{ 09 } Father

1075 Kata
Karena banyak yang nggak tahu dimana sih klik love itu? Jangan lupa Klik tanda bentuk jantung terlebih dulu sampai berubah jadi warna putih, untuk pengguna Handphone agar masuk ke dalam library kalian  Untuk pengguna komputer cukup klik tulisan ADD menjadi ADDED yaa :D Nikmati dan jangan lupa Appreciate juga karyaku yaa , Terimakasih:* Selamat membaca :)   { 09 }  . . . Tubuhnya masih menegang, dengan keringat dingin mengucur. Ari membulatkan manik kaget. “Ke-kenapa Ayah bisa ada di sini?” tanya wanita itu dengan nada bergetar, kedua manik legamnya melirik ke arah Liam sekilas, melihat reaksi laki-laki itu. Kenapa dia masih berdiri di sana!! Ingin Ari berteriak dan mendorong tubuh kekar itu agar menjauh dan pergi dari tempat ini. Jika sampai ayahnya sadar dengan keberadaan Liam, laki-laki itu pasti senang. Tubuh Liam masih membelakangi ayahnya, jangan sampai laki-laki itu menoleh dan membuat mereka bertemu mata. “Kau tidak perlu kaget seperti itu. Ayah, tahu segalanya. Kepindahanmu hari ini, apertement yang kau tempati, semuanya.” Dengan seringai kecil, Ari lebih memperhatikan Liam. Laki-laki yang hendak membalikkan tubuh setelah melempar senyum tipis ke arahnya. “Saya permisi, Nona Sia-” Tangan Ari reflek mengenggam pergelangan Liam, membuat tubuh tegap yang hendak berbalik itu berhenti dan menatap bingung. “Ada apa, Nona?” Wajah Ari nampak pucat, berdoa saja kalau ayahnya tidak menyembunyikan sebuah pistol dibalik pakaian bergaya casual itu. Sangat gampang baginya untuk melakukan kejahatan di sini, menggunakan kepanikan orang di sekitar apartement setelah menembak Liam, dan pergi di tengah kerumunan. “Bi-bisa bantu saya menurunkan beberapa barang di dalam apartement?” Kedua manik abu itu mengerjap, “Tapi saya ada-” Memotong kalimat Liam. “Tolong, Tuan William.” Ari berbisik lirih, wanita itu hampir menangis, membuat Liam yang melihatnya nampak tidak tega. Raut wanita di depannya berubah drastis hanya karena kedatangan seorang laki-laki yang Ia sebut ayah? Alis sosok itu tertekuk tanpa sadar, sampai akhirnya mengangguk, “Baiklah, saya akan membantu.” Tak urung Ari mendesah lega dalam hati, “Masuklah dulu, Tuan William. Nanti saya akan menyusul.” Tidak mengatakan apa-apa, Liam mengangguk, tanpa menoleh ke belakang lagi laki-laki itu masuk ke dalam apartement. Ari masih tidak sadar kalau Liam tetap diam di ambang pintu, sengaja menutup pintu itu tidak full, jadi dia masih bisa melihat kondisi Iuar sana walau samar. Tidak sopan memang, tapi melihat wajah pucat wanita itu. Entah kenapa Liam jadi tidak tenang. . . . “Untuk apa Ayah ke sini?” Dengan nada datar dan dingin Ari berjalan menghampiri ayahnya. Laki-laki yang masih menyeringai sejak tadi. “Siapa laki-laki itu?” Beruntung bagi Ari, karena  ayahnya mungkin tidak mengingat paras Liam secara detil. Mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak mengingatnya? “Tidak ada urusannya denganmu!” “Hm, dari penampilannya tadi. Rambut pendek kehitaman dengan pakaian kepolisian lengkap, Ayah sudah bisa menebak kenapa kau mengajaknya masuk ke dalam apartementmu.” “Dia bukan orang yang kau cari!! Kuingatkan itu!” Bak menggali lubangnya sendiri. Ari mengumpat dalam hati. “Oh, ya?” “Pergi!! Tolong menjauh dari tempat tinggalku, kau sudah berjanji!” Mengencangkan suaranya, tanpa wanita itu sadari. Beberapa tahun tidak bertemu dengan sang ayah, Ia jadi sedikit melupakan sifat asli laki-laki itu. Satu sifat yang sangat Ia benci.  “Ugh!” Salah satu tangan ayahnya bergerak cepat menangkup kedua pipi Ari. Menekannya keras, membuat wanita itu menengadah dengan paksa. Rasa sakit langsung menjalari kedua pipi. Sedikit meringis, tidak membuat Ari takut. Kedua maniknya malah memandang tajam sang ayah. “Tidak lama bertemu denganku, dan kata-katamu sudah sekasar ini, hm.” Bergeming, percuma memberontak kalau kekuatan ayahnya sama sekali tidak berubah sejak dulu. Laki-laki yang pernah mengajari Ari segala jenis bela diri padanya jadi sudah dipastikan Ari tidak bisa melawan balik. “Kau takut? Kau takut kalau Ayahmu ini tahu semuanya? Lihatlah wajahmu sekarang, pucat seperti mayat, ahaha,” Tertawa sinis, Ari reflek menggigit bibir bawahnya. “Akhu tidhak takut padamu!” Seringai di wajah itu makin nampak, “Apa kau akan semakin takut padaku kalau Ayahmu ini membunuh laki-laki berpakaian polisi itu. Ayah hanya ingin memastikan kalau bisa saja itu targetmu. Daripada kau yang hanya bisa menghabiskan waktuku untuk satu misi kecil, lebih baik kuakhiri semuanya sekarang!!” “Jangan!!” Ari reflek berteriak, Ia memberontak sekarang. Berusaha keras melepaskan cengkraman ayahnya,   “Pistol yang kubawa hari ini pasti cukup untuk menghabisinya ‘kan? Ayolah putriku, kita bekerja sama saja. Pasti menyenangkan,” Semakin melebarkan seringainya, tubuh Ari mendadak gemetar. Aura yang dipancarkan sang ayah jika rasa antusiasnya muncul. Ia harus menjauhkan ayahnya dari sini! “A-aku yang akan melakukannya! Ayah, jangan ikut campur!”  “Kau terlalu lemah!!! Dari awal seharusnya Ayah saja yang melakukan. Kita lubangi kepala laki-laki itu lalu menembak jantungnya dan terakhir tubuh tidak bernyawa itu kita jual saja,” Berujar dengan nada santai. Ari menggeleng cepat, “JANGAN!” teriaknya makin histeris, wanita itu tidak bisa menahan ketakutannya. Air mata yang sejak tadi Ari tahan perlahan merembak keluar. “Kenapa jangan?” “Bi-biar aku yang melakukannya Ayah, tolong.” Berujar lirih, “Ah, kau menangis putriku yang cantik. Kenapa menangis, hm? Kau sedih karena Ayahmu ini mengganggu rencanamu? Kau sedih karena Ayah ingin membantumu membunuh laki-laki itu, atau-” Menghentikan perkataannya, wajah sosok di depan Ari makin mendekat. Seolah tidak terganggu melihat putrinya kini menangis. “Saking senangnya karena kita akan membunuh laki-laki itu, kau sampai menangis?” “Tolong, Ayah. Beri aku sedikit waktu lagi,” “TIDAK!” Ayahnya membentak tiba-tiba. Cengkraman di pipi sang putri makin menguat, Ari meringis kesakitan, “Kau pikir Ayah tidak lelah menunggu misi ini selesai, Hah?!” “Tolong beri aku waktu-” “Siapa laki-Laki itu! Beritahu aku!! Kenapa sampai sekarang pun kau tidak membunuhnya!!” Mendesis penuh nada mengancam. “Dia bukan siapa-siapaku!” “Kalau begitu bunuh dia sekarang, aku yang akan mengatur semuanya nanti. Kau tinggal lari saja lewat tangga darurat di sana, setelah itu kau akan mendapat misi baru lagi. Jangan menghabiskan waktuku!” “Aku tidak bisa sekarang, Ayah-” Sebelum sempat menyelesaikan perkataannya, cengkraman Ayahnya lepas dan langsung saja menampar pipi kanan Ari keras. Menimbulkan ruam merah di kulit putihnya. “Jangan membantahku!” “Aku tidak bisa!!” “Lakukan sekarang!” Rieksa Satya Mahangga. Laki-laki itu berusaha keras untuk menahan suaranya agar tidak terdengar ke telinga orang lain. Amarahnya memuncak, melihat sifat lemah sang putri. “Tidak!” “KAU!!” Ari menutup mata reflek seolah siap menerima tamparan ayahnya lagi, “Tolong hentikan.” Layangan tangan itu terhenti di udara, tepat saat sosok tubuh tegap yang Ari kira ada di dalam apartement tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Menarik tubuh Ari, membuat wajah sang empunya bertubrukan pada d**a Liam. Salah satu tangan sang Aiden merengkuh tubuh Ari reflek dan salah satunya lagi menghentikan tamparan laki-laki paruh baya itu. Jantung Ari mendadak berhenti sesaat- “Tu-Tuan William?” Berbisik tanpa sadar saat merasakan tangan protective itu melindunginya. “Saya tidak suka melihat anda melakukan kekerasan pada wanita. Jika anda berniat melakukannya sekali lagi, saya tidak akan segan-segan mengambil tindakan lebih, Tuan.” Dengan nada datar dan berat, laki-laki itu memperlihatkan tanda pengenalnya sebagai anggota kepolisian. “Saya tidak bermain-main.” Mengingatkan kembali. Antara takut dan lega, tanpa Ari sadari kedua tangannya bergerak memeluk tubuh Liam. Merasakan aroma yang selama ini Ia rindukan dan menangis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN