HT 2 - Amnesia

1351 Kata
Sudah dua hari pasca tindakan pertolongan yang diberikan langsung oleh dokter sekaligus penabrak Tania, wanita itu masih belum sadarkan diri. Hasil pemeriksaan tidak menunjukkan gejala atau tanda yang aneh dan bermasalah. Dan masa kritis wanita itu pun sudah lewat. “Gimana Dewa, udah lapor polisi?” pria bernama Dewa itu mengangguk. “Kita tunggu aja. Mudah-mudahan ada kabar baik,” imbuhnya seraya memberi dukungan. “Iya. Kasihan pasti keluarganya kebingungan mencari.” Pria di sampingnya mengangguki setuju lalu bertanya, “Friska gimana?” “Friska sama Mama. Sementara Bu Maya juga nginep selama gue nunggu gadis itu siuman dan kondisinya stabil. Thanks ya, Jo untuk bantuan dan kemudahan semuanya.” “Bukan masalah. Gue balik ke ruangan dulu kalau gitu,” pamitnya diangguki. Tak lama setelah kepergian pria yang dipanggil Jo itu, Tania mulai sadar. Pertama jarinya bergerak-gerak. Kemudian kedua bola matanya di balik kelopak yang terpejam. Lalu kedua alisnya mengernyit. Tampak seperti kesakitan diikuti desisan tak jelas dari bibirnya bersamaan dengan bola mata yang perlahan terlihat seluruhnya kemudian. Pencahayaan ruang yang cukup silau membuat wanita itu segera memicingkan mata sebelum akhirnya semua terlihat jelas dalam penglihatannya. Dewa membiarkan Tania mengamati seisi ruangan sebelum ia bertanya lebih lanjut. “Saya di mana?” Akhirnya pertanyaan itu terbit dari bibir Tania saat tatapannya bersiborok dengan tatapan Dewa. Pria itu tersenyum. Sengaja mengenakan jas putih Dokter supaya Tania bisa segera menyadari siapa yang ada di hadapannya dan di mana ia sekarang. “Kamu di rumah sakit. Beberapa hari lalu kamu mengalami kecelakaan. Apa kamu ingat nama kamu siapa?” Seketika Tania memegangi kepalanya yang sakit. Wanita itu mengeluh karena sudah berusaha mengingat namun tak menemukan sebuah nama pun yang melintas di kepalanya. Tania menggeleng-gelengkan lagi kepalanya, mencoba berpikir kerasa tapi tak kunjungan menemukan sebuah nama dalam ingatannya. “Ssshhh … sakit!” rintihnya membuat Dewa terkejut. Sesaat sebelum Dokter muda itu berhasil mengendalikan diri dan memeriksanya lagi. Setelah dilakukan pemeriksaan mendalam, Tania dinyatakan amnesia karena luka dan benturan yang mengakibatkan trauma di kepalanya. Dokter lain mengatakan kemungkian hanya sementara dan menyarankan Tania untuk melakukan terapi dan kontrol lanjutan. Namun, masalah lainnya adalah ingatan Tania yang hilang membuat wanita itu sulit mencari tahu keluarganya sebab identitas yang dimilikinya juga hilang. “Gimana kalau dibawa aja ke Jakarta? Sekalian jadi pengasuhnya Ello. Friska udah mau lahiran ‘kan?” Dewa mencoba mempertimbangkan saran pria di sampingnya itu. Lanjut pria itu lagi, “Toh, kalau ada info tentang orang hilang, polisi bakal langsung ngabarin juga ‘kan?” pungkas Dokter Jo. Dewa mengangguk setuju dengan saran sahabat sekaligus rekan satu profesinya itu. Dewa pun menjelaskan kondisi Tania dan meminta maaf meski Tania tak ingat sama sekali dengan kecelakaan itu. “Jadi, untuk sementara waktu apa kamu mau bekerja dan tinggal di rumah saya sampai keluarga kamu ditemukan?” Tania terdiam. Hatinya bimbang. Ia sendiri juga tak tahu harus ke mana setelah keluar dari rumah sakit nantinya. Maka dari itu ia pun memutuskan, “Baiklah. Saya bersedia ikut,” jawabnya lirih. Setelah segala urusan dan ijin yang diperlukan selesai diurus, seminggu kemudian kemudian mereka pun tiba di kediaman Dewa di bilangan Jakarta Selatan. Seorang wanita hamil yang tampak masih muda dan cantik bersama seorang pria kecil di sampingnya tersenyum menyambut Tania dan Dewa saat turun dari mobil. Tania memperhatikan interaksi ketiganya yang sangat harmonis. Terutama karena perlakuan Dewa pada wanita dan bocah kecil yang terasa begitu manis dan hangat dilihatnya. “Ayo silahkan masuk!” ajak ramah wanita itu pada Tania. Keduanya duduk di ruang tengah. “Ini yang Mas ceritakan, Sayang. Tapi Mas belum memberinya nama sementara. Mungkin kamu mau memberikannya?” Wanita itu tersenyum menatap Tania yang sedikit menunduk. “Saya Friska. Istrinya Mas Dewa. Ini Carmello. Anak pertama kami,” terangnya kemudian hanya diangguki Tania dengan sopan dan senyum santun. “Usia kamu berapa?” imbuhnya membuat Tania termenung. “Sayang, dia kan hilang ingatan,” bisik Dewa masih bisa di dengar lamat-lamat oleh Tania. Friska tampak terkekeh malu. “Aduh, maaf, ya?! Saya lupa. Sejak hamil kedua jadi gampang lupaan. Maklum udah mau punya buntut dua,” kelakarnya mencairkan suasana. Tania mengangguk saja. “Gimana kalau saya kasih kamu nama Nia? Karena kamu dari Bandung. Nia biasanya nama orang Sunda. Kamu tidak keberatan?” Tania termenung. Bukan tak suka. Tapi nama itu seperti tak asing di telinganya. Bahkan semacam ada perasaan hangat yang ia rasakan saat mendengarnya. Lagi-lagi Tania hanya mengangguk setuju. Otaknya masih bercabang dengan banyak kegelisahan yang ia sendiri tak mengerti apa sebabnya. Tapi mungkin itulah gunannya Tuhan menciptakan hati dan perasaan. Sehingga ketika manusia kehilangan memori dan kenangan, ada hati yang tetap bisa menyimpan perasaan yang sama saat sesuatu men-trigger ingatannya muncul. Tania kemudian ditunjukkan kamarnya setelah diskusi perihal gaji dan lainnya. Bagi Tania, bisa diberi makan dan tumpangan tempat tinggal gratis saja sudah sangat ia syukuri. Tak terbayang kalau dirinya harus terlunta di jalanan karena tak mengenal siapapun oleh sebab ingatannya yang hilang. Keamanannya pasti juga dalam bahaya. Jadi, berapapun gaji yang diberikan majikannya bagi Tania adalah bonus. Ia hanya bisa berdoa semoga dirinya bisa cepat dipertemukan dengan keluarganya. Karena ia yakin, dibanding dengan siapapun tinggal dengan keluarganya sendiri adalah yang terbaik. Bu Maya, asisten rumah tangga yang tugasnya bersih-bersih dan masak tapi tidak tinggal di sana menunjukkan pada Tania kamar yang akan ia tempati dan beberapa tempat lain seperti tempat loundry dan dapur utama. Meski fokus utamanya mengurus Carmello, tapi Tania tidak mungkin santai-santai saja saat sedang punya waktu senggang pikirnya. Karena itu Tania meminta ijin untuk diperbolehkan melakukan tugas yang lainnya untuk membantu Bu Maya. Bu Maya pun menjelaskan pekerjaan yang biasa ia lakukan agar wanita itu tak kebingungan nantinya. Meski tetap saja Tania lebih banyak diminta beristriahat mengingat kondisinya yang belum pulih benar pasca kecelakaan yang menimpanya. Tania tentu familiar dengan pekerjaan rumah. Ingatan tubuhnya tak akan lupa dan itu semakin memudahkan ia beradaptasi di rumah majikannya seminggu kemudian. Semua penghuni rumah yang ia tempati memperlakukan Tania dengan sangat baik meski pekerjaannya hanya sebagai pengasuh sekaligus Asisten Rumah Tangga. “Aduh!” Friska mengerang sambil memegangi perutnya yang mulai merasakan sakit di atas sofa. Tania langsung memburu majikannya begitu masuk rumah. Ia baru saja pulang dari menjemput Ello di sekolahnya. Bu Maya juga memberikan minum untuk majikannya yang sedang hamil tua itu. “Ibu sudah terasa mau lahiran?” tanyanya cemas sambil reflek memegangi perut majikannya. Friska mengangguk. “Tolong telepon Mas Dewa, Nia.” Tania mengangguk. Bergegas menelepon sang majikan pria di tempat kerjanya lantas membawa Friska bersama supir sesuai arahan yang diberikan Dewa di telpon sebelumnya. “Kamu pulang saja Nia. Kasihan Bu Maya kalau kamu pulangnya kemalaman. Saya titip Ello ya,” ucap Dewa begitu istrinya sudah ditangani dokter lain. Tania mengangguk. Pamit pulang bersama supir setelah menyerahkan barang-barang dan perlengkapan Friska serta calon bayinya pada Dewa. “Kak Nia, Ello mau punya adik ya?” tanya Ello begitu Tania tiba di rumah lagi. Nia mengusap kepala Ello dengan sayang. “Iya. Ello doakan ya, Bunda sama adik bayinya sehat. Biar bisa cepet ketemu.” Ello mengangguk dengan lucu lantas mengangkat tangan dan berdoa dengan suara lantang. “Ya Allah jagain Bunda sama adik bayi ya. Ello kan anak baik. Katanya kalau anak baik doanya pasti dikabulin. Jadi kabulin doa Ello ya.” Tania mengaminkan sambil tersenyum. Gemas lantas mencubit pipi Ello sebelum mencium bekas cubitannya. Wanita itu kemudian melanjutkan aktifitasnya sebagai pengasuh Ello sampai bocah itu tertidur bersamanya di kamar. Tania bangun subuh harinya, menyiapkan keperluan Ello seperti biasa saat Bu Maya datang dengan raut sedih. “Bu Maya kenapa?” “Pak Dewa belum mengabari?” Tania menggeleng. Karena memang tidak sempat mengecek ponsel setelah bangun tadi. “Ada apa, Bu? Nia nggak ngecek hp tadi,” terangnya. “Bu Friska meninggal setelah melahirkan anaknya. Kamu siap-siap ya?! Nanti akan ada keluarga Pak Dewa dan Bu Friska ke sini. Kamu jaga Ello.” Tania tersentak. Merasa ikut berduka sekaligus sedih karena majikan yang seminggu ini memperlakukannya dengan baik harus berpulang setelah melahirkan bayinya. Tania sendiri bingung bagaimana nanti menjelaskan pada anak asuhnya kalau Bundanya sudah tidak bisa bersamanya lagi di dunia ini. Sungguh, Tania tak tahu harus bagaimana menyampaikannya nanti. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN