CEMBURU

721 Kata
Ranti menyambut pagi itu dengan semangat. Ia akan bertemu Ario hari ini, berdua saja. Ranti berdandan secantik mungkin, rambutnya ia urai dan mengenakan dress berwarna peach sesuai saran Cica. Kemudian menambahkan outerwear wool model cardigan longgar kesukaannya, tanpa ia kancingkan, dan tidak ketinggalan sneaker favoritnya. Melihat penampilannya di cermin, Ranti merasa puas. Terakhir ia mengenakan tali pinggang kecil yang membentuk cardigan, sehingga pinggang rampingnya terlihat. Ia berjalan menuju kantor. Semilir angin pagi meniup rambut lurus sebahunya. Di depan kantor, ia berpapasan dengan Mirna, "Hai Ranti." Ranti melihat dan membalasnya,"Hai, pagi.” Sekilas Ranti melihat, Mirna mengenakan dress tangan pendek warna hitam selutut yang pas dibadannya yang ramping, dengan heels tinggi sekitar 7 cm. Mirna dan Ranti memiliki tinggi yang sama, tapi tingginya heels yang Mirna kenakan membuatnya terlihat lebih tinggi. Rambut Mirna yang panjang melebihi bahu terurai cantik. Ranti jadi teringat kejadian kemarin dan kembali merasa cemburu. Apalagi hari ini Ario akan pergi bersama Mirna. Meskipun Wira akan menemani mereka, tapi rasa cemburu itu ada. Wajarkah? Tanyanya dalam hati. Mereka pun berjalan menuju lift. "Pagi," Wira muncul di belakang mereka. "Nanti jam 4 ya Mir, pergi bareng?" tanya Wira. "Aku pergi bareng pa Ario," ujar Mirna. Dug, jantung Ranti seakan berhenti, kenapa bisa mereka pergi berdua? "Weits, ko bisa?" Wira bertanya usil. Mirna tersenyum. "Jangan ganggu," ujarnya. "Tidak ada niat," canda Wira sambil tertawa. Ranti cuma bisa tertunduk. Ko bisa? Kenapa mereka pergi berdua? Banyak pertanyaan berkecamuk dihatinya. Tiba-tiba, ia tidak enak hati. "Kamu sudah enakan?" Wira bertanya sambil melihat padanya. "Tadinya gitu, tapi.." Ranti terdiam, antara kesal dan marah. Kenapa Ario.. Mirna... "Eh serius, kamu masih tidak enak?" Wira kembali bertanya. Dengan lesu Ranti menjawab,"Tidak apa-apa.” Lift terbuka dan mereka melangkah masuk. Ranti turun duluan di lantai 7 dan melangkah dengan lesu, "Duluan ya," ujarnya pada Mirna dan Wira yang terus naik ke lantai 9. Apa Ario tipe dengan banyak perempuan? Ranti langsung membayangkan yang tidak-tidak. Ia duduk dan mulai konsentrasi dengan pekerjaannya. Ranti ingin melupakan pikiran jeleknya. Jam makan siang pun tiba. Ranti tidak mood dan tidak ingin beranjak, berusaha fokus mengerjakan tugasnya. Ponselnya berbunyi. WIRA. Wira, "Mau makan siang?" ujarnya. Ranti, "Kayanya tidak, aku beresin kerjaan.” Wira, "Ok," Wira menutup teleponnya. Selang setengah jam kemudian, office boy mendekati mejanya. "Bu Ranti, maaf, ini ada kiriman dari Pa Wira," ujarnya. "Oh, terima kasih," Ranti menerima kiriman itu, lalu membukanya, isinya bubur hangat. Ia mengambil foto bubur itu dan mengirimkannya pada Wira. Ranti : Thanks! Wira : Cheer up. GWS. Ranti segera memakan bubur tersebut. Harus diakui, perutnya belum 100% enak, bubur hangat itu membuat perutnya lebih baik. Pukul 17.30, Ranti mengecek ponselnya, namun tidak ada kabar dari Ario. Pekerjaannya sudah selesai. Cica sedang ada pekerjaan di luar kantor dan Linda sedang keluar kota, tidak ada yang bisa ia ajak untuk meluangkan waktu sore ini. Ranti memutuskan untuk berjalan pulang menuju apartemennya. Kalau Ario jadi mengajaknya makan malam, ia bisa menjemputnya di apartemen saja. Ranti pun beranjak turun dan mulai melangkah keluar dari komplek kantornya. Namun, dari kejauhan ia melihat Ario. Ia tidak sendiri, Mirna disebelahnya. Mereka berdua memasuki kantor. Ranti kembali mengecek ponselnya. Tidak ada kabar dari Ario. Marah, sedih, cemburu, kesal, dan ragu bercampur aduk. Ia pun memutuskan untuk meneruskan langkah pulang ke apartemen. Setibanya di apartemen, pukul 18.13, belum ada kabar apapun dari Ario. Ah.. Ranti terduduk di sofa, ia melamun. Akhirnya tertidur. Pukul 19.25, ia terbangun karena ponselnya berbunyi. ARIO. Tega, pikirnya, janji ajak makan malam dan sudah dandan secantik mungkin, tapi malah bersama Mirna. Ponselnya kembali berbunyi, akhirnya Ranti mengangkatnya. Ario, "Bu Ranti, maaf, kelihatannya malam ini batal." Ranti tidak ingin bertanya lebih lanjut, apalagi membayangkan Ario memilih untuk bersama Mirna. Ingin rasanya menangis. Ranti, "Iya, tidak apa-apa.” Ario, "Ada urusan mendadak." Ranti, "Iya, ok.” Ranti tidak ingin menjawab panjang lebar. Ia tahu kalau ia bicara lebih lanjut, mungkin air matanya akan keluar. Bisa jadi ini efek mood swing datang bulan. Ah entahlah. Yang pasti, ia tahu, ia cemburu. Ario hanya terdiam, lalu dengan ragu bertanya, "Bu Ranti, baik-baik saja kan?" Ranti rasanya ingin menjawab, TIDAK. I'm not ok, tapi ia memilih untuk menjawab, "Iya baik." Ario kembali terdiam, "Mau memaafkan saya?" Ranti, "Untuk?" Ario, "Membatalkan janji.” Ranti, "Mmm.. ok.” Tidak tahu apa yang ia rasakan, yang pasti, bayangan Ario dan Mirna membuatnya tidak suka. Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN