NOMOR

1118 Kata
Ranti tadinya begitu bersemangat menyambut hari ini, tapi perutnya mendadak melilit. Penyakit bulanan itu tiba. Satu hal yang sering ia alami saat datang bulan adalah sakit perut yang membuatnya kesakitan. Ranti biasanya izin, tapi rasa kangennya pada Ario mengalahkan rasa sakitnya. Ia berusaha membuat rasa sakitnya agak berkurang dengan meminum obat pereda nyeri yang jarang ia minum, dan izin pada Pa Ridwan untuk datang siang. Pukul 10.00, sakitnya agak mereda. Ranti pun bersiap-siap, melangkah ringan menuju kantor. Ponselnya berbunyi, WIRA. Ranti menjawab pendek, "Ya.” Wira terdengar mengkhawatirkannya, "Kamu kenapa? Pa Ridwan tadi info kalau kamu izin siang.” Ranti, "Biasa penyakit perempuan, tidak apa-apa, ini jalan ke kantor.” Ia menjawab sejujurnya karena memang merasa rasa sakitnya hilang. Wira, "Ok. Bisa ikut rapat siang ini?" Ranti, "Bisa, sekalian aku mau diskusi soal hasil Surabaya. Ada agreement yang harus kita susun.” Wira, "Ok. See you.” Saat hendak menyimpan ponselnya, ada pesan masuk dari Cica. Cica : Si ganteng itu tadi ke lantai 7 cari kamu. Hati Ranti pun berbunga-bunga, meski ia tidak tahu kenapa Ario mencarinya. Mungkin pekerjaan, ttidak mau geer dulu. Setibanya di kantor, telepon mejanya berbunyi. Ternyata Dinda, "Bu Ranti, ada disposisi dari Pa Ridwan, nanti saya ke ruangan ibu." Dinda menghampirinya, dan menyerahkan beberapa dokumen. Salah satunya kaitan agreement khusus yang akan ia bahas dengan Wira. Ternyata ada note Pa Ridwan yang menyebutkan untuk berkonsultasi dengan Ario. Membaca namanya saja membuat jantungnya berdebar kencang. ARIO. Sejak kapan nama itu memiliki arti khusus di hatinya? Ranti pun beranjak ke lantai 9 menemui Wira, untuk menindaklanjuti disposisi Pa Ridwan. Ia mengetuk ruangan Wira. "Masuk," terdengar suara Wira. Ranti pun memasuki ruangan. Ternyata ada Mirna dan Ario di dalam ruangan itu. Duh, Ranti mendadak salah tingkah, tapi ia harus percaya diri. "Eh, maaf ganggu," ujar Ranti. "Tidak apa-apa, bisa ikut gabung ti? Sekalian kita bahas soal Surabaya," ujar Wira. "Ok," Ia duduk di antara Ario dan Wira, diseberangnya Mirna. Ia tidak terlalu dekat dengan Mirna. Entah kenapa, tapi Ranti kurang cocok khususnya dengan style Mirna yang menurutnya terlalu "berani". Terlihat Mirna mengenakan rok mini selutut dan kemeja longgar dengan kancing agak terbuka dan tentunya dengan high heel stileto yang jadi ciri khasnya. Rambut panjangnya terurai rapi. Sementara ia mengenakan rok 3/4 biru muda, kemeja putih, vest wool biru dengan sneaker putih favoritnya. Rambut lurusnya ia ikat. Beda gaya, beda orang. Hmm.. Dan, kali ini Ranti merasa akan sulit menutupi rasa tidak sukanya. Mirna terlihat mendekat ke Ario dan memandangnya langsung dengan tatapan yang menurut Ranti itu genit. Apa Ario menyukai tipe Mirna? Ahh... Ranti fokus! Ia bergabung dalam percakapan mereka. Soal kasus pemutusan sepihak ternyata masih dalam proses. "Pa Ario, ini sudah ada jawaban dari pihak klien, mereka mengajak meeting besok sore. Apa bisa? Wira bisa?" ujar Mirna. "Ok," ujar Ario. "Ok, sore jam berapa? Dimana?" Wira bertanya. "Kemungkinan di Blue, dekat kantor mereka. Pukul 4 sore," kata Mirna. "Ok, kita lanjutkan besok. Dokumen sudah siap semua. Pa Ario ini kelihatannya sudah lengkap?" Wira bertanya pada Ario. "Cukup, saya pikir kita sudah mempersiapkan dengan matang," ujar Ario. Wira menatap Ranti, "Sekarang kita lanjutkan bahasan terkait PT Srikandi dari Surabaya. Ranti mungkin bisa lanjutkan," Wira membuka bahasan berikutnya. "Jadi PT ini ingin meminta hak eksklusif iklan di majalah kita dalam satu edisi. Tidak ada iklan lain. Nilainya cukup besar, tapi ia meminta beberapa persyaratan. Ada hal-hal yang harus dipertimbangkan bersama. Ini daftar permintaannya," Ranti menyodorkan daftar itu. Ario langsung membacanya. "Pa Ario, saya sudah menerima daftar itu dari Pa Ridwan, dan sudah membacanya. Ada beberapa poin, khususnya poin 3," Wira menambahkan. "Hmm... Nilainya memang fantastis, sehingga mereka meminta permintaan-permintaan cukup tidak masuk akal. Secara hukum, poin 3 dan 5 bisa kita tolak," ujar Ario. "Ini kelihatannya perlu pertimbangan lebih lanjut, saya pelajari dulu. Sore ini saya info lebih lanjut," tambahnya. Rapatpun selesai. Ranti melihat Mirna menggeser posisi duduknya dan mendekat ke arah Ario. Ranti merasa cemburu melihatnya dan ingin keluar dari ruangan. Ia berdiri, "Saya permisi dulu ya." Lalu keluar ruangan. Saat menunggu lift, tiba-tiba Ario menghampirinya. "Bu Ranti, boleh bicara sebentar?" "Iya," ujar Ranti menenangkan diri. Rasanya ingin berteriak TENTU SAJA BOLEH. Ario tampak ragu, ia mengusap dan menggaruk rambutnya. Tidak ada yang salah dengan rambutnya, kenapa ia terlihat bingung? Ario lalu menarik nafas, dan menggigit bibirnya. Kenapa ya? Ranti agak bingung melihat sikapnya. "Mmm.. Maaf sebelumnya, boleh saya minta nomor hp bu Ranti?" tanya Ario. Ranti tidak menduga Ario akan bertanya nomornya. Ia kaget dan tanpa sadar terdiam sesaat. Ranti menatap Ario sambil tersenyum dan menggigit bibirnya sendiri, "Boleh, nomor saya 181399202.” Ario menatapnya kembali sambil tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya, dan tampak menyimpan nomor Ranti dalam ponselnya. "Saya save, terima kasih," ujarnya sambil kembali menggaruk kepalanya "Nomor pa Ario berapa?" Ranti tidak melewatkan kesempatan itu untuk juga menanyakan nomor Ario. Ario terdiam, lalu menggunakan ponselnya. Tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel Ranti. Bunyi pesan itu: Ini nomor saya, Ario. Ranti membacanya dan tersenyum. Entah kenapa, pesan sederhana itu membuat pikirannya melayang dan bahagia luar biasa. Tiba-tiba pintu lift terbuka. Menunggu orang-orang di dalam lift keluar, Ranti cuma bisa diam. Ario masih berdiri di situ. "Oh iya, Pa Ario tadi cari saya ke lantai 7?" Ranti tiba-tiba teringat. Pintu lift kembali tertutup, tapi Ranti tidak peduli. Jawaban Ario jauh lebih penting. "Iya," ujarnya. "Mmm.. tapi sudah." "Sudah apa?" Ranti kebingungan. "Nomor hp," ujarnya. Mungkin Ario melihat muka Ranti yang kebingungan, ia pun melanjutkan ucapannya, "Tadi saya cari Bu Ranti mau minta nomor hp." Setelah menjelaskan itu, Ranti merasa muka Ario memerah. Mukanya sendiri pun mungkin merah padam. Ah, Ranti tidak peduli. Semerah apapun, tapi ia bahagia. Dugaan Cica sepertinya betul. "Ooh, saya turun dulu ya," ujar Ranti sambil tersenyum. Ario mengangguk dan memencet tombol turun pada lift. Pintu lift terbuka, Ranti pun masuk sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ario membalas senyumannya. "Bye.." Ranti melambaikan tangan, menunggu pintu lift tertutup. Ario berdiri sampai pintu lift tertutup dan Ranti tidak lagi bisa melihatnya. Tiba di lantai 7, Ranti langsung duduk, menutup mukanya dan membenamkannya di atas meja. Ia tersenyum lebar, rasanya ingin melompat, bahagia. Ranti langsung mengirim pesan pada Cica. Ranti: Ca, dia nanya nomor hp. Cica: OMG, trus? Ranti: Belum ada terusannya. Semoga ini berlanjut. Cica: Semangat bestie! Ranti: Yes Ranti kembali meneruskan pekerjaannya dan bertekad untuk pulang agak awal. Mengingat perutnya masih kurang enak. Tiba-tiba perutnya terasa melilit. Ia berusaha menahannya, tapi mungkin mukanya terlihat pucat. Sampai Irna, stafnya, tiba-tiba bertanya, "Bu, kenapa?" Ranti menahan sakitnya, "Mens, agak sakit. Ada obat tidak ya Ir?” "Irna tidak pegang obat bu, tapi coba Irna beli ke drugstore di bawah," ujarnya. "Boleh ya Ir, minta tolong," Ranti meminta bantuan. "Sebentar ya bu, saya ke bawah," Irna pun beranjak pergi. Ranti berusaha menahan rasa sakit itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN