Antar aku pulang

1304 Kata
“Loh, kenapa suaramu aneh, sayang? apa ada masalah?” terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon yang sedang khawatir. “Oh, biasalah. Kebetulan aku sedang menangani pasien yang sedikit membuatku kerepotan, tapi jangan khawatir. Oh, ya. bagiamana dengan kuliahmu? Lanjar saja, kan?” tanya Rizal. “Hmm, ya. Sudah mendekati ujian semester jadi aku sedang sibuk sekarang. Ada banyak ujian praktekum yang harus aku lakukan juga. Tapi aku kangen, jadi aku tidak bisa menahan untuk tidak menelponmu, bagaimana dong?” suara manja wanita itu terdengar, hal itu membuat wajah dokter tampan itu sedikit merona karena senang. “Winda…” lirih Rizal. “Apa?” balasnya. “Mendengar suaramu, rasanya aku ingin segera terbang ke sana dan menculikmu. Hah… kau membuatku semakin rindu saja. Baiklah, kau boleh berbicara sepuasmu sekarang, mumpung aku belum sibuk. Jika dia bangun, kita tidak bisa seperti ini lagi,” ucap Rizal. Ia menjadi sangat merindukan kekasihnya itu setelah sekian lama tidak bertemu. Semenjak beberapa bulan ini mereka hanya menjalani hubungan jarak jauh karena keberadaan sang kekasih yang jauh di sana. “He..he, aku senag sekali mendengranya. Oh ya, setelah ujian praktek berkhir, seminggu kemudian aku akan libur 2 minggu. Jadi liburku dimajukan. Kau tahu, Aku ingin bertemu denganmu, aku mau pulang…” ucap sang kekasih dengan suara lirih. Betapa bahagia hati Rizal mendengarnya, rasanya ia ingin memeluk kekasihnya saat itu juga tapi apa daya hanya suaranya saja yang bias ia dengar. Sebelumnya sang kekasih berjanji untuk pulang 2 bulan kemudian tapi ternyata liburnya dimajukan dan setelah sekian lama, mereka akhirnya akan bertemu. Kesempatan ini tidak akan ia sia-siakah lagi. “Be-benarkah?” tanya Rizal terbata saking senangnya. “Loh, kok responnya Cuma seperti itu sih, kau terdengar tidak senang aku akan datang,” rajuk kekasihnya. “Kau jangan bicara seperti itu, Winda. Justru saking senang dan tidak sabarnya aku ingin bertemu dengamu, aku sampai gugup dan terbata seperti ini. Kau tidak tahu betapa aku sangat merindukanmu saat ini,” ucap Rizal dengan penuh ketulusan. “Oya? Aku senang mendengarnya, sayang. Aku jadi tidak sabar ingin pulang,” sahut Winda dari ujung telepon. “Winda…” suara Rizal terdengar lirih memanggil nama kekasihnya. “Iya…” sahut gadis itu dari ujung telepon. “Aku pernah mengatakn padamu setelah kau datang aku akan melamarmu, apakah jika kau pulang nanti, aku bisa mewujudkan hal itu? Setidaknya kita tunagan dulu, setelah kuliahmu selesai dan kembali ke tanah air, kita bisa menikah,” ucap Rizal. “I-iya, sayang. Aku sangat bahagia mendengarnya. Apapun itu aku setuju. Seandainya saja semua ini bukan kemauan orang tuaku, kita bisa menghabiskan waktu bersama, sebenarnya aku tidak ingin kuliah di sini, di neara kita juga sudah sangat banyak fakultas kedokteran yang baik dan terpercaya, tidak perlu sampai sejauh ini dan berpisah denganmu.” Winda terdengar mengeluh. “Stop, sudah aku bilang jangan pernah mengeluh tentang itu lagi. pilihan orang tuamu pastilah yang terbaik, yang perlu kau lakukan adalah menjalaninya dengan penuh tanggung jawab. Bersabarlah sebentar lagi, seperti aku yang tidak pernah bosan menunggu hari dan mengikis waktu demu waktu untuk betemu denganmu,” ucap Rizal. “Iya, aku akan terus berusaha yang terbaik untuk bisa bersamamu lagi. Aku sangat mencintaimu, dokter Rizal,” ucap sang kekasih dengan penuh perasaan. “Aku juga sangat men…” “Dokter, tolong cepat kemari, pasien memaksa ingin pulang!” Tiba-tiba suara intercom di meja terdengar. Rizal terkejut. “Ah, sayang, aku harus menangani pasienku dulu, nanti aku telepon lagi.” Rizal terpaksa memutus telepon sebelum sempat mendengar ucapan kekasihnya, ia pun bergegas keluar dari ruangannya menuju ruang pasin tempat Lina terbaring. Begitu masuk, Risal melihat Lina sudah bersiap untuk pergi. “Kau pikir apa yang kau lakukan?” Rizal melangkah maju menghampiri Lina. Ia memegang pergelangan gadis itu dan kembali menuntunnya untuk duduk di tepi brankar. “Lepaskan tangnku, dokter! Aku bukan tawanan yang bisa kau paksa seperti ini. Pokoknya aku mau pulang. Kalau dokter tetap memaksaku untuk terapi hari ini, aku tidak akan pernah kembali lagi kemari!” ancam Lina penuh emosi. Saat ini ia benar-benar tidak ingin berada lama-lama di ruangan itu. Ia membenci semua yang ia lihat di dalam ruangan itu termasuk wajah super tampan Rizal yang entah kenapa sama sekali tidak berpengaruh dengannya. Akan tetapi yang dokter itu lakukan adalah memegang pundak Lina dan sedikit menekannya, lalu memegang dagu gadis itu dan membuatnya menatap ke arah mata hitam tajamnya. “Mulai sekarang, kau akan mengikuti setiap pengobatan dan terapi yang sudah dijadwalkan kepadamu. Kau akan melakukan semuanya sampai kau benar-benar sembuh,” ucap dokter Rizal sembari terus menatap mata bulat indah Lina yang terbuka lebar. Lina hanya mengangguk menyetujui apa yang Rizal ucapkan kepadanya. Rizal tersenyum lalu melepas tangannya dari dagu Lina. Rizal lalu duduk di hadapan Lina yang sudah terlihat lebih tenang. “Baiklah, hari ini kita akan mulai terapinya. Bagaimana menurutmu,” ucap Rizal kepada Lina yang duduk dihadapannya. “Terserah dokter saja. Aku akan melakukan apa pun untuk sembuh,” ucap Lina dengan wajah datar, matanya menatap ke arah Rizal dengan sendu. Rizal tersenyum puas mendengar respon dari Lina, perubahannya bahkan sampai 180 derajat. Sungguh, kekuatan hypnoteraphy yang ia terapkan berhasil. Ada kalanya ia harus menggunakan metode itu untuk membuat pasiennya mau bekerja sama. Contohnya seperti Lina. Suster Juwi yang sejak tadi berada di ruangan itu ini bisa bernafas lega. Ia tadi begitu kesulitan membujuk Lina yang benar-benar keras kepala. Tapi setelah ini, pekerjaannya pasti akan lebih mudah. Proses konseling pun berjalan dengan biak. Seperti biasa, dengan begitu professional Rizal melakukan tanya jawab seputar kehidupan pribadi Lina. Membantu pasien untuk lebih dekat dengannya sehingga ia bisa lebih mendalami apa sebenarnya yang mendasari sehingga penyakit itu muncul. Lina pun dengan tenangnya menjawab semua pertanyaan itu. Ia dengan bebas mengungkapkan semua isi hati dan perasaan yang selama ini mengendap. Selama proses itu, Lina terlihat sesekali menangis sambil terus menceritakan apapun yang dokter tampan itu tanyakan. Setelah kurang lebih 45 menit, proses sesi terapi pertama selasai. Rizal terlihat kembali menyentuh pundak Lina sejenak lalu beranjak dari tempatnya. Sesaat, Lina terlihat seperti terkejut menyadari ia ternyata duduk di sebuah kursi. Ia menatap sekeliling dengan bingung. Tapi anehnya, ia merasa lega. “Oh ya, terapi selanjutnya akan diadakan 2 hari kemudian. Aku harap kau akan datang tepat waktu,” ucap Rizal kepada Lina. Lina menatap ke arah Rizal untuk beberapa saat sebelum mengangguk. “Baiklah, aku mengerti,” jawabnya. “Bagus, mari aku antar. Ayahmu sudah bilang kalau kau harus pulang bersamaku.” Rizal lalu beranjak dari duduknya. “Tidak perlu, aku akan naik taksi dan pulang sendnri saja.” Lina tiba-tiba menolak. Seakan ia kembali menemukan jiwanya yang sempat hilang entah ke mana, ia terang-terangan menolak pria itu. “Baiklah, terserah kau saja. Tapi ingat, kau harus langsung pulang ke rumah. Jangan pergi ke mana-mana lagi setelah ini. Jangan datang menemui pria itu lagi selama prosos terapimu selesai, kau mengerti, kan?” ucap Rizal mengingatkan. “Ya, aku tahu!” ucap Lina. Setelah itu Lina pun begegas meninggalkan tempat itu dan keluar dari klinik Rizal. Dokter tampan itu menghembuskan nafas panjang. “Suster Juwi,” panggil Rizal. Suster berumur 40-an itu langsung menghampiri Rizal. “Iya, Dok?” “Sore ini ada berapa pasien yang perlu penanganan?” tanya Rizal. “Yang sudah membuat janji sekitar 10 orang, dok, selebihnya biasanya mereka akan datang untuk antri,” jawab suster itu. “Ok, tolong untuk hari ini cukup 10 orang saja dulu. Aku ada jadwal pelatihan setelah ini, jadi aku harus cepat,” ucap Rizal. “Baik, dok,” jawab sang suster lalu meninggalkan ruangan. Rizal mengusap wajahnya lalu kembali membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaan, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Keningnya berkerut melihat siapa yang menelponnya. “Ya, halo. Ada apa?” sapanya. “Tolong antar aku pulang,” ucap suara wanita di seberang telepon. “Oh, ok. Tunggu di sana.” Setelah mematikan sambungan telepon, Rizal pun bergegas keluar dari ruangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN