GRACE
--
Suara berdering mesin telepon dari ruang depan membangunkanku. Kedua mataku mengerjap ketika melihat cahaya matahari menembus masuk melalui celah jendela kamarku. Aku merasakan sesuatu yang tajam, seperti kuku-kuku yang mencakar kakiku, kemudian sesuatu yang basah, di bawah kakiku. Tubuhku tersentak, Tammy mengeong kasar di saat yang bersamaan. Kucing itu langsung melompat turun dari atas kasur.
Aku melirik ke arah alarm yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dengan malas aku menegakkan tubuh kemudian menyeret kakiku turun dari atas kasur dan berdiri di depan kaca. Kini aku bisa melihat sepasang mata yang merah dan membengkak. Rambut kecoklatanku tergerai memanjang di belakang punggung. Aku baru menyadari rambut itu terlihat lebih panjang dari sebelumnya. Ada luka yang membiru di bawah rahangku. Ketika aku menyentuhkan jari-jariku ke bawah sana, rasa sakitnya membuatku mendesis. Aku tidak ingat bagaimana aku mendapatkan luka itu, tapi ada begitu banyak bekas luka: di bawah lengan, di punggung, bahu, dan tengkuk. Melihat dari warnanya yang mulai menghitam, aku tahu itu bukan luka baru. Jadi, itu pasti suatu kejadian yang telah kulupakan.
Ketika aku menarik turun mantelku, aku menyadari ada lipatan lemak di bawah perutku. Seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin gemuk dan lemah. Ben mengatakan bahwa itu karena alkoholnya, tapi aku tidak yakin bisa berhenti untuk minum – aku belum siap.
Mungkin yang kubutuhkan adalah olahraga. Tapi aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Aku hanya mengingat Ben, jalur melandai menuju bukit yang kami lalui dan tepi sungai. Kami sering menghabiskan waktu untuk berolahraga di sana. Kami akan mengitari jalur sepanjang lima kilometer dan berhenti di dekat hutan.
Pengingat itu membawaku berjalan mendekati jendela. Aku menatap sejumlah orang berjalan di bawah sana: Mrs. Wisherman yang sedang berkebun di halaman depan rumahnya, Raul dan Marc yang sedang duduk di belakang meja kerja mereka, dan sekumpulan remaja yang sedang tertawa cekikikan dengan seputung rokok di sela-sela jari mereka.
Aku menatap ke arah kediaman Foster. Pintu-pintunya tertutup, lampu dapur dan ruang tengah di padamkan, tidak ada pemandangan Mac Foster yang sedang duduk sembari menyaksikan siaran televisi, atau Jane Foster yang tengah sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Hari ini, rumah itu menatap kosong ke arahku. Aku penasaran apa yang sedang dilakukan keluarga Foster. Itu adalah pagi di hari Jumat, Jane seharusnya sedang duduk di belakang meja makan dan menunggu seseorang menghubunginya. Dia libur hari ini. Kelihatannya, hari ini berbeda.
Ketika aku membuka pintu kamarku, aku langsung berhadapan dengan ruangan kosong yang gelap. Lampu dapur dipadamkan, tidak ada suara berisik televisi, telepon yang berdering, atau keran yang berbunyi dari arah kamar mandi. Aku berjalan hingga sampai di anak tangga. Ruangan di bawah sana tampak senyap. Kegelapan menyelimuti tangga besi yang mengarah ke ruang bawah tanah dan gudang. Tidak ada suara musik, derap langkah kaki seseorang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang. Dimana Sean?
Samar-samar aku mengingat percakapan kami semalam. Aku mengingat ketika aku berteriak dan membanting pintu di depan wajahnya. Laki-laki itu mungkin tersinggung dan memutuskan untuk pergi. Bagus. Aku hanya merasa lebih tenang tanpa diganggu.
Omong-omong soal Sean, aku langsung teringat akan komputerku. Aku berlari menyambar mesin itu, duduk di depan layar monitor dan memeriksanya. Sean tidak berbohong saat dia mengatakan bahwa ia hanya perlu mengirim sejumlah surel. Alamatnya masih terbuka di layar utama. Sekilas, aku tergoda untuk membuka surel itu dan membaca isi pesannya, tapi aku langsung mengarahkan kursor dan menekan tombol keluar.
Layar berkedip kemudian sebuah pesan baru saja masuk. Ada beberapa hal yang perlu kulakukan hari ini, tapi aku tidak bisa menahan keinginan untuk membaca isi pesannya. Aku harus masuk ke laman terapi online-ku sebelum aku dapat berbicara dengan Abigail yang baru saja mengirimiku pesan. Profilnya masih kosong, aku hanya samar-samar mengingatnya; dia pasien baru. Dia membicarakan masalah hubungannya dengan dosennya kemarin. Kali ini wanita itu menyapaku.
Hai, Grace! Aku harap ini hari yang baik untukmu..
Halo juga Abby.. ini hari yang hebat! Bagaimana denganmu?
Aku selalu menggunakan kalimat itu; ini hari yang hebat – kepada seluruh pasien yang datang padaku. Ben tidak pernah menyukai gagasan itu, dia menyebut bahwa instingku bukanlah hal yang alami. Aku telah menciptakan semacam rekayasa emosi dengan kalimat-kalimat palsu seperti; kau akan merasa lebih baik – atau, semua akan baik-baik saja. Bukannya aku mempermasalahkan hal itu, Ben tidak begitu setuju, tapi itulah pekerjaanku dan aku lebih menyukai gagasan untuk memanipulasi segalanya sehingga tidak ada ruang bagi pasienku untuk berpikir bahwa segalanya akan memburuk. Setidaknya, itu yang mereka butuhkan.
“Kau tidak tahu apa yang benar-benar mereka butuhkan, bukan begitu Grace?” Ben mengangkat satu kakinya ke atas meja seperti yang biasa dilakukannya. Kedua matanya menatap lurus ke arah layar notebook di pangkuannya dan aku nyaris berpikir laki-laki itu sedang bergumam jika saja dia tidak mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Tidak. Kau keliru tentang beberapa hal.”
Kedua sudut bibirnya terangkat dan Ben mengulas senyuman lebar yang memperlihatkan struktur rahangnya yang tajam juga sederet giginya yang putih. Laki-laki itu telah diberkahi oleh wajah tampan dan pesona yang akan membuat semua wanita bertekuk lutut di hadapannya. Kali ini aku tidak yakin apa aku akan berlutut, kemudian kuputuskan untuk tidak melakukannya.
Dia terus menghubungiku dan kami baru saja bertemu. Lihat? Aku begitu pandai mengacaukannya. Aku berusaha menghindarinya, tapi ketika dia datang padaku, aku tidak akan pernah bisa mengabaikannya. Apa kau pernah memikirkan sebuah ruang.. semacam dimensi dimana kau tidak bisa bergerak di dalamnya dan kau tidak punya pilihan kecuali melebur dan menjadi bagian dari dimensi itu sendiri?
Wanita ini suka menyiratkan maksud ucapannya.
Apa itu berarti baik?
Aku tidak yakin, tapi itulah yang terjadi padaku, pada kita – kurasa.
Apa yang membuatmu berpikir bahwa kita mengalami hal yang sama?
Aku membaca tulisan di blog-mu. Semacam tesis ilmiah, benar?
Kau membacanya? Aku menulisnya saat masih seusiamu..
Benarkah?! Berapa usiamu sekarang, Dok?
Cukup ;)
J ha!
Apa kau akan menjelaskan tentang dimensinya?
Tidak. Aku tidak punya banyak waktu, tapi.. aku ingin mengatakan padamu bahwa aku menerimanya..
Apa?
Semuanya. Semua yang diberikan pria itu. Kami melakukan seks, kau tahu? Hubungan tanpa komitmen, tapi Grace.. aku benar-benar menginginkannya.
Apa yang membuatmu begitu tertarik pada pria ini?
Dia tampan, kau tahu? Semua gadis suka laki-laki tampan.
Dia dosenmu, bukan?
Benar.
Apa kau sudah memastikan dia tidak memiliki ikatan dengan wanita lain?
Aku tidak bisa memastikannya. Tidak ada cincin pernikahan, dan dia akan marah jika aku bertanya.
Jadi kalian melakukan seks..
Berkali-kali. Aku tidak tahu tapi orangtuaku pasti tidak menyukai ini. Tapi siapa peduli? Mereka sudah tewas. Tidak ada alasan untuk menolaknya.
Kau tidak benar-benar mengenal pria ini, kan?
Apa yang harus aku katakan? Kami tidak menggunakan otak kami ketika kami melakukannya.
Abby, apa yang kau rasakan ketika melakukannya?
Bebas, senang, liar – tidak bisa dijelaskan.
Tidak bisa dijelaskan.
Aku memikirkan kata-kata itu setelah percakapanku dengan Abby berakhir. Kemudian, aku mendapati diriku berdiri di seberang rel dan memandang ke arah bangunan tua itu sekali lagi. Kedua mataku berair dan mulutku terasa kering. Aku menatap atapnya yang tinggi, juga jendela di balkon dan sebuah kursi goyang yang membatasi pintu dengan tangga kecil. Aku bisa mendengar kaki kursi itu berbunyi, punggung kursinya mendorong tubuhku ke depan dan ke belakang sementara hiasan logam itu saling berdentingan. Segelas anggur merah di satu tanganku dan sebuah kamera.
Aku mengangkat kamera itu sesekali, mengarahkannya ke jalur di seberang rel dan mengambil beberapa gambar; riak air yang mengisi lubang-lubang di atas jalanan berbatu, semak-semak liar yang tumbuh di sana, sebuah pagar kawat yang dipasang untuk membatasinya dan sebuah jalur sempit. Aku pernah menangkap gambar seorang wanita di dalam gerbong nomor sepuluh. Gambar itu terlihat seperti sebuah kilatan yang cepat dan buram. Namun, aku bisa melihat wajahnya dari balik kaca jendela, matanya – kupikir agak kecoklatan, menatapku kosong, bibirnya mengatup rapat dan wajahnya tampak sedih. Apa yang sedang dipikirkannya?
Aku telah mencetak semua gambar itu dan menyimpannya di lemariku. Anna mungkin sudah menemukannya dan meminta Ben untuk meletakkan kotak penyimpanan foto-foto itu bersama tumpukan barang lain di gudang – atau yang terburuk, membuangnya. Aku tidak tahu, tapi aku ingin memastikannya.
Jadi ketika aku melangkah mendekati pagar aku mendapati diriku bergetar. Suara berdesik muncul ketika bot-ku menginjak dedaunan kering di halaman depan. Kusadari bahwa rumput-rumput hijau yang tumbuh dan membentuk jalur kecil menuju teras kini telah memanjang dengan ukuran yang tak beraturan. Tanaman rambat memanjang dari permukaan dinding batu hingga ke bagian samping bagunan dan kaca jendelanya sedikit retak dan memerlukan perbaikan. Anna tidak merawat rumah itu dengan baik. Maksudku, aku tidak merawatnya dengan baik, tapi Anna membuatnya menjadi lebih buruk. Kini rumah itu terlihat seperti sarang hantu yang sudah tidak dihuni selama bertahun-tahun. Aku membayangkan rumput liar tumbuh di dalam sana, kayu-kayu tua berserakan dan debu bertebaran dimana-mana.
Pintu kayu itu sedikit terbuka. Aku melihat cahaya sinar matahari yang lembut mengintip dari ruang tengah. Kemudian aku membayangkan diriku duduk di depan perapian membuka halaman album foto dan menikmati segelas anggurku. Sofa berwarna merahnya begitu nyaman, di seberang terdapat rak buku kecil dan sebuah nakas tempat dimana sebuah lampu berdiri tegak. Cahaya keemasannya yang lembut membanjiri seluruh ruangan. Kemudian, sekumpulan boneka milik Liz sedang duduk menatapku tepat dari sebuah rak yang menggantung di atas perapian. Beberapa foto pernikahanku dan Ben telah kusimpan di dalam laci tapi tidak ada foto-foto Liz.
Langkahku membawaku lebih dekat dengan pintu itu. Aku sudah begitu dekat sehingga aku bisa merasakan kehangatannya memelukku. Cukup dekat sehingga aku bisa mendengar suara tangisan lembut Liz dari kotak bayinya. Sesuatu dari dalam mengocok seisi perutku. Aku melangkah mendekati pintu kayu dan mendorongnya terbuka. Kini, benakku dibanjiri oleh ingatan-ingatan itu. Ketika aku berjalan lebih jauh, jari-jariku menyusuri tembok dengan plasternya yang merekat erat. Meja-meja pualamnya dipenuhi oleh tumpukan alat makan dan mainan anak. Tangga kayunya melingkar menuju lantai dua, ada sejumlah sepatu yang diletakkan di sudut-sudut tangga. Aku dapat mengenali sepatu hitam mengilap milik Ben atau tirai pucat yang dibiarkan menggantung di ujung lorong. Pintu kamar mandinya tertutup, samar-samar aku mendengar suara keran yang dinyalakan dan percikan air yang jatuh di atas lantai keramik.
Aku melangkah menyusuri tangga kayu itu. Susuran tangganya terasa dingin di bawah telepak tanganku. Dari bawah sana, aku melongok dan melihat pintu kamar bayinya terbuka. Suara tangisan Liz terdengar dari dalam sana. Kulangkahkan kakiku lebih jauh. Cahaya matahari mengintip keluar dari balik pintu kamar Liz, cahayanya merambat di atas lantai kayu dan memanjang ke sepanjang lorong.
Suara keran itu menghilang, sementara suara tangisan Liz terdengar semakin keras. Aku melangkah mendekati pintu, mengintip ke dalam sana dan melihat Liz mengayunkan lengan kecilnya di dalam kota bayi. Liz dan jendela yang terbuka. Liz dan udara panas di dalam sana.
Udara panasnya mencekikku. Aku masuk lebih dalam, bergerak-gerak dengan gelisah untuk mencari mesin pengatur suhu udara. Ketika aku tidak menemukan apa yang kucari, aku menutup jendela kamar yang terbuka. Menyentaknya dengan cepat hingga tidak menyisakan celah bagi sinar matahari untuk masuk ke dalam ruangan.
Suara entakan pintu menyentakku, kemudian aku melihatnya berdiri di ambang pintu, tatapan marahnya tertuju padaku dan dia menggenggam sesuatu di tangannya. Tongkat golf?
“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?”
“Kau tidak boleh membuka jendelanya!” aku berteriak, sejenak melupakan bagaimana wanita itu bisa masuk ke kamar Liz dengan rambut basah dan jubah mandi yang membalut tubuhnya.
“Kau gila! Apa yang kau lakukan?”
Liz menangis keras. Aku mendekati kotak bayinya, bermaksud mengangkat bayi itu, sebelum Anna mencegahku dan menunjuk ke arah pintu keluar. Kini wajahnya memerah, wanita itu memunggi Liz dengan waspada – seakan-akan berusaha melindunginya. s****l k*****t!
“Jangan sentuh bayiku!”
“Apa yang kau katakan? Itu bayiku. Itu Lizzy. Keluar dari rumahku!”
“Kau gila! Kuhubungi polisi..”
“Tidak!”
Tapi Anna sudah meraih ponselnya di atas meja dan menekan nomor yang segera tersambung ke ponsel seseorang. Aku melihatnya berbicara dengan seseorang di seberang, kedua matanya mengawasiku. Kemudian aku melihat bayiku - atau bayinya. Itu bukan bayiku. Liz tidak ada di sana. Itu Emma, bayi mereka. Tubuhku bergetar dan aku bergerak mundur, menjauh dan semakin jauh. Aku berlari menuruni tangga, dari belakangku, aku mendengar Anna berusaha mengejarku, ia meneriakkan sesuatu.
“Jangan pernah menginjakkan kakimu disini lagi!”
Aku mengabaikan suaranya, berlari sejauh mungkin hingga tanpa sadar rumah itu sudah beberapa ratus meter jauhnya dariku. Kakiku menyusuri tanah melandai, deretan pohon-pohon tinggi dan jalan berbatu. Aku nyaris terjatuh ketika melewati pagar kawat. Di seberang sana, kereta melintas cepat. Kibasan anginnya menerpa wajahku dan suara gemuruh mesinnya meredam suara nafasku yang tersengal. Kupejamkan mata erat-erat, namun aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak berair. Aku mengerjapkannya berkali-kali, satu, dua tiga.. kemudian - satu, dua, tiga..
Begitu aku mengangkat wajah, aku menyadari bahwa kereta itu telah melintas pergi.
..
- LAST WITNESS -