GRACE
--
Kereta melintas cepat di hadapanku. Kedua mataku terpejam saat merasakan herpaan anginnya menampar wajahku. Suara gemuruh mesinnya beradu dengan suara berdesing roda ketika menggilas rel. Dahan-dahan pohon di seberang mengayun kencang, burung-burung yang hinggap disana mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh secara beriringan. Aku menyaksikan wajah-wajah di balik kaca kusam itu menatapku. Tatapan mereka kosong. Kemudian cahaya yang mengintip dari dalam sana bergerak, mengayun ke depan dan ke belakang.
Aku mengikuti kemana tatapan mereka tertuju; bangunan tua itu. Bangunan yang menyimpan sejumlah kenangan pahit. Tembok-temboknya retak dan menyempit. Pintu-pintunya tertutup rapat sedang jendela kayu – jendela di kamar Liz mengayun terbuka, memperlihatkan ruangan gelap dengan cat dinding berwarna kemerahan juga pengingat tentang masa lalu itu. Kemudian bayang-bayang itu menyergapku, membanjiri pikiranku dan membuatku merasa sesak. Tidak ada ruang yang tersisa. Ketika ujung kereta bergerak melewatiku, aku berdiri menantang sinar matahari. Cahayanya menggelitik tubuhku, panasnya mengairi darahku dan tiba-tiba aku meleleh. Aku menatap bayanganku di depan cermin, aku mengingat wajah Liz yang memerah, kedua matanya terpejam lembut. Kemudian suara nyanyian itu, suara lembut yang tanpa sadar keluar dari bibirku.
Datanglah padaku sayangku, bayiku..
Kau terlihat bersinar seperti matahari..
Seperti tordano, atau badai besar..
Disinilah kita berada..
Datanglah padaku sayangku, bayiku..
Disinilah kita berada..
Merah, biru, jingga dan ungu..
Semua warna itu terlihat di matamu..
Datanglah padaku, bayiku..
Nyanyian itu – suara-suara itu, pengingat itu. Kini segalanya berdengung di telingaku. Jalanan di bawah kakiku bergerak mundur - seakan-akan tidak ada ujungnya. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, tanganku berpegangan erat pada besi-besi di sampingku, kini semuanya terlihat berbayang.
Kedua mataku terasa perih. Air mata hinggap di pelupuknya. Tubuhku meringkuk dan aku memuntahkan sesuatu di atas jalanan beraspal.
“Ma’am! Apa kau baik-baik saja?”
Sepasang tangan telanjang terjulur ke arahku, namun karena berbayang itu terlihat seperti sekumpulan tangan yang berusaha menangkapku. Aku menjauh, berteriak, kemudian menjauh. Kuayunkan tas hitamku hingga membentur suatu permukaan yang keras. Aku mencoba sekali lagi.
“Hei! Tenang!”
“Tidak, pergi!”
Tubuhku dibanjiri oleh kelegaan ketika mendengar derap langkah kaki itu semakin jauh, jauh dan semakin jauh hingga tidak ada suara yang tersisa selain helaan nafasku atau denyut jantungku. Semuanya gelap.
Aku mendongak, melihat sebuah papan penanda jalan yang menunduk ke arahku. Terowongan. Aku melewati terowongan itu dengan tubuh menempel di tembok batu. Udara panasnya memcekikku. Kemudian, dua titik cahaya terang dari lampu sen mobil menyoroti wajahku. Aku menunduk, berusaha keras untuk berdiri tegak ketika truk – atau van, atau pikap, apapun itu bergerak melewatiku. Suara gemuruh itu secara perlahan hilang dan sekali lagi yang tersisa hanya kesunyian.
Langit telah gelap, cahaya bulan menggantung di atas atap-atap genting dan seng. Jalanan dipenuhi oleh genangan air dan kabut asap. Kabut asap? Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin ada kabut asap? Aku pasti berhalusinasi lagi. Kemudian aku menatap ke seberang; sebuah pabrik kue. Disanalah asap itu berasal. Sebuah pohon tinggi menyelubunginya. Aku bergerak cepat ketika suara lolongan anjing terdengar dari balik pagar kediaman Foster. Lampu dapurnya masih menyala. Samar-samar aku melihat Jane Foster sedang berdiri di ambang jendela dengan kedua tangan terlipat. Wanita itu sedang menatapku, mengawasiku.
Tubuhku bergetar, langkah kakiku limbung dan aku nyaris terjatuh hingga sebuah sedan nyaris saja menabrakku. Cahaya terangnya menyorot wajahku, kemudian suara klakson berbunyi nyaring di telingaku.
“Menyingkir dari jalanan, t***l!”
“Kau t***l!” Aku berteriak, tapi mobil itu terlah berlalu – mobil dan s****l t***l yang mengendarainya.
Kulangkahkan kakiku lebih cepat. Nafasku tersengal, dan keningku berkeringat. Samar-samar aku melihat gerendel pintu besi, dan bata merah yang menandai apartemen nomor 11. Semakin dekat.
Dengan kedua tangan yang lembab, aku menggeser gerendel pintu – terbuka! Kulangkahkan kakiku menyusuri tangga besi. Tanganku berpegangan kuat pada susurannya. Suara bedebum langkah kakiku terdengar nyaring. Aku mendongak, menatap dinding-dinding gelapnya yang melengkung menuju lantai atas. Tepat diujungnya ada sebuah pintu besi tua. Tanganku merogoh ke dalam tas, dengan cepat menemukan serangkaian kunci. Dengan tangan bergetar, aku memasukkan gagang logam kunci itu ke dalam lubangnya. Tidak berhasil. Aku mencoba kunci kedua. Logam berwarna keemasan. Tidak terbuka.
“k*****t!”
Saat percobaan ketiga, aku menjatuhkan kuncinya. Kupikir aku baru saja berhalusinasi mendengar suara Tammy, tapi begitu pintu berhasil terbuka, aku melihat kucing itu duduk di atas meja makan dan tampak sibuk menjilati kuku-kuku jarinya. Tanganku mencari-cari sakelar lampu di dinding, ketika aku menekannya, cahaya keemasan lampu membanjiri ruang tengah. Aku mengayunkan tas hitamku ke atas sofa, bergerak ke arah dapur sebelum menyadari bahwa pintu kamarku terbuka.
Dengan tangan bergetar aku berjalan mendekati pintu itu. Darahku seketika mendidih. Aku menatap Sean duduk di belakang meja kerjaku, matanya menatap ke arah layar komputerku sedang jari-jarinya sibuk menekan tombol keyboard.
“Apa yang kau lakukan?”
Laki-laki itu berhenti seketika, tubuhnya berputar ke arahku dan tangan bersarnya terayun ke arah layar komputer itu.
“Oh, hai! Aku hanya.. aku bermaksud menghubungimu dan mengatakan bahwa koneksi wireless di komputerku sangat buruk. Ada tugas penting yang perlu aku kerjakan dan aku harus mengirim surel, tapi aku tidak bisa karena kabel untuk mengakses internet di lantai bawah putus dan itu akan mengambil waktu lama jika aku memperbaikinya. Jadi, aku mengetuk pintu kamarmu, tapi tidak ada jawaban dan aku menemukan layar komputermu menyala, Dan kebetulan sekali.. jadi, aku bermaksud meminjamnya. Maksudku, untuk beberapa menit ke depan, aku janji aku akan menyelesaikannya dengan cepat – sejujurnya aku hampir selesai..”
“Tidak!”
“Apa?” Aku melihat sepasang matanya mengerjap cepat. “Aku hanya.. ini hanya sebentar.”
“Kau tidak boleh menyentuh barang-barangku!” aku meninggikan nada suaraku. “Kau tidak boleh, dengan cara apapun, menyentuh barang-barangku!”
Nafasku tersengal dan aku bisa merasakan wajahku memerah.
“Hei, tenanglah! Aku hanya meminjamnya sebentar, oke? Apa yang salah denganmu. Ini bukan apapun, ini hanya komputer, dan aku..”
“Tidak! Kau keluar dari kamarku sekarang!”
“Grace.. tidak masalah jika kau keberatan, kau bisa mengatakannya, kau tidak harus berteriak, oke? Ini hanya masalah kecil..”
“Masalah kecil? Pergi dari kamarku!”
Ketika aku mengatakannya, laki-laki itu sudah berjalan ke arah pintu sembari menatapku.
“Kau tau apa? Pertama, kau terlalu membesar-besarkan masalahnya dan kedua.. ini bukan kamarmu dan kita disini hanyalah penumpang.”
Aku membanting pintu di depan wajahnya. Pikiranku kacau dan yang kulakukan hanya meringkuk di atas kasur dan menangis.
..
- LAST WITNESS -