Selamat membaca :)
{ 11 }
.
.
.
Tanpa Liam ketahui, setelah laki-laki itu berbalik pergi dari tempat tadi. Ari dengan sengaja tidak menutup pintu secara full, perlahan membuka pintu apartement kembali.
Dengan hati-hati menyembulkan wajah, wanita itu menatap lekat punggung lebar Liam dari belakang. Menghela napas panjang, setelah tadi berhasil memberikan sebuah bekal pada laki-laki itu.
Ari selalu ingat bagaimana kebiasaan Liam, seperti tadi. Melihat sekali saja, Ia bisa langsung tahu kalau laki-laki itu tidak sempat sarapan pagi ini.
"Selamat bekerja, Liam." Berbisik kecil, Ari tersenyum sendu. Menatap sang Aiden sampai laki-laki itu masuk ke dalam lift.
"Ibu, dimana?" Panggilan Ella membuatnya tersentak, "Iya, sayang!" Bergegas menutup pintu apartement kembali. Ya, setidaknya hari ini dia harus menyelesaikan acara beres-beres, mungkin sebentar lagi mobil pengantar barangnya akan tiba.
'Aku juga harus membeli beberapa bahan masakan untuk nanti malam dan besok.'
.
.
.
"Selamat pagi, Tuan William." Berjalan dengan tegap menuju ruangan sahabatnya, Liam tersenyum tipis ke arah beberapa petugas jaga. Hari ini kemungkinan Ia akan menangani banyak kasus, setidaknya itu bisa mengalihkan pikirannya tentang Ari beberapa saat.
Merapikan kerah pakaiannya, dengan sebuah berkas yang sudah Ia ambil tadi. Liam ingin segera bertemu dengan Ares,
Berdiri di depan pintu ruangan. Sudah berapa tahun semenjak Ari pergi, dirinya diangkat menjadi Komandan Kepolisian di bagian pusat Jakarta. Menggantikan jabatan pemimpin sebelumnya yang sudah cukup umur.
Di usia Liam yang tergolong muda, laki-laki itu sudah mampu menduduki posisi tertinggi di Kepolisian. Tanpa bantuan atau suap. Semua murni dari kemampuan bertarung dan berorganisasinya yang mumpuni.
Membuka pintu tersebut, dan langsung mendapatkan tatap malas dari sahabatnya. Laki-laki dengan kuncir atas yang kini tengah duduk santai di sofa. Dareswa Restara, "Kau lama, aku hampir tertidur tadi." Pemilik manik kecoklatan itu menguap lebar.
"Maaf, maaf, tadi aku hampir melupakan berkas ini." Tertawa kecil, sang Aiden langsung menutup pintu ruangan tadi, berjalan menuju sofa dan menatap kembali laki-laki di depannya.
"Bagaimana? Apa kau mendapat kabar tentang wanita itu?"
"Penjahat cantik itu maksudmu, hoahm," Karakter Ares memang tergolong unik. Bagaimana laki-laki yang memiliki hobby tidur itu bisa masuk ke dalam anggota kepolisian? Kalau bukan karena otaknya yang brilliant mungkin tidak akan pernah bisa.
Kedua manik abu-abu Liam menajam sekilas, sebelum akhirnya Ia menyerah. Mendengus singkat, "Hm, katakan saja, Res." Entah kenapa dia tidak suka jika ada yang berani menganggap Ari penjahat, menuding seperti yang dilakukan Ares tadi.
Jujur saja, Liam masih belum menerima fakta jika istrinya itu seorang penjahat yang selama ini Ia cari-cari!
Tubuh Ares yang tadi bermalas-malas perlahan menegap, pandangannya berubah serius. Laki-laki itu menatap balik sang sahabat, "Mengenai kasus pengedaran narkoba beberapa hari lalu, sepertinya Ari terlibat lagi dengan kasus itu. Dia membunuh semua tersangka yang ada di sana, lalu meninggalkan tempat itu dan membiarkan para korban di sana."
Kedua tangan Liam mengepal tanpa sadar, "Apa kau menemukan bukti keberadaannya di sana?"
"Sidik jarinya pada pistol dan beberapa benda yang sempat Ia sentuh, lalu kecocokan darah, serta beberapa helai rambutnya ada di tempat kejadian."
"Itu artinya dia ada tinggal di sekitar sana ‘kan? Dia tidak jauh dari jangkauan ku!"
Ares menggeleng pelan, "Aku tidak tahu, bukti keberadaan Ari sama sekali tidak bisa kami lacak. Dia bisa dengan mudah mengganti nama dan mengubah penampilannya kapanpun, kami tidak mungkin melakukan pencocokan sidik jari pada semua orang yang tinggal di sana. Kalau pun kami melakukannya, akan memakan waktu yang cukup banyak, dan Ari pasti tidak akan tinggal diam."
"Sial!! Kalau begitu aku yang akan ke sana! Aku yang akan memastikan sendiri apa istriku tinggal di sana atau tidak!!" Berteriak penuh amarah, urat pada keningnya perlahan terlihat. Liam benar-benar tidak bisa menunggu lagi.
"Kau tidak bisa begitu saja meninggalkan tugasmu di sini, Liam! Ada banyak kasus di Jakarta dan kau ingin pergi begitu saja! Setidaknya biarkan kami saja yang mengecek keberadaan Ari!"
"Aku tidak bisa hanya menunggu di sini, Ares! Aku takut kalau Ari semakin jauh dari jangkauanku!"
"Walaupun begitu kau tidak bisa egois, Komandan. Kau punya banyak pekerjaan di sini, Rasputin masih berkeliaran di Jakarta. Setelah beberapa hari lalu dia berhasil mengelabui kita dan membuatmu hampir merenggang nyawa, jangan pikir kau bisa lari!"
Ares masih mengingat jelas, tentang seorang kriminal tingkat atas bernama Rasputin. Laki-laki berbahaya dengan sifat licik dan otak pintarnya. Sudah berapa kali dia membuat kekacauan, melakukan percobaan bom, dan membuat sebuah tempat penelitian bersama anak buahnya.
Beberapa hari lalu, bom yang berhasil laki-laki itu buat hampir mengenai Liam, saat sang Komandan mencoba masuk sendiri ke dalam sebuah gedung bekas untuk mengecek keadaan.
Untung saja kemampuan olah tubuh laki-laki itu cukup sempurna, jadi Liam bisa terbebas dari ledakan bom dan hanya terkena lecet di beberapa tempat.
Berdecak tanpa sadar, Liam memijat keningnya yang terasa sakit. Perkataan Ares memang benar, dia tidak boleh egois. Menjadi Komandan Kepolisian bukan berarti dirinya bisa semena-mena dengan pekerjaannya. Liam harus selalu bisa menempatkan kepentingan pribadinya dengan benar.
"Aku tahu," Menatap sahabatnya, Ares mendengus kecil. Tangan laki-laki itu perlahan menepuk punggung Liam.
"Bagaimana kalau kita sarapan dulu, aku tahu kebiasaanmu beberapa tahun belakangan ini, William. Tidak pernah mau sarapan, bahkan saat Sofia datang ke apartementmu sekalipun, kau selalu menolak sarapan darinya."
Ah, mengenai sarapan, Liam teringat kembali dengan kotak makanan yang sempat diberikan Nona Sia tadi.
Pikirannya langsung teralihkan, mengangkat wajahnya kembali. Laki-laki itu membuka tasnya dan mengeluarkan kotak makanan di dalam sana. "Sepertinya hari ini aku absen dulu, tetangga baruku memberikan sedikit bekal tadi," Menunjukkan bekal itu dan membukanya.
"Sandwich, huh? Ditambah lagi dengan potongan jeruk yang banyak, well setidaknya ada yang bersedia memberikanmu makanan bergizi hari ini." Tersenyum tipis, Ares melirik ke arah Liam.
"Kau juga boleh mengambilnya," Mengambil satu slice Sandwich, Liam dengan lahap langsung memakannya.
Menikmati setiap potong ayam, krim keju dan sayuran di dalamnya. Enak sekali, apalagi ayam rebusnya, bumbu yang diberikan tidak terlalu berlebihan, asinnya pas, dan tidak ada tomatnya! Liam benci tomat, benda berwarna merah itu terlalu berlendir untuk Ia rasakan.
Mash potato kesukaannya dan potongan jeruk, semangatnya untuk menyantap makanan itu makin naik. Sejenak laki-laki itu menghilangkan beban pikirannya tadi.
Menikmati sarapan pagi terlezat yang Ia rasakan selama beberapa tahun ini, padahal hanya sekotak bekal kecil dengan slice sandwich, potongan jeruk dan mash potato saja.
Memang tidak semewah makanan yang selalu Sofia buatkan untuk dia, tapi entah kenapa Liam sudah sangat puas menyantapnya.
"Kau harus mencobanya, Res. Sandwich ini enak, sesuai dengan kesukaanku. Dia seperti tahu aku tidak suka dengan tomat. Mash potatonya juga,"
"Tumben kau semangat menyantapnya. Masih ingat dengan perkataanku tadi? Tentang kau yang selalu menolak sarapan pagi buatan Sofia. Dia bahkan sering mengadu padaku, kau harus tahu itu."
Dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, Liam hanya mengendikkan bahu sekilas. "Aku tidak mungkin membuang makanan seenak ini ‘kan?"
"Setidaknya hargai masakan Sofia, Liam. Kau ini dari dulu tidak pernah peka, wanita itu menyukaimu. Bahkan dia sudah sangat dekat dengan Hanna, sudah saatnya gadis kecilmu itu butuh seorang wanita dewasa untuk mendampinginya, tidak hanya seorang ayah yang cukup sibuk sepertimu, William. Pikirkan itu."
Kali ini, kata-kata terakhir Ares sukses membuat Liam bungkam. Menghentikan kegiatannya seketika.
.
.
.
Pukul Empat Sore
"Terima kasih atas bantuannya~" Ari membungkuk sekilas ke arah beberapa petugas yang sudah mau membantunya sejak tadi. Membantu mengangkat barang, mengatur peletakan barang sampai sore seperti ini.
Well, barang-barang mereka cukup banyak, jadi perlu waktu yang ekstra untuk mengatur semuanya. Ari sengaja menidurkan Ella dan Argi di ruang tamu.
Dua buah sofa, panjang dan single menjadi tempat buah hatinya tidur. Untung saja sofa miliknya bisa diubah menjadi tempat tidur.
"Sama-sama, Nyonya. Kalau ada yang dibutuhkan lagi, silahkan hubungi kami."
"Baiklah,"
"Kalau begitu kami permisi dulu, Nyonya." Tersenyum kecil, Ari sengaja mengantar kepergian petugas itu sampai lift. Saat pintu Lift terbuka, beberapa suara perlahan mulai Ia dengar.
"Sekarang Hanna mandi dulu, habis itu kita belanja dengan ayahmu, oke. Sebentar lagi dia pasti datang,"
"Iya!!" Kedua maniknya melebar, melihat Sofia tengah berdiri di dalam lift. Menggendong sosok mungil yang kini tengah asik berceloteh, untunglah dia masih menggunakan penyamaran sejak tadi. Ari hanya perlu mengatur emosi dan sikapnya saja.
Pandangan mereka bertemu, sekedar melempar senyum. "Terima kasih sudah mengantar, Nyonya Sia. Kami permisi dulu."
Sofia keluar dari lift bergantian dengan petugas tadi, pandangan mereka masih saling menatap. Ari bergerak lebih dulu,
"Kebetulan saya penghuni baru apartement di sini, Thenesia Aristel, salam kenal." Mengulurkan tangannya, dan hanya berniat basa-basi.
Wanita di depannya mengerjap singkat, sebelum akhirnya tersenyum tipis, seolah tidak mengetahui siapa sosok di hadapannya sekarang ini,
"Salam kenal juga, kau bisa memanggilku Sofia, dan ini Hanna Leteisha. Ayo Hanna, kenalan dulu sama Tante Sia-nya."
Pandangan bulat Hanna beralih ke arahnya, kedua manik kecoklatan yang sangat mirip dengan Sofia, dan rambut hitam serta alis tebal persis seperti Liam. "Salam kenal, Tante." Suara cempreng yang penuh dengan semangat,
"Salam kenal, Hanna." Tersenyum kecil dan memegang tangan mungil Hanna, sebelum sempat berbincang-bincang lebih jauh.
"Huee, Ibu dimana? Ibu!" Suara rengek tangis Ella terdengar, kebiasaan gadis kecil itu kalau bangun dari tidurnya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Nona Sofia." Berjalan cepat menuju kamarnya, dan mendapati Ella sudah keluar dari sana. Dengan menyeret boneka kesayangannya dan menangis.
"Ibu, kok hilang tadi?" Begitu melihat sosok ibunya, Ella tanpa basa-basi langsung berlari memeluk Ari. Membiarkan sang ibu menggendong dan menenangkan.
"Ssh, Ibu hanya pergi sebentar, sayang. Ella kenapa nangis, hm?" Menepuk lembut punggung Ella, merasakan lengan mungil itu melingkar di lehernya.
"Ella, takut Ibu pergi, hiks- kak Argi juga tidak bangun-bangun dari tadi, Ella takut,"
"Ssh, sudah jangan nangis. Nanti dilihat sama Tante Sofia dan Hanna lho, Ella udah besar ‘kan jangan nangis lagi," Tangisan gadis itu terhenti sejenak, melepaskan pelukannya dan memberanikan diri menatap sosok Sofia.
Bisa Ari rasakan bagaimana tatapan wanita pirang kecoklatan itu sedikit kaget melihat warna manik Ella. Ari memang tidak mau menyamarkan pribadi kedua buah hatinya.
Ia tidak suka, cukup hanya dirinya saja yang menyamarkan diri, tidak dengan Ella ataupun Argi.
"Ayo, kenalan dulu sama Tante Sofia, dan Hanna," Sembari menghapus air mata Ella, kedua manik bulat itu menatapnya sekilas lalu beralih lagi.
"Namaku Ella. Sa-salam kenal Tante Sofia, um-Hanna juga," Seperti sifatnya, Ella tergolong pemalu jika berhadapan dengan orang baru. Berbanding terbalik dengan Hanna, gadis kecil itu nampak berbinar menatap Ella.
"Salam kenal, Kakak Ella,"
"Wah, Hanna memanggil Ella, kakak. Kalau boleh tahu berapa umur Ella, Nona Sia?" Sofia tertawa kecil, begitu juga Ari, gadis itu benar-benar pintar.
“Sekarang sudah mau beranjak enam tahun, kalau Hanna?”
“Wah berbeda dua tahun rupanya, umur Hanna empat tahun.”
Sifat malu-malu Ella perlahan menghilang, gadis itu malah memberontak turun sekarang, begitu juga Hanna. Mereka saling tatap sebelum akhir Hanna bergerak mengamit tangan mungil Ella.
"Main yuk, Kak!"
"Oke!" Mereka berlari kecil ke arah aquarium, tertawa dan saling kejar-kejaran. Meninggalkan dua wanita di sana,
“Ngomong-ngomong Nona Sia, Apartmu nomor berapa?”
Tidak ada masalah mengucapkan nomor Apartnya, Ari menjawab singkat, “Nomor 104,” Dan bisa Ia tebak bagaimana reaksi wanita itu.
“Benarkah?! Wah, ternyata kita bersebelahan. Apart kami nomor 103~”
Mendengar kata ‘kami’ dan wajah cerah wanita itu. Ari hanya bisa tersenyum tipis, dia ingin segera pergi dari sini.
"Oh ya, apa hari ini, Nona Sia ada acara?" Sofia sama sekali tidak berhenti menanyakan tentangnya.
"Rencananya saya ingin berbelanja keperluan masak untuk hari ini dan besok," jawab Ari singkat.
"Wah kebetulan, hari ini aku berniat belanja juga. Bagaimana kalau kita ke sana bersama? Sekalian merayakan kedatanganmu di apartement ini, Nona Sia. Kalau untuk masalah keamanan, kau tidak perlu khawatir. Ayah Hanna itu seorang kepala kepolisian, dan aku sekertarisnya, jadi tidak akan ada masalah."
Ari harus cepat menolak, bersama dengan Liam lagi akan membuat hatinya makin sakit. "Ti-tidak usah, saya tidak ingin mengganggu acaramu, Nona Sofia." Menolak dengan halus.
Sofia malah memegang tangannya, "Kau harus mau, Nona Sia. Hari ini aku sedikit gugup makan malam bersama ayah Hanna, jadi kedatanganmu bisa membuatku sedikit rileks. Anggap saja ini sebagai perayaan pertemanan kita."
Gugup, tentu saja!?
"Tapi-"
"Pukul lima nanti aku akan menunggumu, Nona Sia. Kita berangkat bersama ke supermarket, oke? Hanan, kita mandi dulu sekarang yuk!"
"Iya, Ma!" Jantungnya kembali berdenyut nyeri, saat Hanna menyebut mama pada Sofia. Tidak, dia tidak boleh seperti ini!
Sosok kecil itu langsung jatuh ke dalam gendongan Sofia, begitu juga Ella yang berlari ke arahnya. "Kalau begitu aku akan menunggu satu jam lagi, Nona Sia," Tanpa mendengar perkataan Sia lebih jauh, Sofia berjalan menuju apartement milik Liam. Membuka ruangan itu dengan sebuah kunci khusus.
Ah, bahkan dia juga punya kunci ruangan Liam. Pintu itu tertutup, meninggalkan Ari yang kini memeluk erat Ella dalam gendongannya.
Sepertinya dia memang salah datang ke kota ini. Entah takdir apa yang membuatnya bisa berhubungan lagi dengan Liam, bertemu lagi dengan laki-laki itu. Ia benar-benar bingung.
"Ibu, melamun lagi?" Sebuah tangan mungil menepuk pipinya lembut, menyadarkannya kembali. "Tidak ada apa-apa sayang, ayo kita mandi dulu sekarang. Hari ini kita akan belanja bahan masakan yang banyak~" ujar Ari sekilas.
"Yeei!! Belanja!! Ella, mau telur gulung!!" Melihat senyuman putri mungilnya, sukses membuat keresahan Ari memudar, meski hanya sedikit.