudah boleh pulang,” terangnya.
Bu Maya mendesah sendu. “Saya sedih Nia. Sejak Bu Friska nggak ada, Bapak jadi begitu. Kasihan anak-anak.”
Tania juga merasakan hal yang sama. Kalau Dewa terus berlarut-larut dalam kesedihan, apa ia akan selamanya tinggal di sini? Lalu bagaimana dengan keluarganya?
Ada rasa sakit yang mencuil hatinya mengingat ia ingin sekali mengetahui tentang siapa dirinya.
“Ibu nggak masalah menginap. Hanya saja, kasihan Ello. Dia jadi kesepian. Padahal waktu masih ada almarhumah, Bapak tidak pernah sampai seperti itu. Kalaupun ada operasi dadakan, pasti tetap pulang,” terang Bu Maya.
Dari posisi mereka di meja makan, Tania menatap Ello yang sedang menjaga adiknya di dalam ayunanan.
Bayangan Dewa yang menatap kosong pada sofa di mana Friska biasanya menonton tv, atau mata yang berkaca-kaca saat menatap dapur di pagi hari saat sarapan bersama dengan istri dan anaknya, membayang di pikiran wanita itu sekilas.
“Saya juga kasian. Semoga Pak Dewa bisa cepat menyadarinya ya, Bu.”
“Aamiin, Nia. Ayo makan! Bawa anak-anak ke sini,” ucap Bu Maya.
Baru Tania akan beranjak, dari luar terdengar suara gerbang dibuka dan deru mobil masuk ke halaman. Tania dan Bu Maya saling menukar tatapan.
Bergegas menuju pintu, Tania membukakan pintu masuk yang lebih dulu terbuka karena didorong Dewa dan menyapanya dengan kalimat, “Ello di mana?”
Tania tertegun beberapa jenak sebelum menjawab. “Itu, Pak. Sedang di meja makan dengan Bu Maya,” unjuknya ke arah dapur.
Dewa mengangguk, menghampiri Ello dan menyapa anak sulungnya itu lebih dulu.
“Ayahhhhh!” serunya riang hendak memeluk tapi ditolak. Pria kecil itu cemburut. “Ih Ayah mah nggak asik. Aku kan kangen tau,” cicitnya ngambek sambil melipat tangan di d**a. Menggemaskan.
Tania dan Bu Maya tersenyum melihat pemandangan hangat yang mereka rindukan di antara Ayah dan anak itu.
Dewa berjongkok mensejajarkan diri dengan Ello yang sedang duduk. “Iya. Ayah juga. Tapi Ayah kan habis dari rumah sakit, Sayang. Belum mandi. Ello kenapa belum makan?”
“Ayah mau makan bareng sama aku?” Dewa menganggukinya. “Aku udah bisa makan sendiri loh,” akunya dengan bangga.
“Oh, ya? Hebat sekali anak Ayah. Siapa yang ajari?”
“Kak Nia. Katanya kalau aku bisa makan sendiri, Bunda pasti seneng liatnya dari surga.”
Bola mata Dewa memerah mendengar hal itu. Tak urung senyum berikutnya tampak sekali dipaksakan.
“Ayah mandi sebentar ya? Nanti kita makan bersama.”
Ello mengangguk patuh. Dewa menatap Bu Maya dengan sorot sesal.
“Saya nggak tau Bapak mau pulang. Tapi kalau Bapak nggak keberatan makan makanan ini, silakan.”
“Tidak apa, Bu Maya. Saya yang minta maaf. Ibu pasti sering memasak untuk saya.” Bu Maya mengangguk. “Saya mandi dulu kalau begitu,” pamitnya
Sepeninggalan Dewa, Bu Maya lekas memanggil Tania dan menyuruhnya makan duluan.
“Ibu saja dulu. Nia mau menyusui Rena supaya cepat tidur.”
“Ya sudah. Nanti Ibu simpankan bagian kamu ya?” Tania mengangguk lalu kembali mengurus Rena.
Tanpa disadari Tania, wajahnya tak henti tersenyum melihat interaksi Dewa pada Ello. Tidak hanya menemani makan, pria itu juga dengan serius mendengar semua cerita dan ocehan putranya dengan detail. Seolah-olah bicara dengan Ello seperti berbicara dengan pasiennya.
“Nia?”
Perempuan itu menjenggit karena pintu kamar Rena dibuka begitu saja di tengah malam. Tania baru akan menyusui Rena yang terbangun dan menangis.
“Rena bangun, ya?” Wanita itu mengangguk. “Biar saya yang menyusuinya.”
Dewa pun masuk dan menghampiri Tania lantas mengambil Rena dari gendongan Tania.
“Dalam semalam berapa kali Rena bangun?” tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari Rena.
“Kadang tiga atau empat kali, Pak.”
“Maaf ya, kamu jadi kerepotan,” imbuhnya membuat Tania tertegun karena Dewa mengatakannya sambil tersenyum dengan tatapan terluka.
Entah kenapa Tania ingin sekali memberikan dukungan padanya. Alih-alih melakukan, Tania hanya menjawab, “Tidak apa, Pak.”
“Bisa kita bicara?” tanya Dewa setelah ia meletakkan Rena di dalam box bayinya. Tania duduk di sofa kamar Rena. Sementara Dewa mengambil kursi lain yang kebetulan ada di sana.
“Saya berterima kasih sekali kamu sudah menjaga anak-anak dengan baik.”
Kedua jemari Tania saling menaut di atas paha. Wanita itu terus menunduk sambil mendengarkan. Gelisah menanti apa yang akan dibicarkan majikannya.
“Bulan depan saya harus pindah ke Singapura.” Tania mendongak. “Apa kamu bisa ikut dengan saya?”
“Maksud Bapak?”
“Saya membutuhkan bantuan kamu untuk menjaga Ello dan Rena. Apa kamu keberatan kalau ikut kami ke Singapura? Jujur, saya tidak tenang kalau mencari pengasuh lagi untuk mereka saat ini. Terutama setelah saya melihat bagaimana kamu mengurus Rena.”
Tania termenung. “Soal gaji, kamu tidak perlu cemas. Saya akan menyesuaikan lagi gaji kamu. Karena pekerjaan kamu bertambah dengan mengurus Rena.”
“Bukan itu, Pak. Sejujurnya … saya masih ingin bertemu keluarga saya.”
Dewa terdiam sesaat. “Saya tetap usahakan mencari keluarga kamu. Sambil menunggu, semua dokumen yang kamu perlukan untuk ikut pindah apakah boleh saya urus?” Tania masih menatap Dewa dengan perasaan bimbang.
“Jangan salah paham. Ini supaya lebih mudah saja. Kalau ternyata keluarga kamu muncul sebelum kita pergi, kamu boleh menolak tidak ikut, bagaimana?”
Tania tertegun. Lalu kepalanya mengangguk begitu saja sebab sorot mata Dewa yang memohon membuat Tania Iba dan sungkan untuk menolak.
Dewa pun tersenyum lega, meminta wanita itu untuk berisitirahat di kamarnya sementara ia yang akan ganti menjaga Rena malam ini.
Tania tidak pernah tau, kalau setelah anggukannya tadi, kehidupannya tidak akan sama lagi kedepannya.
Bersambung