Tunggakan Cicilan

1174 Kata
Pura Pura Rebahan Part 9 : Tunggakan Cicilan Bank Setelah ponsel jadulku lowbet karena terus menelepon Mas Nizar tapi tak juga disambut, kaki ini kesemutan karena kelamaan berdiri, tubuh bentolan karena digerogoti nyamuk ganjen, Aisha tertidur di gendongan, sedang Naffa tertidur tengkurap di atas motor, barulah Mas Nizar keluar dari pintu restoran itu. Wajahnya terlihat sangat letih dengan keringatan bercucuran, seperti habis lari marathon saja. “Mas, ke mana aja sih kamu?” todongku dengan wajah perang, sambil garukan bentolan di sana-sini akibat serangan wabah nyamuk. Mas Nizar hanya melengos kesal dengan sambil menggendong Naffa, putri sulung kami, lalu menyuruhku naik ke motor duluan dan setelah itu mendudukan Naffa di depanku, dia langsung naik dengan memelukkan tangan Naffa ke pinggangnya. Suamiku mulai memacu motor menuju arah pulang. Sepanjang perjalanan, aku hampir sesak napas karena aroma tak sedap yang keluar dari tubuh suamiku itu, ih ... bau sekali. “Mas, kamu ngapain tadi lama sekali?” tanyaku dengan berteriak karena berlomba dengan angin yang bertiup di sekeliling kami. “Sudahlah, jangan bawel!” jawabnya ketus. Aku mengerucutkan bibir dan mengunci mulutku hingga motor barunya tiba di depan rumah. Mas Nizar menggendong Naffa dengan sambil membuka kunci rumah, lalu masuk dan aku yang kebagian jatah menggendong Aisha mengekor di belakangnya. Mas Nizar mengantar Naffa ke kamar, lalu segera keluar. Setelah membaringkan Aisha, aku pun hendak menutup pintu kamar namun mengurungkannya saat melihat Mas Nizar mengipasi tangannya di hadapan kipas angin yang terletak di dekat televisi. Ia sudah bertelanjang d**a saat ini, napasnya terlihat bergemuruh, tak salah lagi, ia pasti tadi balapan lari dulu sebelum pulang, eh! “Kenapa lihat-lihat? Tidur sana!” ujarnya ketus dengan melirikku tajam. “Makasih, ya, Mas, udah ngajakin aku dan anak-anakmu makan di restoran,” jawabku dengan berusaha tersenyum. “Hmmm ... buruan tutup pintunya, kalau nggak ... aku akan ambil jatah malam ini!” ancamnya dengan mata yang melotot. Mendengar ancaman dari Si Tuan Kreb, dengan cepat kututup pintu kamar dan menguncinya. Dasar, tak pernah mau ngomong lembut, selalu marah-marah dan kasar, padahal ‘kan aku cuma mau tahu aja dia kenapa lama banget datangnya? Kuhela napas panjang dan meraih bantal lecekku lalu membuka resletingnya, dan mengeluarkan ponsel mahalku juga mengintip duit yang berwarna merah dan biru itu, aku tersenyum senang melihat mereka baik-baik saja di dalam sana. “Selamat tidur sayang-sayangku, semoga kalian semakin beranak pinak! Panggillah teman-temanmu yang lain, ajak ke rekening biar bisa rebahan syantik di dalam sarung bantalku,” gumamku dengan memeluk bantal ajaib yang sarungnya semakin lecek dan berbau khas, bau duit tentunya, aku menahan tawa. Kuusap layar ponsel dan membuka dua aplikasi menulisku, ada si pink dan si hijau, itulah platform menulisku yang dapat menghasilkan banyak cuan. Senyumku semakin mengembang saat melihat pencapaian di aplikasi hijau mendapatkan nominal 20juta bulan ini, sedang di aplikasi pink dapat 18juta, lumayan bulan ini aku dapat tiga puluh juta lebih. Ternyata pekerjaan jadi kang halu itu sungguh menyenangkan, rekeningku semakin menggendut setiap bulannya tanpa harus mengeluarkan tenaga, palingan aja cuma puyeng mikir alur cerita yang paling disukai para fansku yaitu emak-emak berdaster. *** “Ma, mana aku punya uang sebanyak itu!” “Kamu tega kalau rumah peninggalan Papamu disita oleh Bank?!” “Tolongin, Zar, sekali ini saja!” Samar-samar, terdengar suara Mas Nizar, Mbak Mona dan Mama Mertua dari arah luar, sepertinya mereka sedang duduk di ruang tamu. Kubuka mata dan melirik jam di dinding yang baru menunjuk ke arah 06.00, karena saking capeknya berdiri di depan restoran tadi malam, aku tiduran lagi sehabis sholat subuh. Kukucek mata, lalu bangun. Kedua putriku masih terlelap dengan pulas, aku tersenyum melihat gaya tidur keduanya yang berputar 360 derajat itu. Aku bangkit dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar. Ternyata benar dugaanku, ada tiga orang itu sedang berbicara serius di ruang tamu. “Vio, sini dulu, Nak!” Mama mertua melambaikan tangannya dengan suara sangat lembut, membuat perasaan jadi tak enak saja, sebab kalau dia baik begini pasti sedang ada maunya. “Hmm ... Ma, Mbak Mona, awal banget ke sininya? Mau Vio buatin teh atau kopi?” tanyaku pura-pura ramah dengan melempar senyum sok manis. “Nggak usah, Vio! Coba kamu duduk dulu di samping Nizar, Mama dan Mbak Monamu ini sedang tertimpa musibah. Sebenarnya sih sejak dari tadi malam mau ke sini, tapi kalian tak ada di rumah,” ujar Mama mertua. “Iya, Ma, tadi malam Mas Nizar ngajakin makan ke restor—an .... “ Aku menggigit lidah karena Mas Nizar tiba-tiba menginjak kakiku sembari melirikku dengan matanya yang garang. “Tuh ... kan, Ma, Nizar itu emang pelit padahal dia banyak duitnya, buktinya aja tadi makan ke restoran dan nggak ngajak kita pula!” ketus Mbak Mona sembari menatap kami dengan mata judesnya. “Jadi begitu kamu, Nizar? Dengan Mama dan Mbakmu pelitnya selangit, tapi malah hura-hura dengan istri dan anak! Dasar, anak durhaka kamu!” Kini giliran Mama mertua lagi yang melayangkan semprotannya. Aku menggigit bibir, dengan sambil menggaruk kepala, nyesel banget punya sifat polos begini. “Gara-gara kamu sih!” gerutu Mas Nizar dengan sambil menyikutku. “Maaf .... “ Aku meremas jemari dengan menatap suamiku yang kini wajahnya semakin kecut itu. “Ya sudah, sekarang kembali ke inti permasalahan saja. Kamu bisa ‘kan, Zar, bantuin bayar tunggakan cicilan tiga bulan di bank itu? Cuma dua belas juta saja, kalau usaha Aldi udah normal, entar dibalikin kok.” Mama mertua menatap penuh harap kepada putra bungsunya itu. “Ma, dua belas juta dibilang ... cuma? Duit segitu ... aku mesti nabung berbulan-bulan buat ngumpulinnya, lagian ... kenapa Mas Aldi yang pinjam uang di bank tapi aku yang disuruh bayar cicilannya? Aku nggak punya uang sebanyak itu!” jawab Mas Nizar dengan suara berat dan helaan napas. “Masa kamu nggak punya tabungan? Cuma pinjam kok, Zar. Harus berapa kali lagi Mama bilang ... usaha yang dikelola Aldi sedang ada masalah, makanya dia nggak bisa bayar cicilan bank, selama ini juga dia yang bayar kok. Ayolah, Zar, sekali ini saja ... berilah pertolongan kepada kami! Kamu nggak mau 'kan, Mama nggak punya tempat tinggal lagi kalau rumah warisan almarhum Papamu itu sampai disita oleh Bank,” rayu Mama mertua dengan suara lemah lembut. Untuk beberapa saat, suasana hening sejenak. “Vio, bujuk suamimu untuk ngasih pinjaman dua belas juta itu!” Kini Mama mertua menatapku dengan mata ala berbi, sok lemah lembut dan penuh belas kasih. “Mas, kasih ajalah ... kasihan kalau rumah Mama sampai disita!” ujarku lemah lembut pula dengan menirukan gaya Mama mertua. “Ayolah, Zar, entar Mbak kembalikan kok dan nanti kalau usaha Mas Aldi udah kembali normal, kami kasih bonus deh pas balikin ke kamu .... “ Kini gantian Mbak Mona yang merayu adiknya itu. “Tidak bisa!!!” Suara Mas Nizar terdengar nyaring, dengan ekpresi wajahnya yang memerah. Aku memegangi d**a, berpura-pura kaget padahal mah, udah kebal sebenarnya. Aku menatap risi ketiga keluarga itu yang kini saling tatap bengis, sepertinya akan terjadi perang. Aduh ... bantal ajaibku harus segera diselamatkan ini. Aku mengepalkan tangan dan bersiap bangkit dari duduk untuk berlari menuju kamar. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN