Terlalu lelah, membuat Dara tidak bisa tidur. Diapun diam dalam pembaringan. Pikirannya kalut, kalut terbawa peristiwa semalam yang tidak kunjung usai. Meskipun pemakaman telah dilakukan tetap saja, jiwa telah dibunuh oleh tuannya membuatnya kalut.
Bagaimana bisa seorang tega melakukan pembunuhan atas dirinya? Apakah karena hanya karena Jiwanya telah putus, atau takdir menghendaki untuk membunuh dirinya ? atau itu sebuah jebakan ?
Mendidih rasanya memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Sofi, lebih baik dia yang melakukan investigasi sendiri besok, pasti mereka pada tahu.
Dara akhirnya terlelap dalam mimpi, dalam tidurnya. membuat badannya lebih rileks dan bisa beristirahat dengan baik.
*
"Dara, kamu suka?"
Dara tersenyum lebar, jiwanya beterbangan seperti kupu-kupu. Dia sangat bahagia, keinginan untuk melihat air terjun akhirnya terkabulkan.
"Saya pengen mandi?"
"iya, boleh"
"kita kembali sebelum gelap".
Mereka akhirnya mandi, sangat sunyi, hanya ada suara percikan air, nyanyian serangga dan suara mereka.
"Dara, saya suka sama kamu". Katanya. Dara hanya terdiam, dia tidak bisa menjawab, baginya mereka hanya teman.
"Kalau kita sudah berumur 25, kamu hanya jadi milikku". lanjutnya, Dara hanya terdiam, terpana dengan kata-kata yang tidak pernah didengar sebelumnya.
Sebentar lagi dia lulus SMA, dia ingin seperti temannya, bekerja mendapatkan uang. Selama ini uang selalu ada ditangannya, namun dia tidak pernah mencari atau bekerja mendapatkannya. Rasanya tidak mungkin, dia tetap seperti ini.
Sudah hampir gelap, semakin senyap. Mereka beranjak ke tepian dan hendak pulang. Tidak disangka disana sudah berdiri pada laki-laki yang sedari tadi mengintai mereka. Sepertinya mereka mendengar percakapan mereka. Ada sorot kebencian di mata mereka.
Dara hanya mematung, tidak mungkin mereka lari. Tidak mungkin mereka menghilang dalam sekejap. Tidak mungkin mereka akan melawan mereka. Semua orang mematung, Dara tahu siapa mereka, mereka memang tidak akan menyakitinya, tapi dia bisa menyakiti orang lain tanpa ampun dan itu bukan atas kehendak mereka.
Dara beranjak, mendekati tepi sungai. Meninggalkan temannya seorang diri, Hampir lima meter, Dara berbalik untuk meminta temannya mengikutinya. Sepertinya dia enggan. Dara terdiam sejenak meminta kepastian, apakah semua akan baik-baik saja.
"Pergilah, semua akan baik-baik saja". katanya meminta Dara untuk pergi. Dara hanya terdiam, lalu melangkah pergi, menuju orang-orang yang telah siaga.
Dara naik kuda yang telah disiapkan, memastikan semuanya aman. menghitung jumlah laki laki yang telah siaga mengawalnya dan pergi.
Sejak saat itu dia tidak pernah lagi mendengar kabar temannya, apakah dia meninggal ditenggelamkan atau dibunuh di hutan dan jazadnya tidak pernah dikafani atau di culik dan dijadikan tahanan atau dia telah dibuang dan tidak pernah kembali. Dara tidak pernah tahu, Dara tidak tahu, kemana dia mencari tahu. Laki-laki yang menjemputnya tidak pernah dia temui, meski mereka bertemu tidak ada yang mau berbicara dengan nya. Mereka adalah orang orang nya Ayah. Ayah yang mengatur segalanya. termasuk dirinya.
Sejak saat itu, Dara memilih hidupnya sendiri. Memilih jalurnya sendiri, meski ayahnya kurang setuju namun membiarkan. Ayahnya hanya ingin melihat Dara menjadi perempuan yang kuat dan mandiri.
Keinginannya, tekadnya bulat, akhirnya dia keluar tanpa uang. Hanya tabungan yang dimilikinya yang menjadi pegangannya, itupun sudah digunakan untuk menyewa rumah untuk setahun. Jika tahun depan dia tidak mampu membayar sewa, maka nge gembel ah dia.
Meski berat, Dara menerima resiko. Dara selalu melihat peluang untuk menjadi bisa menghasilkan uang lebih banyak.
Apa yang di mau sekarang, uang lebih banyak dan menerima takdir biru yang menyelimuti kehidupannya.
Mimpi manis, mimpi yang tidak pernah hadir dalam tidurnya. Mimpi itu hilang bersama perpisahan yang tidak pernah diuji, terlalu cepat. Bahkan kilat pun masih lambat. Bagaimana bisa, bermimpi manis jika mimpi itu hilang dalam sekejap, mimpi itu adalah sebuah ingatan singkat yang tidak pernah di tahu ujung dan pangkalnya, bahkan pembuat mimpi itupun hilang tanpa ada kabar, meski angin pun enggan bercerita.
Tidak ada yang mengenalinya, karena hanya 3 kali pertemuan, pertama saat jamuan makan malam di sebuah hotel besar yang dihadiri para tokoh, kedua saat mereka berkunjung ke rumah Dara dan terakhir saat Dara pergi ke air terjun dan pengucapan hal manis yang tidak pernah diharapkan.
Meski begitu, rasa terlalu manis membuatnya tidak bisa melupakan bahwa itu adalah sebuah mimpi di hari - hari nya.
Dicintai, diperlakukan dengan baik, dipahami dan dimengerti. Ahh, sudahlah itu sebuah khayalan seorang perempuan yang belum pernah tertipu oleh janji manis. Janji-janji yang diucapkan sebagai penghibur, sebagai cerita, sebagai dongeng, sebagai tanda penerimaan. Itu khayal, itu mimpi manis yang selalu dibuat sebagai puncak kebahagiaan. Benarkah ?
Dimana harapan menjadi seorang perempuan ? Menjadi ratu, menjadi diva, menjadi apa saja dan itu adalah sebuah naluri yang berakar dari pikiran - pikiran yang telah bisa mencerna hati yang bisa berubah.
Nantinya, kemana diri ini ? Kemana akan berhenti dan menjadi rumah yang bisa dijadikan atap untuk berteduh ?
Rasanya adalah seorang pengembala yang tidak pernah mau pulang karena memang tidak memiliki rumah untuk pulang.
Itu menjadi sandiwara semalam-suntuk agar kamu mau menahan diri dan melepaskan dari perasaan yang kamu mau. Mungkin itu juga sebuah sandiwara dalam malam dan cerita antara bulan dan bintang yang menjadikan semua temaram. Ya, disitulah kamu istirahat dan paham bahwa rumah yang kamu miliki adalah rumah yang dijaga oleh perempuan yang kamu cintai.
Siang yang kamu curi dan malam yang kamu ambil, tetap saja kamu tidak tahu bahwa mimpi manis itu terlanjur terlalu manis. Terlanjur sampai ke hati dan sampai ke pikir dan sampai ke alam mimpi. Dalam peluk dalam rindu dalam sunyi, maka hadir dengan menjelma angin dingin yang mengigit tulang hingga ke sum-sum.
Bagaimana bisa menerjemahkan. mimpi, dan mimpi itu telah menghilang, kembali ke sang khalik, pemilik semesta, pemilik jiwa dan pemilik hidup. Aku pun mengembalikan lagi mimpi manis yang aku pinjam beberapa detik dan beberapa teguk. Semuanya telah kembali dan saya tidak lagi berani meminta ulang, karena itu terlalu menyiksa dan terlalu pekat untuk dijalani. Tidak sanggup, biarkan semua seperti ini, seperti adanya tanpa ada dikurangi dan ditambahi oleh kata-kata penghalus nasib.
Memang begini adanya. Bekerja, istirahat, makan, dan lain-lain asal kamu bahagia, bahagia dengan apa yang kamu miliki tanpa mau mencicipi mimpi itu lagi, mimpi yang sudah kamu kembalikan kepada pemiliknya.
Tinggallah Dara dalam tidurnya, tidur pulas. Tidur hanya untuk menghentikan waktu yang terus berjalan. Berjalan terus dan terus hingga akhir yang tidak pernah diberi nama.