ABBY
--
Laki-laki itu suka menciumku di bibir. Lidahnya bertaut dengan lidahku seakan dia sedang berusaha menyulut api keluar dari tubuhku. Tapi yang paling kusuka darinya adalah wangi tubuhnya dan aroma krim cukur di wajahnya. Laki-laki itu menggeliat di atas kasur seperti seekor kucing, bersemangat seakan itu adalah malam terbaiknya, kemudian dia meninggalkanku untuk berpakaian dan pergi.
“Kau mau kemana?” tanyaku pada suatu malam ketika kami menghabiskan waktu di pondok milik ayahku. Laki-laki itu telah mengancingi kemejanya dan bergerak untuk meraih mantel. Kedua matanya menatapku, tapi dia tidak mengulas senyum.
“Aku harus kembali. Dia akan mencariku.”
“Kau bisa tinggal disini dan katakan padanya kalau kau harus bekerja lembur.”
“Tidak. Maaf, aku tidak bisa.”
“Apa kau akan menghubungiku malam ini?”
“Aku bilang aku tidak bisa. Dia akan curiga.”
“Oke.”
“Tapi aku akan menghubungimu jika aku punya kesempatan. Kau tahu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, kan?”
“Ya.”
“Apa kau baik-baik saja?” dia mendekatiku sehingga aku bisa mencium aroma parfumnya yang menyenangkan. Kemudian, dengan caranya yang biasa dia berbisik ke telingaku. “Hei, yang tadi sangat hebat.”
Aku mengangguk, sekilas tersenyum ke arahnya kemudian mengawasi laki-laki itu ketika ia berjalan menuju pintu dan keluar dari sana. Sekilas aku melihat dua titik cahaya terang dari lampu sen mobilnya menyorot ke arah jendela kamarku. Suara gemuruh mesin mobilnya terdengar, kemudian aku menyaksikannya pergi. Laki-laki itu memutar mobilnya dan menghilang di telan kegelapan.
Aku meraih ponselku di atas nakas kemudian menekan nomor yang terhubung ke ponsel Emily. Panggilanku tersambung ke pesan suara, persis seperti belasan panggilan lainnya yang kulakukan sejak pagi tadi.
Hal ini selalu terjadi; ketika Emily merancang permainan bodohnya dan aku terjebak di sana. Aku tidak punya pilihan selain menerimanya, kecuali dia menjebakku untuk mengikuti permainannya. Terkadang aku bertanya-tanya bagaimana akhir dari permainan ini, tapi Emily tidak akan berhenti sebelum menang. Aku mengenalnya dan aku tahu prinsipnya – dia tidak menerima kekalahan.
Ini persis seperti yang kau inginkan, bukan? Kau menjebakku dan aku melukaimu dari belakang. Kau tidak akan menyangka apa yang kulakukan, Emily. Aku bersumpah akan membuatmu bangun dari mimpi indahmu. Kau selalu bermain-main dalam mimpimu, aku tahu dengan baik siapa dan bagaimana kau.
Aku menatap kosong ke seberang, tepat ke arah pintu kamarmu yang terbuka. Dinding pucatnya tampak hampa, dan ranjang kosongnya terasa dingin. Kau sengaja meninggalkan barang-barangmu di sana agar aku selalu teringat padamu; wajahmu yang tersenyum di dalam bingkai. Aku masih mengingatmu – gadis cantik bertubuh kurus dengan rambut pirang kecoklatan dan sepasang mata hijau. Aku mengingat ketika aku berjalan di belakangmu, mengekor seperti anjing yang patuh sementara kau akan tertawa cekikikan bersama temanmu dan mengatakan, “hei.. inilah si s****l gendut yang i***t!”
Aku tahu kau menjebakku. Kau mengajakku pergi malam itu bersama kekasihmu Ryan. Kau membiarkanku duduk di kursi belakang sementara kalian mabuk dan bermesraan seperti sepasang kekasih yang tergila-gila. Aku tahu kau sengaja melakukannya. Kau hendak membuatku merasa iri, kau ingin membuktikan bahwa betapa unggulnya dirimu. Tapi itu tidak mengubah apapun dan kau membenciku karenanya.
Aku tahu bagaimana sifatmu Emily. Kau yang memilih seprai berwarna pucat itu dan kau yang meletakkan bangkai burung di atasnya karena kau ingin membuatku takut. Aku juga mengingatmu di sungai, ketika kau mendorongku hingga tenggelam dan mengatakan bahwa aku terpeleset. Semua kau lakukan untuk menjebakku karena kau tidak pernah menyukaiku sebagai adik perempuanmu. Kau tidak suka berbagi kamar yang sama denganku. Kau tidak suka melihatku berdiri di gereja dan mendapat seluruh perhatian laki-laki yang kau sukai, kemudian kau melakukan ini. Aku tidak percaya setelah semuanya, kau masih membenciku.
Aku menarik nafas dan mulai membayangkanmu. Bagaimana kehidupanmu sekarang? Apa kau menikmatinya? Apa kau menyukai peranmu sebagai seorang istri? Apa kau menikmati pekerjaanmu? Kupikir tidak, karena aku tahu kau selalu memanipulasi keadaannya. Kau berbohong pada semua orang dengan mengatakan bahwa kau terpeleset dan keguguran, bukan? Karena aku tahu kebenarannya. Kau sengaja melakukannya karena kau takut menjadi ibu. Itu bukan kau Emily, aku tahu itu.
..
- LAST WITNESS -