Selamat membaca :)
{ 10 }
.
.
.
Dalam pelukan Liam, Ari seolah masih bisa merasakan tatapan tajam sang ayah seolah menusuk punggungnya. Berhasil mengembalikan keadaan, setelah tadi sedikit terbuai dengan aroma Liam.
Cepat-cepat kedua tangan Ari bergerak menjauhkan tubuhnya dari d**a bidang sang Aiden, mendorong pelan tubuh tegap itu agar menjauh. Tidak boleh,
Selama ayahnya masih ada di sini, Ari tidak boleh lengah. Dia masih mengingat jelas kalau laki-laki paruh baya itu menyembunyikan pistol dibalik pakaiannya.
Jika amarah sang ayah tidak bisa dikendalikan, laki-laki itu tidak akan segan-segan menembak Liam,
Mengambil napas panjang, Ari menghapus air matanya. Mencoba menengadahkan wajah dan melihat wajah kebingungan Liam.
"Maaf membuatmu harus melihat ini semua, Tuan William." Berujar singkat, Ari menundukkan tubuh sekilas.
"Saya minta bantuan anda sekali lagi, tolong jaga Ella dan Argi sebentar, Tuan William. Saya mau berbicara empat mata dengan ayah saya," Tersenyum tipis, wanita itu hendak berbalik dan mendekati sang ayah.
"Jika artinya laki-laki itu akan memukul anda sekali lagi, saya tidak akan membiarkannya, Nona Sia." Tangan Liam bergerak cepat menggenggam tangan sang empunya, membuat wanita itu berbalik paksa.
Pandangan Ari berubah nanar, merasakan genggaman protective Liam sekali lagi, melihat bagaimana wajah tampan itu nampak cemas. "Kau tidak perlu repot-repot seperti itu, Tuan William. Saya sudah terbiasa menerima pukulan seperti tadi jadi tidak masalah-"
Bagaikan menginjak ranjau, alasan yang dikeluarkan Ari malah memperburuk posisinya. Wajah Liam berubah tegang, kerutan tidak suka pertanda laki-laki itu marah perlahan terlihat.
Astaga, dia salah bicara. Ari reflek menutup mulut.
"Sudah menjadi tugas saya melindungi siapapun yang butuh pertolongan, anda pikir saya akan membiarkan seorang wanita dipukul seperti tadi, dan berlagak tidak melihatnya?" Suara baritone Liam berubah dingin.
Sebelum Ari sempat berbicara, kali ini giliran sang ayah yang menginterupsi, sosok paruh baya itu nampak santai dengan wajah datarnya. Kedua tangan bersidekap di depan d**a, dan menatap Liam dari bawah sampai atas.
"Hh, pantas saja banyak orang yang tidak menyukaimu, Nak. Kau terlalu naif."
"Ayah!!" Ari menatap balik pemimpin keluarganya itu, jangan sampai sang ayah berbicara lebih jauh lagi.
Seolah tidak mendengar teriakan Ari, Rieksa Satya malah berjalan mendekati Liam. Tanpa mengalihkan pandangan dari laki-laki itu, salah satu tangannya bergerak,
Pemikiran buruk Ari makin berkeliaran, tidak mungkin ayahnya itu ingin menggunakan pistolnya di tempat terbuka seperti ini kan?! Itu sama saja gila!
Tubuhnya hendak berjalan mendekati sang ayah, namun tangan kekar Liam bergerak terlebih dahulu menghentikan pergerakan wanita itu. Melarang Ari untuk tidak berbuat apapun lagi sedangkan sang empunya sudah berubah posisi menjadi siaga.
"Ayah, kumohon jangan melakukan hal yang aneh-aneh!" Ari berteriak lagi, tidak mungkin dia mengeluarkan kemampuan bela dirinya di depan Liam, itu terlalu beresiko. Tepat saat salah satu tangan laki-laki paruh baya itu hendak menjangkau Liam,
Ari pasrah. Ia reflek menutup mata,
"Tapi tenang saja Nak, selama masih ada wanita bodoh yang mati-matian menjagamu sampai saat ini. Bisa kutebak kau tidak akan mati semudah itu."
Tidak ada suara tembakan atau pelatuk pistol, Ari hanya mendengar suara tepukan ringan. Kedua maniknya melihat dengan jelas bagaimana sosok dingin itu menepuk bahu Liam dengan santai, beriringan dengan pesan kecil yang Ia sampaikan, tubuh ayahnya berbalik dan perlahan meninggalkan mereka berdua tanpa berkata apa-apa lagi.
A-apa maksudnya tadi? Pergi dan mengatakan hal tidak masuk akal seperti itu?! Tidak perlu waktu lama lift yang berada tak jauh dari tempatnya membawa pergi sang ayah.
Ari masih meresapi semua perkataan sang ayah, laki-laki itu selalu memberikan kejutan padanya, dan kali ini,
Apa dia membiarkan Liam tetap hidup atau hanya memberi Ari satu kesempatan lagi untuk membunuh sang Komandan Kepolisian??
.
.
.
.
"Nona Sia,”
"Nona Sia!" Kesadarannya seolah kembali, Ari reflek mengerjap cepat. Menatap gugup ke arah Liam, sosok itu masih berdiri tegap di sampingnya, tentu saja dengan kerutan bingung di wajah.
"A-ah, ya?"
“Apa pipi anda baik-baik saja?" Dalam hati Ari mendengus kecil, sifat Liam tetap tidak berubah sejak dulu. Gampang mengkhawatirkan orang lain, dan terlalu-baik.
"Tidak apa-apa, hanya sedikit perih tapi nanti juga pasti sembuh." Berujar cepat, Ari berusaha tersenyum.
Yah, meskipun pukulan ayahnya memang cukup menyakitkan, itu lebih baik dibandingkan tembakan di pundak, goresan pisau dan beberapa luka bakar ‘kan?
Selama berpisah dengan Liam, Ari memang mengambil pekerjaan lebih ekstrim dibandingkan dulu.
Toh, Liam tidak akan bisa melihat luka di tubuhnya lagi, jadi tidak masalah jika dia mengambil pekerjaan lebih berat.
"Benar? Kita perlu mengobatinya sekarang juga, ayo." Liam selalu bersikap baik padanya, dan Ari tidak boleh terhipnotis lagi dengan sifat sang Aiden.
Dirinya mencoba menolak dengan halus, "Tidak usah, Tuan William. Pipi saya hanya memerah sedikit, terima kasih atas pertolongannya tadi. Maaf sudah mengganggu waktu anda,”
Pandangan abu-abu itu masih menatapnya lekat, "Apa ayah anda orangnya memang sekasar itu? Maaf jika saya bertanya yang aneh-aneh. Tapi tetap saja, memukul putri sendiri itu tidak wajar. Saya punya seorang putri dan tidak akan pernah melakukan hal itu padanya, kalau pun putri saya bertingkah nakal atau di luar batas, masih ada hukuman yang baik dibandingkan menggunakan kekerasan seperti itu ‘kan?"
Hh, putri ya? Hati Ari teriris mendengarnya, dirinya tetap saja tidak boleh lupa kalau Liam sudah memiliki keluarga baru sekarang.
Jadi sama sekali tidak ada celah untuk dia masuk kembali ke dalam hidup sang Komandan. Tidak ada sama sekali,
"Ayah saya memang keras sejak dulu. Saya dilatih agar menjadi gadis yang kuat dan tidak cengeng seperti para gadis kebanyakan. Pukulan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari saya, jadi anda tidak usah khawatir, Tuan William."
"Tapi tetap saja-"
Ari tidak boleh berlama-lama di sini, keberadaan Liam tidak baik bagi jantungnya. Argi dan Ella pasti sudah menunggu di dalam, semoga saja kedua buah hatinya tidak mendengar dan melihat kejadian tadi.
Menatap balik Liam, Ari melempar senyum kecilnya. "Tidak apa-apa, Tuan William. Perlu anda tahu, saya ini wanita yang kuat lho. Pukulan dan ancaman sekecil itu tidak akan berpengaruh pada saya, jadi tidak usah khawatir."
Mengangkat salah satu tangannya dan berpose memperlihatkan otot-otot lengannya, Ari berujar bangga. Yah, setidaknya dia tahu cara membuat laki-laki itu tidak cemas lagi.
"Sekali lagi terima kasih atas pertolongannya, Tuan William. Senang bisa berkenalan dengan anda." Membungkukkan badannya sesaat, Ari berniat meninggalkan posisinya saat mendengar panggilan ArgiElla.
"Ibu, kok lama, kami haus!"
"Iya, iya sayang. Ibu datang," Masuk ke dalam apartementnya, meninggalkan Liam yang masih berdiri di sana. Laki-laki dengan spekulasi yang entah kenapa malah berkeliaran kemana-mana.
Kejadian hari ini benar-benar membuat dia bingung. Sosok mungil yang memiliki kemiripan dengannya, lalu seorang ayah yang tidak segan-segan memukul putrinya sendiri, bahkan reaksi seorang wanita yang berpose tegar saat menerima pukulan sang ayah, senyuman kecil itu sudah cukup mampu membuat konsentrasi Liam buyar.
Apa-apaan senyuman itu? Kenapa dirinya seolah rindu, padahal Ia baru saja bertemu dengan wanita itu. Tapi senyumannya malah membuat sang Aiden bingung, yang terakhir tadi,
Perkataan laki-laki paruh baya itu sudah membuat Liam memijit kening dengan keras, tubuh tegap itu perlahan bersender pada dinding, salah satu tangannya bergerak menutupi wajahnya.
"Lalu apa maksud laki-laki itu tadi?" Wanita bodoh yang mati-matian menjaganya? Siapa? Ari-kah? Kalau memang benar begitu, apa alasan Ari pergi dari sisinya karena,
"Argh!!" Rasa frustasinya menurun perlahan saat mendengar getar handphonenya. Mengambil benda itu dari sakunya, Liam reflek mendesah.
.
[From : Sofia]
[Tuan Pelupa, kau sudah mengambil barangmu yang ketinggalan kan?! Ingat janjimu malam ini, Liam! Jangan lupa! Ah, ngomong-ngomong, semangat bertemu Ares, semoga pekerjaanmu lancar ya!]
.
Terdiam sesaat, Ia mendengus. Perkataan ketus Sofia selalu bisa membuatnya tersenyum.
Terkadang Ia juga lelah, berusaha dengan keras mencari jejak istrinya yang pergi entah kemana lalu berakhir kegagalan, dan kali ini semua permasalahan lain makin membuatnya frustasi. Mereka seolah berputar di otak Liam, bermain-main dengan seenaknya dan membuat William hampir gila.
Jika misalnya Ia lelah nanti,
Apa dirinya bisa berpaling dan merelakan kepergian Ari? Apa dia bisa membuka hati untuk Sofia, wanita yang selama beberapa tahun ini selalu setia mendampinginya. Bahkan tulus menyayangi, dan merawat Hanna.
.
.
.
"Ah, anda benar-benar masih ada di sana, Tuan William!" Liam yang berniat meninggalkan tempat itu berbalik singkat saat melihat pintu apartement Sia terbuka lagi. Wanita itu menghampirinya sambil membawa sesuatu?
"Iya, sebenarnya saya berniat pergi sekarang,"
"Um, saya hampir lupa memberikan ini pada anda, Tuan William. Sebagai ucapan terima kasih, saya ingin membagikan bekal makanan kami pada anda," Menyerahkan sebuah kotak makanan padanya, Liam mengernyit bingung.
"Tidak usah repot-repot, Nona Sia."
"Saya tahu anda belum makan apapun sejak pagi, jadi supaya tidak lapar di jalan, anda bisa mencicipi masakan saya. Mungkin tidak begitu enak, tapi setidaknya bisa mengganjal perut." Wanita itu tersenyum kecil,
Huh, darimana Sia tahu kalau Liam tidak sempat sarapan hari ini? Karena sibuk mengurus Hanna, dan berkas pekerjaannya, Liam memang sampai lupa sarapan.
"Darimana anda tahu tahu?" tanya Liam bingung.
Tanpa Ia sadari, tangan Sia langsung tertuju pada kerutan di keningnya. "Kening anda terus-terusan berkerut sejak tadi, Tuan William. Itu pertanda fokusmu sedang tidak baik, dan artinya kau kurang asupan makanan."
"Kalau begitu selamat bekerja, Tuan William." Wanita itu menundukkan tubuh sekali lagi sebelum akhirnya berbalik seraya melempar senyum. Membiarkan Liam membawa kotak bekalnya.
"Paman, nanti kita main sama-sama ya! Sampai jumpa!!" Bahkan Liam bisa melihat dua anak kecil di dalam apartement tadi menyembulkan wajah mereka dari balik pintu. Melambai dan tersenyum lebar padanya. Sampai akhirnya pintu itu tertutup lagi,
Pandangan Liam menatap lekat ke arah kotak bekal berwarna orange itu, beberapa slice sandwhich, potongan jeruk, dan mash potato. Entah kenapa keberadaan Sia dan kedua anak kecil tadi membuat kepercayaan diri Liam muncul lagi.
"Hh, apa yang kupikirkan tadi," Liam menampar pipinya, mencoba bangun dari kecemasan tadi. Laki-laki itu mengambil napas panjang, dan menghembuskan kuat.
Seorang Aiden William Abhivandya menyerah begitu saja?! Apapun yang terjadi, Liam harus menemukan wanita itu. Mendengar lebih jelas semua alasan pekerjaannya selama ini, alasan Ari membohonginya, dan alasan dia pergi.
"Selama aku masih bernafas, aku tidak akan menyerah mencarimu Ari."