Bab 9

2201 Kata
GRACE  -- Sean pergi beberapa jam yang lalu. Aku mendengar suara langkahnya ketika menaiki undakan tangga dari arah gudang kemudian suara pintu yang digeser terbuka. Laki-laki itu meninggalkan sejumlah piring kotor dan gelas bekas kopi di bak pencuci piring. Tammy berada di atas piring itu sembari menjilati makanan yang tersisa. Aku mengusir kucing itu turun dari atas meja dapur. Menggendongnya di lenganku kemudian meletakkannya di bawah meja tepat dimana aku meletakkan mangkuk kecil berisi makanan kucing kesukaannya. Awalnya kucing itu memprotes, ia mengayunkan cakarnya sembari mengeong, kemudian Tammy melahap makanannya dengan cepat. “Kau pasti sangat kelaparan.” Sisa makanan kucing yang kusimpan di lemari nyaris habis. Aku mengingatkan diriku untuk membeli makanan itu nanti. Kemudian, setelah memastikan mangkuk Tammy terisi penuh, aku meraih mantel dan tasku di atas sofa, memoles lipstik tipis kebibirku, kemudian bergerak dengan cepat ketika menekan tombol pintu dan keluar dari sana. Cahaya hangat matahari segera mengerubungiku. Aku berjalan menyusuri blok dua dan tiga, melewati gang-gang sempit yang gelap. Tepat ketika aku menyusuri trotoar jalan dan di seberang apartemenku, aku berpapasan dengan Mrs. Wisherman. Wanita itu sedang menaiki undakan tangga dengan setumpuk buku di tangannya. Ia tersenyum lebar hingga memperlihatkan sederet giginya yang menguning padaku. Kemudian, ia melambai dan aku tersenyum balik. Sebuah truk melintas di antara kami, ketika truk itu pergi, aku melihat Mrs. Wisherman menghilang di balik pintu rumahnya. Jane Foster baru saja keluar dari pintu rumahnya ketika aku melewati bangunan dua lantai itu. Ia mengenakan pakaian cukup rapi hari ini; setelan kemeja putih dan mantel berwarna biru cerah juga celana khaki yang pas dengannya. Jane memasukkan beberapa bungkusan yang dibawanya ke dalam bagasi. Ia hanya melihatku sekilas kemudian bergerak mengitari mobilnya dan masuk ke kursi pengemudi. Wanita itu baru saja menyalakan mesin mobilnya. Kaca jendela mobilnya perlahan menutup sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mobil itu kemudian bergerak mundur sebelum memutar menuju jalan raya. Aku sedang berdiri di depan rumahnya, menatap ke arah bangunan dua lantai itu persis ketika kemunculan mobil freed berwarna merah yang kukenali sebagai mobil Mac Foster muncul beberapa detik kemudian. Aku menyingkir sembari memperhatikan mobil itu bergerak memasuki halaman depan bangunan dua tingkat tempat dimana ia tinggal. Tak lama kemudian, Mac turun dari mobilnya. Laki-laki itu hendak bergerak menuju pintu sebelum perhatiannya tertuju padaku. Kini aku bisa merasakan wajahku memerah. Aku memalingkannya ke arah trotoar jalan, namun kusadari bahwa itu sedikit terlambat karena Mac Foster telah berjalan ke arahku. Kini aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. Ada lebih banyak kerutan dari yang kubayangkan. Semburat abu-abu terlihat di rambutnya yang mulai memanjang. Tubuhnya tidak lagi terlihat langsing dari dekat. Ia adalah laki-laki tinggi bertubuh besar dengan sepasang mata hitam yang mengingatkanku pada Ben. Laki-laki itu mengenakan setelan kasual kali ini. Sepatunya yang mengilap memantulkan kembali cahaya matahari, jari-jari dengan kuku-kuku yang bersih itu saling bertaut dan aku memerhatikan langkah kakinya yang panjang ketika menghampiriku. “Kau wanita yang tinggal di apartemen seberang bukan?” Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah dan membalas tatapannya. Laki-laki itu sedang tersenyum ke arahku dan aku mengangguk-anggukan kepala. “Ya.” “Aku sering melihatmu berkeliaran di sekitar sini. Aku penghuni baru di sekitar sini, mungkin kau sudah pernah melihatku..” “Ya, tentu saja. Kau Mac Foster.” “Dan kau?” “Aku Grace.” Mac mengangguk. “Grace, senang bertemu denganmu. Maaf jika aku tidak sopan, tapi sebagai tetangga baru, aku seharusnya menawarkanmu untuk berkunjung. Tapi aku tidak yakin keadaan rumahnya cukup bersih..” “Tidak masalah. Aku hanya sedang berjalan-jalan di sekitar sini.” “Oke. Mungkin suatu saat aku bisa mampir jika kau tidak keberatan.” Tenggorokanku tercekat, tapi wajahku mengangguk cepat ketika menyetujuinya. “Tentu saja.” Mac berbalik dan ketika laki-laki itu mencapai pagar yang membatasi halaman rumahnya, aku menghentikannya. “Umm.. Mr. Foster! Maaf.. Mr. Foster!” Pria itu berbalik tepat ketika aku berdiri di belakangnya. “Aku.. aku melihat istrimu. Jane Foster. Dia baru saja pergi.” Kedua alisnya bertaut. “Kemana?” “Aku tidak tahu, dia mengendarai mobilnya. Baru saja. Aku pikir dia hendak pergi ke pub tempat dia bekerja, tapi kupikir ini hari Kamis dan seharusnya dia masuk shift malam..” “Kau tahu dia bekerja di pub?” “Umm.. ya.” “Apa kalian sudah saling mengenal?” “Tidak, aku hanya..” aku memikirkan jawaban yang mungkin terdengar logis untuk Mac. “Aku hanya.. beberapakali mengunjungi pub tempat dia bekerja dan aku pelanggan tetap di sana. Jadi aku tahu.” “Aku tidak pernah mendengar Jane mengatakan sesuatu tentangmu, tapi terima kasih untuk informasinya. Aku akan mencoba menghubunginya dan bertanya kemana dia pergi.” “Itu bagus. Maaf, aku harus pergi.” Aku berbalik dengan cepat, melangkah menyusuri trotoar jalan dan menghilang di balik tikungan. Namun sekilas, aku dapat menyaksikan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya sembari mengawasiku. Sepasang matanya menatap dengan heran ke arahku dan aku merasa bodoh karena berbohong padanya. Aku tidak pernah mengunjungi pub tempat Jane bekerja dan tentu saja aku bukan pelanggan tetap pub itu. Tapi aku tahu beberapa hal tentang Jane karena aku telah mengawasi pasangan itu sejak awal kedatangan mereka di sana, aku bahkan mengetahui rahasia yang disembunyikan Jane dari suaminya tentang kekasih gelapnya itu. Itu bukan hal yang wajar ketika kau menggenggam kartu AS milik orang asing yang bahkan tidak pernah kau ajak bicara, tapi aku merasa senang mengetahuinya. Aku merasa senang mengamati apa yang terjadi pada pasangan itu dan menebak akhir dari kisah mereka. Itu memberiku sedikit kepuasan, dan Mac Foster tidak akan mengerti.   ***   Suasana di kota begitu ramai. Aku berjalan sembari mengayunkan tas hitamku, bergerak melewati deretan bangunan bertingkat dan ruko-ruko. Seorang wanita yang berkerja di restoran menyapaku. Aku mengenali wanita itu, kami pernah berbicara ketika aku mengunjungi tempat makannya. Dia wanita tua yang kesepian, atau lebih tepatnya wanita berusia empat puluh tujuh tahun dengan dua anak perempuan dan tidak lagi bersuami. Erin menghentikanku tepat di pinggir jalan. Kini aku bisa melihat sepasang matanya yang sedikit mengendur. Wanita itu cukup tinggi tapi ada beberapa lekukan berlemak di tubuhnya. Itu pasti karena usaha diet-nya yang gagal. Kedua anaknya masih kecil. Yang tertua berusia tujuh tahun, yang paling muda berusia lima tahun. Pasti berat bagi Erin untuk mengurus anak-anaknya sendirian. Aku bisa melihat itu dari matanya. “Halo, Grace! Apa yang kau lakukan? Kau mau mampir?” “Tidak, aku hanya.. sedang mencari udara segar.” “Dimana Ben? Aku tidak pernah melihatnya bersamamu lagi?” Erin juga mengenal Ben, kami cukup dekat tapi aku berbohong tentang perceraian itu padanya. Aku berbohong tentang pekerjaanku. “Dia sangat sibuk akhir-akhir ini.” Erin mengangguk-angguk dan tersenyum. “Bisa kulihat. Apa kau tidak bekerja?” “Tidak, aku hanya.. aku memutuskan untuk bekerja di rumah.” “Kau tidak di rumah sakit itu lagi?” “Tidak.” “Sudah berapa lama?” “Sekitar.. dua tahun?” jari-jariku saling bertaut ketika aku menjawabnya. Namun jawaban itu lebih terdengar seperti pertanyaan ketimbang pernyataan. “Oh.. aku menyesal mendengarnya..” “Tidak, tidak apa. Aku baik-baik saja sekarang.” “Jadi tidak ada kegiatan khusus yang kau lakukan saat ini?” “Saat ini tidak ada.” “Mungkin kita bisa mengobrol lebih panjang jika kau mau.. pintu rumahku selalu terbuka untukmu.” “Terima kasih.” Seorang pria baru saja memunculkan dirinya dari balik pintu. Pria tua bertubuh tinggi dengan perut yang membuncit itu memanggil Erin. Dia hanya mengangguk sekilas ke arahku, tapi aku bisa merasakan sepasang matanya mengawasiku. Erin meremas lenganku, untuk terakhir kali tersenyum padaku sebelum bergerak melewati pintu depan restoran itu dan berbicara dengan pria yang sama. Aku melihat mereka bergerak menuju meja kasir dan menghilang di balik pintu staff. Ketika itu kuputuskan untuk melanjutkan langkahku. Beberapa menit kemudian, aku mendapati diriku duduk di stasiun dan memandangi orang-orang bergerak keluar dari pintu utara. Sinar matahari menembus masuk melewati kaca-kaca jendela di stasiun. Bangku-bangku panjang yang disedikakan telah dipenuhi oleh para pengunjung. Tak jauh di sana, aku menyaksikan seorang wanita berdiri di depan mesin telepon. Ia sedang menekankan gagang telepon itu ke telinganya. Sementara itu di sisi lain tiga orang sedang mengantre di depan mesin yang menjual minuman. Hanya dalam hitungan detik, antrean itu telah memanjang. Puluhan orang yang baru saja memasuki stasiun kini memenuhi loket antrean. Sementara itu beberapa orang yang baru saja turun dari kereta sedang berjalan menuju pintu keluar. Sisanya adalah orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku. Aku bisa mendengar suara langkah kaki mereka yang tergesa-gesa, atau suara percakapan yang berdengung di telingaku. Satu jam kemudian, aku memutuskan untuk pergi. Kali ini, aku melewati jalur sempit yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar di seberang kereta. Sepatuku menghantam kerikil kasar dan memantulkan kembali cahaya matahari yang jatuh di atasnya. Dari kejauhan, aku bisa melihat sungai yang memanjang menuju bukit. Aku masih mengingat jalur menuju rumah itu, Tanahnya dipenuhi oleh daun-daun kering. Pohon-pohon tumbuh memanjang di sekitarnya, Deretan batu berundak membentuk sebuah tangga yang mengarah ke terowongan sempit. Sementara itu, jalur beraspal di bawah sana biasa digunakan oleh para pengendara mobil. Sebuah sedan baru saja melintas ketika aku mencapai terowongan. Jalanan itu tidak mulus seperti yang kuingat. Lubang-lubang di jalannya dipenuhi oleh genangan air dan udaranya terasa lembab di dalam terowongan. Bau urine yang tajam tercium di mana-mana. Aku bertanya-tanya bagaimana Anna dapat melewati jalur ini tanpa mengeluh. Tembok-tembok batanya terlihat seakan mau hancur, ada sisa pecahan bata di jalanan. Sementara itu lampu yang menerangi terowongan kini tidak lagi berfungsi. Aku membaca papan penanda jalan yang menunjukkan area st. Mary di arah utara. Tiangnya memiring seakan-akan papan itu hendak roboh. Langit terlihat berkabut di ujung sana. Aku melihat awan gelap menggantung rendah pada dahan-dahan pohon. Suara burung magpie terdengar dari kejauhan, bahkan aku merasa bisa mendengar suara kepakan sayapnya. Langkahku terhenti di ujung terowongan. Aku menatap ke arah jalur yang bisa kulalui bersama Ben beberapa tahun yang lalu. Setiap hari minggu, kami mengitari jalur sepanjang lima kilometer itu. Kemudian kami akan berhenti di bawah bukit dan berjalan menyusuri tepian sungai. Ben membawa anjing besar peliharaannya kala itu. Anjing itu sudah mati empat tahun yang lalu, beberapa bulan setelah kelahiran bayi perempuannya Anna. Dia menamai anjingnya Jacob. Usianya sembian tahun dan Jacob telah menemani Lizzy semasa hidupnya. Kini, aku melihat Ben tidak lagi mengisi rumah itu dengan hewan peliharaan. Mungkin karena Anna memiliki alergi terhadap bulu hewan. Jalur yang berputar itu membawaku sampai di bawah pohon besar gundul yang berdiri di seberang jejeran bangunan tua. Persis di seberang sana, aku melihat ke arah bangunan dengan cat dinding putih yang mulai memudar. Beberapa bagiannya telah mengelupas. Kaca jendelanya yang rusak di lantai atas kini mengayun terbuka. Aku masih mengingat dinding-dinding bata yang menghitam di perapian atau lantai kayunya yang dingin. Aku pernah berada di sana, duduk di beranda dan memandang tepat ke arah pohon dimana aku berdiri saat ini. Aroma mangnolia yang menyenangkan menguar dari petak taman kecil di bagian belakang rumah. Aroma kopi dan wine yang tercium tajam berpadu dengan hidangan yang baru saja keluar dari microwive. Bunyi gemerincing logam yang bersenggolan karena tertiup angin dari kamar Liz menyadarkanku. Aku ingat ketika aku berjalan menyusuri tangga kayunya yang melingkar ke lantai dua. Pintu kamar Liz yang mengayun terbuka seolah mengundangku untuk masuk ke sana. Tirai-tirai pucat yang menyelubunginya bergerak tertiup angin dan dinding bercat merah jambu itu membias cahaya matahari yang masuk sehingga memperlihatkan semburat kemerahan di atas lantai. Aku melihat bayiku di dalam kotaknya – Liz bergerak-gerak dengan gelisah. Satu tangannya mengayun ke satu sisi tubuhnya sedang satu yang lain memukul permukaan kayu kotak bayinya. Bau urinenya tercium tajam, aroma itu beradu dengan pewangi ruangan yang kuletakkan disana. Hiasan dan tumpukan mainan itu berserakan di atas lantai. Aku memperhatikan kaca jendelanya sedikit terbuka, sinar matahari telah menembus masuk ke dalam sana. Liz merengek di kotaknya. Selama sejenak, tatapanku tertuju pada tirai pucat yang menggantung di balik jendela itu. Sebuah vas kecil yang kuletakkan di tepi jendela kini jatuh ke atas lantai. Pecahannya berserakan dimana-mana. Birai jendelanya pasti terbuka karena vas yang mengganjalnya terjatuh. Tapi aku tidak ingat bahwa aku memindahkan vas-nya dan vas itu tidak mungkin jatuh dengan sendirinya. Pikiranku berkecamuk. Aku bisa merasakan darah mengairi tubuhku. Ketika aku menapakkan kakiku yang telanjang di dalam kamar sempit itu, udara panas langsung menyergapku. Aku menatap dengan gelisah ke layar monitor kecil yang mengukur suhu udara di ruangan. Angkanya menunjukkan bahwa suhunya di atas dua puluh empat derajat. Darahku terpompa. Wajahku memucat. Aku melangkah dengan cepat hingga nyaris berlari ketika menyambar mesin itu. Aku menekan tombolnya hingga mencapai angka terendah. Kemudian, tanpa berhati-hati aku melangkah menuju birai jendela. Pecahan keramik di lantai kayu itu melukaiku. Aku bisa merasakan ujung tajamnya menyayat telepak kakiku dan darah merembes keluar dari sana. Namun, aku mengabaikan rasa sakit itu ketika menutup birainya dengan cepat sehingga menghalangi cahaya matahari masuk dari sana. Bunyi berdering telepon dari lantai bawah terdengar. Bunyi itu kemudian disusul oleh suara bel dari pintu depan. Sementara itu suara tangisan Liz redup. Aku bisa merasakan jantungku berpacu kuat, bahkan rasanya aku bisa mendengar suara tarikan nafasku yang tak beraturan. Tanpa sadar, tanganku telah menggenggam birai jendela dengan erat. Pecahan keramik di bawah kakiku terasa menusuk ketika aku melangkah mendekati kotak bayi. Rasa sakitnya membeku, tergantikan oleh perasaan hampa yang kualami ketika melihat sekujur tubuh bayiku memerah. Kulit wajahnya melepuh dan dia berbaring dengan pucat di dalam sana. “Tidak..” aku pikir aku sedang berbisik, tapi suara yang keluar dari mulutku bahkan berhasil meredam dering telepon dan suara bel dari lantai bawah. Buku-buku jariku memutih ketika aku mencengkram kotak bayi itu dengan erat. Nafasku tersengal dan aku bisa merasakan sekujur tubuhku bergertar hingga aku terheran-heran bagaimana aku masih dapat berdiri dalam kondisi seperti itu. “Tidak! Tidak! Tidak! Bayiku.. bayiku..!” Hal yang kubayangkan benar-benar terjadi. Aku jatuh ambruk di atas lantai. Sisa pecahan keramik itu menusuk kulitku, menciptakan luka berdarah yang nyaris tak terasa. Kini jantungku terpompa kuat dan aku benar-benar mati rasa. “Grace!!” aku mendengar seseorang mendokbrak pintu dari arah depan, kemudian suara bedebum langkah kaki di dasar tangga. “Grace!!!” Tidak ada yang mendengarku. Kemudian, semuanya menjadi gelap. .. - LAST WITNESS -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN